Selamat membaca
Ketika pekerjaan kantor telah selesai, satu persatu karyawan mulai membereskan meja kerja mereka dan bersiap pulang ke rumah masing-masing.
Begitupula dengan Ganesa yang tengah sibuk menata beberapa catatan di meja sebelum pergi meninggalkannya.
"Kau sudah selesai?" tukas Valder singkat.
"Sudah, Presdir," sahut Ganesa ringan, lalu melangkah ke arah Valder.
"Cek sekali lagi. Pastikan tidak ada yang tertinggal," ujar Valder memperingatkan.
"Saya sudah mengecek—"
"Kau meninggalkan tas di sana," potong Valder datar sembari menunjuk sebuah tas yang berada di atas meja.
Ganesa seketika menoleh kembali ke arah meja. Lalu menepuk dahi ketika dirinya hampir saja meninggalkan tas kerjanya di kantor.
Valder berdecak. "Ceroboh sekali," cibirnya sinis.
Ganesa hanya memasang raut wajah malas menanggapi cibiran Valder yang menang benar apa adanya. Lalu dia kembali ke meja untuk mengambil tasnya.
Kemudian mereka berdua pun berjalan bersama meninggalkan kantor menuju tempat parkir.
"Seperti apa tipe pria idamanmu?" tanya Valder tiba-tiba ketika sudah berada di dalam mobil.
Ganesa menoleh ke arah Valder yang tidak memasang ekspresi apa pun dan tetap fokus menyetir.
"Kenapa Anda tiba-tiba menanyakan itu?"
"Itu bukanlah pertanyaan yang sulit. Jadi kau hanya perlu menjawabnya, tanpa harus membuang-buang waktu," pungkas Valder dingin.
Ganesa memasang raut wajah datar ketika mendapati sikap Valder yang begitu buruk. Seharusnya pria itu bisa sedikit menjaga sikap dan berbicara dengan bahasa yang lebih sopan ketika sedang bertanya kepada seseorang. Lagipula siapa yang tidak kesal jika disuruh menjawab dengan paksaan seperti itu?
"Yang pasti dia harus laki-laki baik," ungkapnya.
"Hanya itu?"
"Setia dan bertanggung jawab," sahut Ganesa ringan.
"Terlalu klise," tukas Valder arogan.
"Itu hanya garis besarnya saja. Saya juga tidak keberatan jika harus menyebutkan semua," balas Ganesa santai.
"Pertama, dia harus memiliki sikap dan tingkah laku yang baik. Kedua, tidak pernah menyentuh minuman keras. Ketiga, bukan perokok. Keempat, tidak bertato. Dan kelima, tidak pernah tidur dengan wanita. Saya ingin memiliki pasangan yang benar-benar bersih dari hal-hal kotor seperti itu," lanjutnya tenang dengan nada menyindir sembari menatap lurus ke arah Valder.
"Oh, kau sedang membicarakanku sekarang," tukas Valder datar.
"Baguslah jika Anda cukup peka," pungkas Ganesa enteng tanpa dosa.
"Kau terang-terangan sekali mengatakan jika tidak menyukaiku."
"Jadi, apa aku tidak termasuk tipe idealmu?"
"Tidak ada satu pun dalam diri Anda yang masuk kriteria kekasih idaman saya," ungkap Ganesa lugas.
Valder tersenyum tipis meremehkan.
"Tidak lama lagi kau akan menyesali ucapanmu. Karena aku pasti akan membuatmu tergila-gila kepadaku."
Ganesa memutar bola malas. Dan memilih untuk tidak menggubris ucapan Valder.
Beberapa saat kemudian, mereka telah tiba di mansion.
Ganesa keluar lebih dulu dari mobil, dan disusul oleh Valder.
Saat berjalan di belakang Ganesa, pandangan Valder jatuh ke arah dua bongkahan kenyal yang terus bergerak ketika Ganesa berjalan. Dia menatapnya intens dengan tatapan yang tidak bisa ditebak.
Kemudian pria itu tiba-tiba mempercepat langkahnya menghampiri Ganesa. Lalu menggerakkan tangan bersiap untuk menepuk dua bongkahan kenyal itu.
Namun belum sempat telapak tangan Valder menyentuh p****t Ganesa, lengannya sudah lebih dulu ditahan oleh Ganesa yang menyadari gerakan Valder ketika berniat mendekat untuk melecehkan.
Sudut bibir Valder tersungging ke atas sebelah membentuk senyuman miring. "Refleksmu bagus juga."
"Anda bilang tidak menyukai saya. Tapi Anda berkali-kali menunjukkan tindakan yang jelas membuktikan jika Anda tertarik dengan saya," ujar Ganesa santai sembari melepas lengan Valder.
"Aku memang tidak benar-benar menyukaimu. Aku hanya tertarik dengan tubuhmu saja," tukas Valder.
"Tanpa Anda sadari, sebenarnya Anda sudah memiliki perasaan dengan saya sejak awal," tutur Ganesa tenang.
Valder tersenyum sinis. "Satu hal yang harus kau tau. Terkadang aku juga meniduri wanita tanpa memiliki perasaan terhadap mereka. Jadi jika aku tertarik dengan tubuhmu, itu tidak berarti aku memiliki perasaan khusus denganmu. Jadi jangan terlalu percaya diri!" desisnya sarkas.
Ganesa tersenyum tipis. "Sepertinya Anda melupakan sesuatu."
"Anda sendiri yang mengatakan jika Anda tidak mungkin menyukai saya. Jadi bagaimana bisa Anda tertarik dengan tubuh seseorang yang jelas tidak Anda sukai? Apa sekarang selera Anda seburuk itu? Atau Anda sudah memutuskan untuk menarik kembali perkataan Anda?"
"Sekarang Anda justru seperti menjilat ludah Anda sendiri," ujar Ganesa ringan dan berbalik berjalan memasuki mansion.
Tetapi belum sempat Ganesa melangkah, lengannya sudah lebih dulu ditahan dan ditarik Valder dengan kasar hingga membuat tubuh Ganesa menabrak d**a Valder yang keras.
Valder mengunci pinggang Ganesa, dan mengapit pipi putih wanita itu. "Dengar, tidak ada satu pun wanita yang boleh menolakku. Termasuk kau," desisnya tajam dan mengintimidasi.
Ganesa sedikit meringis kesakitan karena cengkraman tangan Valder di pipinya yang terlalu kencang. Ditambah lagi, pinggangnya juga terasa nyeri karena Valder menekannya cukup kuat.
Valder yang menyadari hal itu langsung melepaskan Ganesa dengan mendorongnya sedikit kasar. "Kali ini kau beruntung karena aku masih berbaik hati tidak menyakitimu. Tapi lain kali, aku tidak akan membiarkanmu jika kau masih berani berbicara kurang ajar seperti itu lagi," tukasnya dingin dan berlalu pergi meninggalkan Ganesa dengan perasan yang bergemuruh.
Setelah Valder pergi, Ganesa memegangi pipinya yang terasa sakit. "Kuat juga dia sampai bikin pipi gue begini."
"Ck! Emang dasar sinting," umpatnya tidak habis pikir dengan tindakan Valder yang kurang ajar.
*****
Keesokan harinya.
Valder berubah menjadi sosok yang semakin dingin setelah kejadian kemarin malam. Bahkan dia tidak mengucapkan sepatah kata pun saat berada di meja makan, maupun di perjalanan menuju kantor. Sedangkan Ganesa tetap profesional melayani Valder, meskipun respon Valder tidak menyenangkan.
Valder melirik sekilas ke arah Ganesa dan mendapati ada luka memar di pipi wanita itu. Namun dia tidak mengatakan apa pun, dan tetap fokus menyetir. Bahkan ketika sampai di kantor pun pria itu tetap diam.
Sampai akhirnya ketika jam makan siang hampir tiba, Valder tiba-tiba meminta Ganesa untuk datang ke ruangannya tanpa alasan apa pun.
Meskipun curiga Valder akan kembali mengganggunya, tetapi Ganesa tetap datang ke ruangan Valder dan mengesampingkan masalah pribadinya dengan pria itu untuk sementara.
"Kemarilah," suruh Valder datar ketika melihat Ganesa hanya berdiri di belakang sofa yang jauh dari jangkauannya.
Ganesa mengangguk kecil dan pindah berdiri di samping sofa.
Valder menatap Ganesa dengan tatapan lurus ketika menyadari Ganesa enggan berada di dekatnya.
"Duduk di sini," suruh Valder tenang sembari menepuk sofa sebelahnya.
Ganesa memicingkan kedua matanya curiga.
"Apa-apaan tatapanmu itu? Aku hanya menyuruhmu untuk duduk di sebelahku," tukas Valder.
"Aku tidak akan memperkosamu," sambungnya ketika Ganesa tak kunjung mendekat dan masih berdiri di samping sofa.
Ganesa menghela napas pelan. Lalu berjalan ke arah Valder dan duduk di samping pria itu.
"Biar kulihat." Valder menyentuh pipi Ganesa pelan.
"Sepertinya kemarin aku terlalu kasar," ujarnya ketika memperhatikan luka memar di setiap sisi pipi Ganesa.
Kemudian dia beranjak dari sofa dan berjalan menuju lemari untuk mengambil kotak obat. Lalu kembali duduk di samping Ganesa dan meletakan kotak obat tersebut di atas meja.
Pria itu mulai mengoleskan gel di pipi Ganesa yang memar dengan hati-hati.
Sedangkan Ganesa dibuat bingung dengan sikap dan tindakan Valder yang selalu berubah-ubah.
Jangan-jangan dia punya kepribadian ganda?
"Jangan berpikiran yang macam-macam," desis Valder seakan mengetahui apa yang sedang Ganesa pikirkan.
"Aku sebenarnya cukup bertanggung jawab dan tidak seburuk yang kau pikirkan," pungkasnya datar.
Ganesa hanya diam dan tidak membalas ucapan Valder karena khawatir ucapannya akan kembali menyinggung Valder jika dia salah berbicara.
"Kau boleh pergi sekarang," suruh Valder singkat sembari menutup tempat gel yang digunakan untuk mengolesi memar di wajah Ganesa.
Ganesa mengangguk dan tak lupa berterimakasih kepada Valder sebelum pergi.
"Lain kali jangan membuatku marah jika tidak ingin hal seperti itu terjadi lagi. Karena aku sulit mengontrol emosi," desis Valder dingin tanpa menoleh ke arah Ganesa.
Ah, ternyata dia merasa bersalah.
"Saya akan ingat itu," ujar Ganesa ringan dan keluar dari ruangan Valder.
Setelah Ganesa pergi, Valder mengusap wajah kasar karena bingung dengan sikapnya sendiri.
"f**k!"
TBC.