Sang Pewaris-17

2120 Kata
"Wow, Andaru si cupu jadi sopir taksi sekarang?" Tawa nyaring disertai kata hinaan terlontar dari mulut Miranti. Mata Andaru membola mendapati wanita itu yang baru saja keluar dari lobi justru berdiri dengan angkuh menatap penuh cemooh padanya. Andaru menelan ludah gugup. Merutuki kebodohannya karena harus bertemu Miranti. Salah satu orang yang sangat ia hindari untuk ditemui hari ini. Namun, rupanya nasib baik tidak berpihak kepadanya karena Miranti kembali berucap, "Mantan karyawan Arashi group menjadi seorang sopir taksi. Sangat mengherankan. Ah, tapi memang kamu itu lebih cocok jadi sopir taksi ketimbang jadi karyawan Arashi. Tidak salah jika papa pada akhirnya memecatmu, kan?" Tak lagi mau mendengar ocehan yang semakin menyakitkan, Andaru memutus pandangan matanya dari Miranti, lalu gegas masuk ke dalam taksinya. Debaran di jantungnya masih terasa ketika pria itu melajukan taksi meninggalkan depan lobi. Masih sempat ia melirik dari kaca spion bagaimana Miranti yang menertawainya sampai tubuh wanita itu tak terlihat lagi karena taksi yang ia kemudikan telah melewati gerbang keluar meninggalkan Arashi building. Andaru membetulkan letak kacamatanya. Helaan napas berkali-kali keluar dari sela bibirnya. Miranti. Desahnya. Sungguh Andaru tak bisa mempercayai hatinya yang justru tertambat pada wanita yang sangat membencinya. Seorang wanita yang selalu ingin ia kejar ketika dia berhasil nantinya. Padahal Andaru sangat tahu jika hal itu sangatlah mustahil. Ya, sampai kapan pun Miranti tak akan mau menerima cintanya. Siapa dia memangnya? Andaru sangat tahu diri. Dia hanyalah seorang sopir taksi yang harus mencintai pewaris Arashi. Sangat mustahil terdengar, tapi entah kenapa di dalam lubuk hati Andaru yang terdalam pria itu yakin sekali jika dirinya pasti bisa mendapatkan sosok wanita cantik itu suatu hari nanti. Menepis semua rasa pun tak mampu Andaru lakukan dan ia harus merutuki kebodohannya yang justru semakin dalam tertarik pada wanita itu. Sial! u*****n Andaru disertai dirinya yang memukul stir kemudi taksinya. Di Arashi group, Miranti masih tertawa culas karena merasa puas sekali mendapati kehancuran Andaru. Keluar dari Arashi, yang ada pria itu semakin mengenaskan saja nasibnya. "Cupu ... cupu. Puas sekali aku melihat dirimu. Dasar orang rendahan. Sampai kapan pun kamu tetap akan jadi orang tak berguna." Ucapan Miranti dengan nada sinis lalu wanita itu masuk kembali ke dalam lobi kantor. Tadi sebenarnya Miranti berada di lobi karena tengah menunggu kedatangan klien-nya yang datang dari luar kota. Miranti sudah mengusulkan salah satu driver kantor untuk menjemput kliennya itu. Namun, rupanya sudah keduluan kliennya itu yang mendatangi Arashi Building dengan sebuah taksi. Siapa sangka jika sopir taksi yang Miranti kenali adalah si culun Andaru. Sempat tak mempercayai penglihatannya dan Miranti sampai harus keluar lobi demi memastikan jika Andaru lah yang dia lihat. Benar saja, jika Andaru yang dulu selalu menatapnya tak berkedip, sekarang beralih profesi setelah di depak dari Arashi. Menyedihkan sekali. Tapi Miranti puas sekali bisa menertawakan Andaru seperti tadi. Ada baiknya Miranti akan menceritakan pada papanya mengenai pertemuannya dengan Andaru. Pasti papanya juga akan ikut puas mengetahui jadi apa sekarang pria itu. Tak dipungkiri jika Dion Arashi juga ikut-ikutan membenci Andaru setelah tragedi beberapa bulan silam di mana Andaru si cupu itu dengan berani ngelunjak pada Dion dengan meminta gaji lebih atas semua kemampuan serta keberhasilannya selama menempati divisi IT. Dan Dion tak akan pernah menyukai karyawan yang berani menantangnya, seperti Andaru contohnya. *** Sikap sinis Miranti yang selalu ditunjukkan padanya, masih saja terngiang dalam memori ingatan Andaru. Benci sebenarnya karena seorang Miranti selalu memandangnya dengan sebelah mata. Kesal juga karena cintanya harus bertepuk sebelah tangan. Entahlah, mungkin jika ditelaah lebih dalam lagi, Andaru sendiri yang salah. Dengan tidak tahu dirinya justru menyukai seorang wanita yang jauh segala-galanya di atasnya. Dari segi wajah, Miranti memang cantik mendekati sempurna. Lelaki mana yang tidak akan suka melihat atau bahkan memiliki pasangan yang cantik serta tidak akan memalukan jika dibawa ke mana-mana. Dan Andaru adalah satu dari sekian banyak lelaki yang menyukai kecantikan Miranti. Tanpa ia menyadari satu hal, jika dirinya tak memiliki wajah mendukung untuk dapat bersanding dengan wanita itu. Sangat disayangkan sekali. Juga kekayaan yang dimiliki oleh Miranti. Tak sebanding sekali dengan apa yang Andaru miliki. Jangankan harta benda, untuk makan sehari-hari saja Andaru masih harus mencarinya. Sial sekali nasibnya. Dan urusan hati, tak pernah bisa Andaru mengaturnya harus menyukai siapa. Karena hati telah memilih pada wanita yang tidak tepat baginya. Dering ponsel yang berbunyi nyaring menyentak Andaru dari lamunan seputar Miranti. Saat ini dirinya telah kembali mangkal di area parkiran bandara. Sore telah berganti petang saatnya Andaru untuk pulang. Namun, ponsel yang masih berdering membuat Andaru harus memicingkan mata mendapati nama Om Hari yang sedang menghubunginya. Ini hari ketiga pasca Andaru menolong lelaki paruh baya itu. Sejak pertemuan terakhirnya malam itu, ketika Andaru juga berkenalan dengan istri Hari, Andaru belum lagi menjenguk juga bertanya kabar seputar kondisi lelaki itu. Bukan apa-apa. Sebab Andaru tidak ingin mereka salah sangka jika Andaru akan meminta imbal jasa atas apa yang telah ia lakukan pada Hari Prasetya. Tidak demikian. Sungguh, sedikit pun Andaru tak ada niatan demikian. Ia tulus menolong Hari tanpa ada pamrih apa pun. Andaru berdehem sekali sebelum mengangkat panggilan telepon tersebut. "Halo, selamat sore Om Hari." Andaru menyapa dengan sopan dan santun. Di seberang sana, Hari Prasetya tengah melukiskan senyumnya ketika mendapati Andaru pada akhirnya mau mengangkat juga panggilan telepon darinya. Beberapa hari ini lelaki itu menunggu kedatangan Andaru. Namun, pemuda itu tak kunjung datang untuk menemuinya. Padahal Hari ingin mengucapkan terima kasih sekali lagi pada orang yang telah berjasa menolongnya. Sebelum ia benar-benar meninggalkan kota ini dan tak lagi dapat bertemu dengan pemuda itu. "Ndaru. Kamu sedang di mana?" Hari bertanya. "Saya masih di bandara, Om Hari." "Jadi, kamu belum pulang?" "Sebentar lagi saya pulang, Om." "Eum ... Ndaru. Bisakah kita bertemu?" Hari ingin sekali bertemu dengan Andaru karena dua hari lagi mungkin dia akan meninggalkan kota ini dan pulang ke rumahnya sendiri. Sejak pagi tadi Hari sudah keluar dari rumah sakit, dan sekarang pria itu bersama istrinya memutuskan menginap di hotel sampai kondisi Hari stabil. "Om ingin bertemu dengan saya? Ah, iya. Bagaimana kondisi Om Hari?" " Kondisi saya sudah jauh lebih baik dan pagi tadi saya sudah keluar dari rumah sakit," jelas Hari yang tentu saja membuat Andaru terkejut. Tak menyangka jika lelaki yang dua hari lalu ia tolong tak lagi dirawat di rumah sakit. Ikut lega Andaru mendengarnya. "Syukurlah jika Om sudah sembuh." "Oleh sebab itulah, Ndaru. Saya ingin bertemu denganmu sebelum kembali pulang ke rumah. Apakah kamu keberatan andai saya dan istri saya datang ke rumahmu?" Andaru diam sejenak tak langsung meng-iya-kan dan menyetujui begitu saja permintaan Hari Prasetya. Andaru berpikir sejenak, kira-kira ibunya akan keberatan atau tidak jika dia membawa orang lain yang bahkan baru dikenalnya. "Ndaru ... Saya ingin sekali bertemu dengan keluargamu. Bagaimana pun kamu adalah orang baik yang telah menolong juga menyelamatkan saya. Jika saya menemuimu di tempat kerja, tidak enak hati dengan teman-temanmu yang lain. Juga tidak bisa leluasa mengobrolkan banyak hal. Bagaimana? Kamu mengijinkan Om datang ke rumahmu?" Benar apa yang Hari Prasetya katakan. Rasanya tidak etis saja jika mereka bertemu di saat Andaru sedang bekerja. Berpikir sekali lagi akan maksud dan tujuan Hari Prasetya ingin menemuinya. Andaru rasa Ibunya pasti tidak akan keberatan juga menerima kedatangan tamunya. "Baiklah, Om. Silahkan jika Om ingin ke rumah saya. Tapi maaf ... rumah saya biasa saja, Om. Saya takut Om Hari akan kaget nanti." "Astaga, Ndaru. Bagi saya rumah besar atau kecil itu tak ada artinya. Yang penting adalah kenyamanannya. Jadi ... Saya boleh datang ke rumahmu, kan?" "Iya, silahkan, Om." "Berikan saya alamatmu. Malam ini kami berdua akan datang. Tak perlu memberikan jamuan karena Om dan Tante hanya ingin bersilaturahmi dengan keluargamu." "Baik, Om. Alamatnya akan saya kirimkan setelah ini." "Terima kasih, Ndaru." "Sama-sama, Om." Gegas Andaru pulang setelah Hari Prasetya mengakhiri panggilan teleponnya juga Andaru yang mengirimkan alamat rumahnya. Tak lupa di perjalanan pria itu mampir sebentar di kios buah yang dilewati ketika akan menuju rumahnya. Tiga macam jenis buah Andaru beli sebagai suguhan bagi tamunya nanti. Ingin membeli kue, tapi Andaru rasa jika calon tamunya tak boleh mengkonsumsi makanan dengan kadar manis yang berlebihan. Itu sebab dikarenakan kesehatan Hari yang belum sembuh total. Perjalanan kurang dari satu jam membawa Andaru tiba juga di rumahnya. Pria itu turun dari atas motor disambut hangat oleh ibunya. "Kenapa pulang malam?" Arimbi yang merasa hari ini putranya pulang lebih malam dari biasanya pun melontarkan pertanyaan. "Maaf, Bu. Tadi aku harus mampir dulu membeli buah." Arimbi memindai penglihatannya pada kantong kresek di tangan Andaru. "Kamu membeli buah? Banyak sekali?" Andaru tersenyum. Dengan sebelah tangan yang membawa buah, tangan satunya melingkar di pundak Arimbi. Membawa ibunya masuk ke dalam rumah. "Malam ini akan ada tamu yang berkunjung." "Tamu? Siapa?" "Om Hari Prasetya." Mereka berdua langsung masuk ke ruang makan. Andaru menaruh buah yang ia bawa ke atas meja. Sementara Arimbi duduk di salah satu kursi karena ingin mendengar cerita secara jelas mengenai rencana kedatangan Hari Prasetya. "Hari Prasetya bukannya penumpangmu yang sakit beberapa hari lalu?" "Iya, Bu. Tadi Om Hari meneleponku. Mengatakan jika sudah keluar dari rumah sakit dan malam ini ingin berkunjung ke rumah. Ibu tidak keberatan, kan?" Andaru menoleh pada ibunya sembari mengeluarkan buah pisang, apel dan juga semangka dari dalam kantong. "Tentu saja ibu tidak keberatan. Tapi rumah kita seperti ini apa beliau tidak keberatan?" Andaru menggelengkan kepalanya. "Aku sudah mengatakannya pada beliau. Dan Om Hari tidak keberatan untuk tetap datang. Ya, sudah. Aku mandi dulu, Bu. Takut jika Om Hari keburu datang nanti." Selagi Andaru mandi, Arimbi mulai menata buah yang putranya beli ke atas piring. Untuk buah semangka, Arimbi pun mengupasnya, lalu ia potong-potong untuk memudahkan saat dimakan nanti. Tiga puluh menit dan Andaru sudah rapi dengan baju rumahan. Arimbi mengatakan pada putranya jika saat nanti Hari Prasetya datang, mungkin bisa ditawari untuk makan malam bersama. Kebetulan Arimbi masak lumayan banyak. Meski hanya menu sederhana berupa sayur sop, ayam dan tempe goreng juga sambal terasi. Namun, jika disuguhkan pada tamu juga tidak mengecewakan. Ketukan pada pintu rumah membawa Andaru buru-buru membukanya. Benar saja, jika sepasang suami istri yang kini berdiri di depan pintu adalah Hari dengan Karlita. Andaru mengulas senyuman mendapati tamu yang ia tunggu datang juga. "Om Hari ... Tante Karlita, silahkan masuk. Maaf jika rumahnya kecil." Andaru mempersilahkan tamunya masuk ke dalam. Hari menelisik rumah sederhana yang ditinggali oleh Andaru. Meski kecil, tapi kesan nyaman sangat terasa sekali sejak Hari melewati taman kecil di halaman depan. Duduk di atas sofa usang yang telah pudar warnanya. Meski demikian rumah Andaru ini terlihat sangat rapi dan bersih mencerminkan sosok penghuninya yang merawat rumah ini dengan sebaik-baiknya. Karlita pun merasakan hal yang sama seperti suaminya. Keduanya duduk saling bersisihan di satu sofa panjang. Sementara Andaru, duduk di samping Hari dan Karlita pada sebuah single sofa. "Huft ... akhirnya Om dan Tante bisa juga sampai di sini." Hari memulai obrolan. "Dengan apa tadi Om menuju ke sini?" "Kami diantar oleh pihak hotel. Dan nanti begitu saat pulang, mereka akan kembali menjemput." "Jadi Om Hari tinggal di hotel?" "Iya. Hanya sementara waktu sampai kondisiku benar-benar siap melakukan perjalanan jauh. Jujur ... Om masih trauma naik pesawat," jelas Hari lalu terkekeh pelan membuat Andaru juga Karlita mengulas senyuman. "Lain kali sebaiknya Om Hari jangan bepergian jauh dulu. Sayangi kesehatan Om." Kali ini Karlita ikut menimpali, "Sebenarnya Tante sudah melarang Om pergi, Ndaru. Tapi, begitulah. Om Hari ini keras kepala dan ingin pergi sendiri." "Jangan diulangi lagi, Om. Kasihan Tante pasti cemas dan khawatir." Hari tersenyum. "Belum ada yang bisa Om andalkan untuk mengurus proyek besar pemerintahan, Ndaru. Jadi ... ya mau tidak mau Om harus turun tangan sendiri." Obrolan mereka disela oleh kedatangan Arimbi yang membawa nampan berisi teh hangat dan buah yang tadi Andaru beli. Arimbi menyambut dua orang tamu Andaru dengan senyuman lebar. Arimbi tak menyangka jika tamu-tamunya ini rupanya setara usia dengannya. Arimbi pikir yang sering Andaru ceritakan bernama Hari Prasetya masihlah muda. Namun, ternyata dugaan Arimbi tidak tepat. "Silahkan diminum, Pak ... Bu." Dengan sopan dan ramah Arimbi meletakkan gelas di hadapan masing-masing tamunya juga di hadapan putranya. "Duduk dulu, Bu," pinta Andaru pada Arimbi karena pria itu ingin mengenalkan ibunya pada kedua tamunya. Arimbi menurut, duduk di satu-satunya sofa yang masih kosong dan belum ada yang menduduki. "Om Hari ... Tante Karlita. Kenalkan beliau adalah Ibu Saya. Satu-satunya orang tua juga keluarga yang saya miliki. Di rumah ini saya hanya tinggal berdua dengan ibu saya." Hal yang baru Hari tahu seputar Andaru. Lelaki itu menatap pada Arimbi seraya mengenalkan diri. "Perkenalkan, saya Hari Prasetya. Saya adalah orang yang dua hari lalu ditolong oleh Ndaru. Dan wanita di sebelah saya ini Karlita. Dia istri saya." Panjang lebar Hari memperkenalkan dirinya dan disambut senyuman hangat oleh Arimbi. Pun demikian dengan Karlita yang juga tampak ramah kepadanya. "Saya Arimbi. Ibunya Andaru." Kini giliran Arimbi yang memperkenalkan dirinya pada Hari dan juga Karlita. Deg. Senyum di bibir Hari Prasetya lenyap sudah demi mendengar ini semua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN