Ucapan selamat datang yang Andaru terima dari rekan-rekan di divisi baru, membuat dia terharu. Divisi IT support yang kebanyakan di d******i oleh golongan karyawan lelaki sangat berbeda sekali dengan divisi administrasi. Bukan Andaru mau membeda-bedakan, tapi kenyataannya memang demikian. Berharap juga keberadaannya di divisi baru ini Andaru dianggap sebagai orang oleh mereka. Tidak seperti selama ini dirinya yang diperlakukan bak hewan saja.
"Selamat datang, Andaru. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik nantinya." Salah seorang dari perwakilan tim IT menyambut hadirnya Andaru dalam divisi mereka.
"Terima kasih karena kalian telah menerimaku di sini. Mohon bimbingannya."
Andaru saling berjabat tangan dengan tim satu divisi yang berjumlah lima belas orang, di mana tiga di antaranya adalah perempuan. Mereka-mereka inilah yang berjasa di balik kecanggihan sistem atau aplikasi yang dipakai oleh perusahaan Arashi Group.
Salah seorang perempuan yang usianya mungkin sekitar tiga puluh tahunan lebih, membawa Andaru pada sebuah meja kerja yang nantinya akan ditempati oleh pria itu. Andaru begitu takjub karena ternyata mereka telah menyiapkan ini semua untuknya. Benar-benar kejutan yang luar biasa. Barang-barang milik Andaru yang berada di meja kerja lamanya sudah dia pindahkan menggunakan satu box yang berukuran tidak terlalu besar karena barang-barang milik Andaru memang tidaklah banyak. Dan mulai hari ini Andaru telah siap membawa diri bersama tim kerjanya yang baru
Di minggu pertamanya ini Andaru harus menjalani sesi training juga pengenalan apa saja yang akan menjadi job desk-nya. Semua staf IT support memiliki bagian masing-masing juga tugas serta tanggung jawab yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Yang terpenting mereka harus dapat bekerjasama dengan sebaik-baiknya.
Andaru memperhatikan dengan seksama apa saja yang dijelaskan oleh rekan kerjanya karena dia tak mau banyak bertanya-tanya lagi nantinya. Jadi, sebisa mungkin Andaru harus fokus mendengarkan bagaimana sistem kerja dari divisinya yang sekarang ini. Selain itu, pengenalan dengan sistem di perusahaan yang cukup rumit juga tak terlalu membuat Andaru kesulitan. Dasarnya Andaru telah memiliki basic pendidikan di bidang itu, jadi tak perlu detail dijelaskan, Andaru sudah langsung paham.
"Kamu ini sangat luar biasa. Otakmu juga sangat encer. Aku heran kenapa selama ini kamu tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan karir di divisi lain?" Decak kagum rekannya yang sedang memberikan pengarahan.
Andaru hanya tersenyum saja. "Bisa mendapat kesempatan untuk bekerja di perusahaan sebesar Arashi saja, saya sudah sangat bersyukur."
"Tapi menurutku perusahaan kurang adil juga karena tidak pernah memberikan kesempatan padamu untuk mendapatkan jenjang karir. Padahal kamu ini salah satu karyawan potensial yang memiliki kemampuan."
Lagi-lagi Andaru hanya tersenyum merasa ucapan rekannya itu sangat berlebihan. Dia tidak sehebat itu. Dan Andaru juga tidak mau menyalahkan perusahaan yang tak memberikan jenjang karir untuknya. Padahal sudah tiga tahun Andaru bekerja.
"Saya tidak sehebat itu. Jangan berlebihan," jawab Andaru lalu tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya. Lalu, pria itu menaikkan sedikit kaca mata yang mulai melorot.
Sebenarnya, jika tersenyum begini Andaru terlihat lebih tampan. Hanya saja, ketampanan pria itu tertutupi oleh penampilan yang ketinggalan mode. Kemeja lengan panjang juga celana bahan bermotif lama sangat tidak menarik dipandang. Juga rambut yang disisir kelewat rapi justru membuatnya terlihat seperti lelaki jaman dulu. Jangan lupakan, kacamata model lawas yang membingkai dua bola matanya semakin memperburuk penampilan. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengagumi Andaru dengan segala kelebihan pria itu. Sementara lainnya lebih banyak yang memandang dia dengan sebelah mata.
"Andaru, jika kamu ada pertanyaan atau mengalami kesulitan serta kendala, jangan segan untuk bertanya. Kami semua di sini siap membantumu."
"Terima kasih banyak."
Andaru seolah tak kehabisan stock senyuman hari ini karena bahagianya, sampai apapun sanggup mencetak senyuman di bibirnya.
Pun demikian ketika jam pulang kantor tiba. Andaru pikir ia akan kerja lembur seperti biasanya. Namun, prediksinya tidak tepat karena ketika jam kerja usai maka para karyawan juga bersiap pergi meninggalkan kantor. Andaru sendiri tak mau terlihat rajin dengan kerja lembur seorang diri. Dia pun juga mengikuti rekan-rekannya untuk pulang. Baru kali ini Andaru bisa pulang tepat waktu. Pasti ibunya akan senang jika melihatnya pulang tak selarut biasanya.
Menurut info salah satu rekan kerjanya, terkadang memang mereka terpaksa pulang lebih lambat jika sedang dituntut menyelesaikan sebuah pekerjaan yang tak bisa ditunda. Namun, lebih banyak mereka memang pulang sesuai jam kerja normal pada umumnya.
Dengan menyampirkan ransel di pundak, Andaru keluar ruangan sembari mengembuskan napas lega. Rasanya beban-beban di pundak yang selama ini menghimpitnya, sirna sudah. Tak lagi ada orang-orang yang sesuka hati memerintahnya. Langkah lebar Andaru yang tengah menuju area parkiran, terhenti karena mendapati sosok gadis berjilbab berseragam office girl. Siapa lagi jika bukan Aisya. Senyum Andaru mengembang lalu pria itu meneriakkan nama si gadis dengan lantang.
"Ais!"
Gadis yang sedang membawa tong sampah itu pun membalikkan badan lantas menyunggingkan senyuman melihat siapa gerangan yang tengah memanggilnya.
"Mas Ndaru!"
Andaru berlari kecil mendekati Aisya. Saat ini memang dia telah berada di basemant kantor tempat kendaraam para karyawan di parkirkan.
"Kamu belum pulang, Ais?" Andaru bertanya dengan mata melirik tempat sampah besar di tangan gadis yang tengah berdiri di hadapannya.
"Sebentar lagi. Setelah membuang sampah, barulah aku bisa pulang."
Sebagai seorang office girl, pekerjaan Aisya memang berhubungan dengan kebersihan. Sebelum pulang kerja harus memastikan semua sampah yang ada di dalam kantor harus dijadikan satu pada sebuah tempat pembuangan sampah akhir agar kebersihan di dalam kantor tetap terjaga, juga menghindari kedatangan binatang semacam tikus misalnya.
Aisyah memperhatikan Andaru dengan kening berkerut. Pasalnya gadis itu terheran saja karena tidak biasanya Andaru pulang on time. Dan yah, Aisya langsung mengingat jika saat ini pria yang selama ini ia kagumi telah pindah divisi.
"Mas Ndaru sudah mau pulang?"
Andaru menganggukkan kepala mantap.
"Tumben."
Dan Andaru langsung terkekeh pelan sembari mmbenarkan letak kacamatanya. Hanya dengan Aisya, Andaru bisa akrab juga ngobrol banyak. Sementara jika dengan yang lainnya, mana pernah Andaru mengobrol. Bertegur sapa pun enggan Andaru lakukan karena pria itu akan selalu menundukkan kepala acapkali bertemu dengan orang lain. Selain tidak percaya diri juga Andaru tidak mau semakin banyak orang yang menghinanya.
"Kamu tahu Ais, jika hari ini aku bahagia sekali karena setelah sekian lama pada akhirnya aku bisa pulang on time juga."
Melihat binar bahagia di wajah Andaru, entah kenapa membuat Aisya ikut bahagia. Selama ini yang dapat Aisya lihat dari diri seorang Andaru, selalu wajah penuh tekanan dan menanggung banyak beban.
"Ya, sudah. Sebaiknya Mas Ndaru segera pulang. Daripada nanti ada lagi orang kurang kerjaan yang akan menghalangi rencana Mas Ndaru untuk pulang."
"Kamu benar juga. Ya, sudah. Aku pulang duluan, ya."
"Iya. Sebentar lagi aku juga mau pulang. Hati-hati di jalan Mas."
Andaru mengangguk lalu meninggalkan Aisya. Gadis itu masih memperhatikan punggung Andaru yang menjauh meninggalkannya.
Di area parkiran motor, biasanya Andaru selalu rajin mengecek kendaraannya sebelum memakainya. Namun, sore ini pria itu tidak melakukannya. Euforia kebahagiaan melupakan semua kebiasaan yang selalu ia lakukan. Ya, begitulah manusia yang suka lupa diri jika sudah menemukan kebahagiaan maka yang lain dilupakan. Tanpa menyadari jika kebahagiaan semulah yang tengah ia rasakan kini. Karena kebahagiaan itu tak akan bertahan lama.
Lihat saja bagaimana dua orang pria yang berada di balik pilar besar di basemant kantor tengah menyunggingkan tawa sinis penuh kemenangan.
***
Tawa juga senyum bahagia di bibir Andaru sirna sudah hanya dengan sekejab mata. Motor yang dia naiki tiba-tiba saja berjalan tanpa bisa dia kendalikan. Mencoba mengerem tapi laju motor masih tak mau berhenti. Pria itu mulai panik dan benar saja ketakutannya beberapa detik lalu terbukti. Suara benda terjatuh juga olengnya motor yang tiba-tiba karena rantainya putus tak mampu Andaru hindari dan yah, beruntung karena saat ini dia tidak sedang berada di jalanan ramai.
Motor itu, Andaru banting ke kiri bersamaan dengan jatuhnya dirinya yang langsung membuat badan terasa nyeri. Belum lagi kondisinya yang tertimpa motor membuatnya tak bisa apa-apa.
Beberapa pengendara yang kebetulan lewat dengan baik hatinya berhenti dan menolong Andaru. Hanya luka kecil yang membuat kulit tangan dan kakinya robek. Darah segar keluar dari betisnya yang robek, membasahi celana yang Andaru kenakan.
"Mas tidak kenapa-kenapa?" tanya khawatir salah satu orang yang sedang menolongnya.
Andaru hanya bisa menggelengkan kepalanya meski ia mulai merasakan perih di beberapa bagian tubuhnya. Tanpa Andaru minta pun, motor telah kembali ditegakkan dan salah satu penolongnya ada yang menelelpon bengkel terdekat. Patut bersyukur karena Andaru masih dipertemukan dengan orang-orang baik yang membantu di saat ia mengalami kesulitan.
"Terima kasih atas bantuannya." Ucapan yang Andaru berikan ketika satu per satu dari mereka mulai meninggalkannya.
Sementara itu motor milik Andaru yang tidak bisa berjalan sudah dijemput oleh orang bengkel dengan membawa pick up untuk mengangkutnya. Andaru sendiri sudah ditawari untuk di antar pulang. Namun, pria itu menolak dan lebih memilih menaiki sebuah taksi.
Duduk di bangku penumpang dengan sesekali ia meringis menahan nyeri. Rasanya tak mampu Andaru deskripsikan. Selain badan yang pegal, kaki yang tadi sempat mengeluarkan darah sekarang telah mengering dan rasa perihnya masih terasa. Andaru pejamkan matanya, mengingat semua yang telah terjadi dalam satu hari ini. Kenapa Tuhan selalu mengujinya. Padahal dia baru saja merasakan sebuah kebahagiaan. Namun, sekarang kembali ia harus menerima kepahitan. Ya, Tuhan. Andaru tak boleh menyalahkan takdir yang telah Tuhan gariskan karena sejatinya di balik semua yang menimpanya Andaru yakin sekali tersimpan sebuah kehidupan yang nyaman ketika saatnya nanti tiba.
"Mas ... kita sudah sampai," ucap sopir taksi membuyarkan lamunan Andaru. Sungguh, saat ini pikiran Andaru tengah berkecamuk memikirkan semua yang menimpanya barusan. Tidak ingin berpikiran buruk pada siapa pun. Hanya saja, jika di telaah lebih lanjut lagi, tidak mungkin juga motornya tiba-tiba patah rantai. Biasanya, jika ada yang tidak beres dengan kendaraannya itu, pasti beberapa hari sebelumnya Andaru sudah merasakannya. Lagipula Andaru juga rutin menyervis motor miliknya karena usia motor yang sudah tua, sehingga memerlukan perawatan intensif tentunya.
Setelah membayar ongkos taksi sesuai argo yang tertera, Andaru turun dari dalamnya. Benar saja yang dia takutkan jika Arimbi sudah menunggunya. Wanita itu berdiri di ambang pintu tengah memperhatikannya serius. Andaru berjalan tertatih sedikit kesulitan. Arimbi yang mengetahui ada hal yang terjadi pada putranya, segera berjalan cepat menghampiri. Memegang lengan Andaru karena tahu jika putranya kesusahan berjalan. Kaki Andaru yang tadi kejatuhan motor susah digerakkan hingga untuk berjalan harus terseok-seok.
"Ndaru ... Kamu kenapa?" Raut wajah cemas Arimbi melihat kondisi putranya yang memprihatinkan.
"Kita masuk dulu, Bu. Bicara di dalam."
Arimbi menganggukkan kepala setuju, lalu membantu Andaru memapah putranya masuk ke dalam rumah. Perlahan Arimbi membantu Andaru duduk di sofa lalu mengambil alih tas ransel yang terdapat sobekan di sebelah sisinya. Semakin khawatir saja Arimbi dan perasaannya yang sejak tadi tidak enak terbukti sudah. Putranya mengalami sebuah musibah.
"Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Kenapa seperti ini?"
"Aku jatuh dari motor tadi."
"Apa?"
Arimbi terkejut. Pantas saja putranya pulang dengan taksi. Dan juga kondisi Andaru yang terdapat beberapa luka.
"Tunggu sebentar. Ibu ambilkan obat. Ibu bersihkan lukamu."
Andaru diam saja sembari meringis. Arimbi meninggalkan Andaru masuk ke dalam. Mengambil baskom yang diisi dengan air hangat. Lalu mengambil kotak obat sekalian. Membawanya kembali ke ruang depan. Arimbi todak ingin bertanya dulu pada Andaru kronologis kejadiannya seperti apa. Lebih baik ia obati Andaru agar lukanya tidak infeksi. Dengan cekatan Arimbi menggulung lengan kemeja sang putra. Lalu membuka dua kancing teratas kemeja yang Andaru kenakan. Dengan washlap yang sudah dicelupkan ke dalam air hangat, Arimbi mulai mengompres beberapa luka di kulit tubuh Andaru.
Betapa Andaru merasa sangat terharu mendapati ibunya yang sangat menyayanginya. Mengurusnya dengan sangat baik.
"Biar aku buka sendiri, Bu." Andaru segera menghentikan pergerakan tangan Arimbi yang berniat membuka sepatunya. Hal yang tidak boleh ibunya lakukan. Meski kesusahan, Andaru tetap melepas sendiri sepatunya. Lalu menggulung ke atas celana panjang yang terdapat noda darah. Mulut Arimbi menganga mendapati luka dengan darah yang sudah mengering.
"Ya, Tuhan. Andaru! Kenapa sampai robek begitu?"
"Ini hanya luka kecil, Bu. Jangan khawatir."
"Luka kecil apa? Ini tadi pasti banyak mengeluarkan darah. Tahan sebentar. Ibu akan bersihkan. Mungkin nanti akan terasa perih."
Andaru mengangguk membiarkan ibunya mulai membersihkan darah yang sudah mengering. Setelah itu memberikan alkohol yang rasanya sangat perih. Berkali-kali Andaru terjengit juga mulut mendesis menahan diri untuk tidak berteriak karena rasa sakit.
"Sebenarnya apa yang terjadi sampai jadi seperti ini. Pasti ini bukan sebuah kebetulan hingga membuatmu terjatuh dari atas motor. Atau jangan-jangan kamu kecelakaan?"
"Kecelakaan tunggal, Bu. Karena memang aku terjatuh sendirian."
Andaru tidak berbohong mengatakan itu karena kenyataannya memang demikian. Andaru sendiri juga tak habis pikir jika ternyata meninggalkan luka di kulit tubuhnya.