Bab 7

1450 Kata
Hari-hari aku lalui di dalam rumah baruku. Jarang aku keluar rumah kecuali penting sekali. Aku takut bertemu kembali dengan Reno. Yah! Takut sekali, sebab dia pasti akan mempertanyakan tentang anak yang aku kandung. Untuk keperluan biaya hidup pak Pramono kerap datang ke rumah membawa belanjaan dan uang. "Rini, beberapa hari ke depan kemungkinan bapak tidak bisa ke sini, rencananya mau ke Singapura mau konsultasi masalah kesehatan ibu. Gak apa-apa, kan?" tanya pak Pramono suatu ketika di sore itu. "Tidak apa-apa, Pak! Rini maklum, Bapak juga punya tanggung jawab kepada ibu," ucapku sambil tersenyum. "Sebelum bapak pergi, bapak mau mengajak kamu ke dokter kandungan setelah itu kita belanja untuk keperluan kamu ke depan," ucapnya. "Di mana Pak?" "Ke dokter sekitar sini saja, setelah itu ke supermarket, nanti kamu yang memilih sayuran dan buah-buahan apa yang kamu inginkan, Bapak kan tidak tahu," ucapnya "Baik, Pak." "Hayukk." Aku segera mengikuti langkahnya menuju carport di mana mobilnya terparkir. **** Pak Pramono mengarahkan kendaraannya menuju dokter kandungan yang kerap menjadi langganan kami memeriksakan kondisi kandungan. Setelah itu kami menuju pasar modern yang menyediakan berbagai keperluan sehari-hari. Aku masukkan barang-barang kebutuhan pokok ke dalam troli di temani pak Pramono yang mendorongnya. Kami benar-benar layaknya suami istri yang sedang berbelanja berdua. Kadang kami sambil mengobrol ringan-ringan. "Rini, Bapak mau ke toilet dulu yah! Rini tunggu sambil pilih-pilih keperluanmu," ucap pak Pramono. Namun aku melihat matanya jelalatan ke beberapa sudut lorong etalase. "Iya, Pak, silahkan." Setelah ia menghilang di ujung lorong etalase. Aku kemudian berjalan sambil melihat-lihat etalase. Aku berhenti di deretan etalase s**u ibu dan balita. Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba aku melihat sosok yang sangat aku kenal lekuk tubuhnya. Sosok itu tiba-tiba mendekat dan berada dihadapanku yang sedang menunduk memilih s**u. Aku mendongakkan wajahku. "Rini, jodoh tidak akan kemana, akhirnya kita bertemu di sini," ucapnya tiba-tiba. Darahku berdesir, terkesiap kaget bukan kepalang. Lalu aku menoleh kesana-kemari takut pak Pramono tiba-tiba juga ikut muncul. Dimana pak Pramono? apakah ia tahu keberadaannya sehingga cepat-cepat menyingkir. "Rini, Rini ... kamu kok kayak orang bingung?" ucap sosok tersebut mengagetkanku lagi. Lalu kuarahkan pandanganku kembali kearah orang yang menyapaku tersebut. "Mm-- Mas Reno? Mas Reno kok ada di sini, sama siapa?" ucapku tergagap. "Harusnya aku yang bertanya, kamu sama siapa di sini?" tanya Reno balik. "Aa-- aku sendirian, Mas," jawabku dengan jantung berdegup kencang. "Rini, aku minta tolong, jelaskan anak siapa yang kamu kandung?" ucapnya memohon. "Mas, ini bukan anakmu, Mas. Jadi bukan tanggung jawabmu, Mas," ucapku sambil mengelus perutku yang mulai membuncit. Terlihat tangan Reno terulur hendak menyentuh perutku. Namun, aku bergeser mundur. Tampak raut kecewa di wajahnya. Sebenarnya aku tidak tega melihat kekecewaan padanya. Namun, aku juga tidak sampai hati jika saat ini memberitahukan kebenaran yang terjadi. Aku kemudian pura-pura sibuk memilih barang-barang keperluanku sambil melihat-lihat keberadaan pak Pramono. Takutnya ia tiba-tiba muncul. Kulihat Reno masih mengikutiku saat aku pura-pura memilih barang-barang di etalase. Aku bingung apa yang harus kulakukan agar ia secepatnya pergi. Jika ia masih mengikutiku 'kan bisa gawat seandainya tahu aku bersama pak Pramono. "Hai, kalian ngapain di sini?" ucap seseorang dari belakang yang suaranya sangat aku kenal. Yah, pak Pramono. Berani sekali dia menghampiri aku saat ada Reno? Duh!! Bagaimana ini? Aku aja khawatir bukan main. Ini malah mendekat! Haduh! Aku Memberanikan diri membalikkan badan melihat ke arah dua sosok yang sudah mulai berdekatan. "Loh! Papa? Papa kok di sini? Sama siapa, Pa?" Kulihat raut keheranan terpancar dari wajah Reno. Aku hanya diam menunduk tak tahu harus bagaimana. Aku dengarkan dulu pembicaraan mereka. "Oh, papa lagi cari vitamin buat mama. Papa lihat kalian berdua ada di sini," Rupanya pak Pramono sedang bersandiwara. Aku mulai paham dan nanti akupun harus mengimbangi sandiwara pak Pramono. "Kenapa Papa gak bilang saja sama Reno. Biar Reno yang belikan, Pa," jawab Reno lugu. Duh! Mas, begitu lugunya kamu, Mas! Aku sebenarnya begitu kasihan terhadapmu. Namun, untuk saat ini jangan dulu deh! kamu mengetahuinya sebelum menikah! "Eh, Pak Pramono, apa kabar, Pak?" ucapku bersandiwara di depan Reno. Ku tundukan tubuhku berakting hormat. "Baik, Rini, kamu sama Reno lagi apa di sini?" tanya Pak Pramono melanjutkan sandiwaranya pura-pura tidak tahu. "Kebetulan saja, Pak, kami berjumpa di sini. Ini Rini lagi belanja keperluan sehari-hari," ucapku mengimbangi sandiwara pak Pramono. "Sekarang kamu kerja di mana, Rini?" "Oh, Rini ikut keluarga, Pak. Mereka yang suruh aku berhenti takut terjadi apa-apa dengan si kecil," ucapku bohong. Duh! Maafkan aku nak! Kamu aku ikut sertakan berbohong. Maaf, Nak. Tapi ini demi kita, Nak! "Reno, ngapain di sini? Bukankah harus ketemu pak Johan klien kita di Cengkareng?" Cecar pak Pramono kepada Reno. Sepertinya Pak Pramono menemukan ide dan menggunakan kekuasaannya agar Reno segera berlalu dari tempat ini. "Maaf, Pa, tadi Reno ke sini mau cari minyak rambut sama yang lainnya. Eh, ketemu Rini, jadi Reno hampiri Pa! Mau tanya juga kenapa berhenti tiba-tiba. Sekarang Reno jadi tahu, rupanya ia sedang hamil makanya berhenti," ucap Reno dengan lugunya. Duh! Seandainya kamu tahu, Mas! "Ya, sudah, sana temui pak Johan, dia klien utama kita jangan sampai ia kecewa!" perintah pak Pramono dengan tegas. Aku hanya bisa menunduk. Tak sanggup memandang wajah Reno dengan raut kecewa. "Baik, Pa, oh, ya, Rini. Jika butuh bantuan bilang saja sama aku, yah!" ucap Reno sambil memandangi perutku penuh harap. "Iya, Mas Reno," jawabku singkat saja agar tidak memperpanjang obrolan. Karena aku was-was jika salah satu dari mereka keceplosan bicara. Reno lalu membalikkan badan menuju kasir dengan sesekali ia menoleh ke arahku. Pak Pramono juga pura-pura ikut beriringan dengan Reno. Mungkin ingin memastikan jika Reno keluar dari pusat perbelanjaan. Hatiku sedikit lega meski cemas masih menghantui. Karena bisa saja nanti Reno bertahan dan mengikuti kami saat pulang ke rumah. Duh! Runyam! **** "Rini, percayalah. Selesai anak ini lahir. Bapak akan menikahimu," ucap pak Pramono sambil mengelus perutku. Terlihat ia begitu sayang dengan anak yang aku kandung. Yah! Bisa jadi ia merindukan wangi bayi dalam gendongannya. "Rini percaya, Pak," ucapku singkat. Entah kenapa dengan pak Pramono tidak bisa bicara lepas seperti saat dengan Reno. Aku bisa bicara lepas dan bahkan tertawa lepas. Mungkin faktor usia yang berbeda tidak jauh dengan Reno. Sedangkan dengan pak Pramono usia kami terpaut sangat jauh. "Masalah keluarga Bapak, nanti biar Bapak yang mencoba menerangkan kepada mereka. Untuk saat ini, kamu tahu sendiri. Mamanya Reno sedang sakit keras," jelas pak Pramono. "Rini paham kok, Pak," ucapku. Sebenarnya hatiku teriris, bagaimana tidak. Aku menghianati Bu Rosalinda saat ia sedang sakit. Aku menghianati Reno saat ia sedang penuh harap kepadaku. Aku memang jahat! Jahat sekali. Namun, semua karena malam nahas itu. Kenapa aku tidak memiliki kekuatan untuk menolak perlakuan pak Pramono. Harusnya kini aku bisa saja menikah dengan Reno. Pria tampan yang begitu mencintaiku. Walaupun pak Pramono juga begitu perhatian dan sayang kepadaku. Namun, namanya cinta ia tetap ada buat orang yang dicintai, meski raga ini dimiliki orang lain. Kalaupun aku menolak dua-duanya. Anak yang dalam kandunganku juga butuh kasih sayang seorang ayah, dan pak Pramono begitu tanggung jawab meski sebenarnya Reno juga pasti tanggung jawab jika aku memilihnya. Namun, jika aku memilih Reno. Apakah pak Pramono mau merestui hubunganku dengannya? Sementara aku dan pak Pramono sudah menjalin hubungan intim. "Kalaupun tidak aku jelaskan ke keluarga mengenai hubungan kita, toh! Lambat laun mereka suatu saat akan mengetahui. Jadi, alangkah baiknya Bapak memberitahukannya, tapi nunggu waktu yang tepat. Bukan sekarang." ucap Pak Pramono. Sebisa mungkin, memberitahukannya jika Reno sudah menikah, Pak! Itu kalimat yang ingin kusampaikan, tapi urung. Takut ia curiga mengenai hubunganku dengan Reno. "Ya, Pak, Rini paham. Memang alangkah baiknya menunggu waktu yang tepat," jawabku. Pak Pramono tersenyum memamerkan gigi-giginya yang putih dan rapih di usianya yang tak terbilang muda. **** Selanjutnya, hari-hariku tanpa pak Pramono, karena ia mengantar Bu Rosalinda berobat ke Singapura. Segala kebutuhan hidup sekarang harus keluar sendiri untuk belanja. Baik periksa kandungan maupun belanja kebutuhan pokok. Aku merasa kesepian, tidak ada satupun yang menemani. Hampa? Pasti! Sebejat-bejatnya aku, tetap butuh pendamping hidup, butuh orang yang membelai, butuh kasih sayang dan perhatian. Butuh orang yang mensuport dan gitu-gitu deh. Apalah artinya harta jika tidak ada kasih sayang. Nol! Harta hanya kebahagiaan semu. Tanpa kasih sayang, harta cuma sebagai pelengkap. Seperti diriku, kesepian. Sampai kapan aku dalam posisi seperti ini. Kalaupun aku dinikahi pak Pramono, tentu kasih sayang dia juga tidak sepenuhnya untukku. Namun, yah! Resiko jadi pelakor. Harus rela jika pasangan kita membagi kasih sayangnya dibagi dengan yang lain. Harus rela di depan mata, pasangan kita membagi kemesraannya dengan istri sahnya. Itu resiko! Kalau tidak mau menanggung resiko seperti itu. Jangan coba-coba jadi pelakor! Pelakor itu, harus siap dilabrak orang. Harus siap cintanya terbagi. Harus siap pasangan kita meluangkan waktunya lebih banyak dengan keluarganya. Harus siap dimaki-maki jika ketahuan. Jika tidak siap jangan jadi pelakor! Paham. Aku memaki-maki diriku sendiri didepan kaca. Memandangi tubuhku yang sudah makin kelihatan besar perutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN