Bab 4

1008 Kata
Aku mencolek pak Pramono, dan memberikan kode kepadanya untuk melihat ke arah Reno yang terlihat sedang berbincang dengan rekannya. Sontak pak Pramono terlihat sangat kaget. Sama kagetnya denganku yang diiringi jantung berdegup kencang. Semestinya 'kan dia di rumah sakit menemani ibunya. "Kita berjalan sendiri-sendiri saja yah! Jangan sampai kita ketahuan jalan berdua," ucap pak Pramono sambil mengajakku berbalik arah menjauh dari tempat Reno berada. "Tapi, baju-baju ini bagaimana, pak?" tanyaku panik dengan wajah gelisah. "Oh, iya, bagaimana yah! Mmm ... begini saja, baju ini tetap kamu yang bawa. Jika nanti kepergok Reno, bilang saja ini mau disumbangkan buat saudara kamu yang sedang hamil," saran pak Pramono sambil bergegas menjauh dariku. Aku berdiri kebingungan sambil menenteng tas-tas berisi pakaian hamil. Harus lewat mana? Sementara di depan sana ada Reno. Disaat sedang bingung-bingungnya. Tiba-tiba sapaan seorang laki-laki terdengar dari belakangku. "Rini?! kamu ngapain ada di sini?" Degg! Aku membalikkan badan. Duh!! Apesss!! Jantungku serasa mau copot! Benar saja, Reno memergoki aku disini. Untungnya pak Pramono sudah pergi menjauh. Entah kemana perginya. "Eh, Mas Reno, kok ada di sini? Bukankah sedang di rumah sakit menunggui ibu?" ucapku tergagap dengan jantung berdegup kencang. "Harusnya, iya, tapi aku harus menemui klien urusan bisnis. Mau tidak mau aku tinggal dulu mama di rumah sakit. Mau nelfon papa. Aku kasihan, beliau lagi sakit," jawab Reno. Duh! Polos sekali kamu, mas? Ayahmu 'kan bersamaku barusan. Gumamku dalam hati. "Oh, gitu ya, mas, kalau begitu, aku permisi ya, Mas. Aku mau menjenguk saudaraku," ucapku untuk alasan agar segera secepatnya berlalu dari hadapannya. Aku gak sanggup lama-lama di hadapannya, serba salah! Mati kutu! "Aku, antar, yah?" tawar Reno kepadaku. Duh! Pakai mau antar lagi! Ini bocah nekat amat! Seandainya kamu yang sebenarnya, Mas? Mungkin kamu bisa ngamuk di sini bak Arjuna melesatkan panahnya. "Eh, jangan, Mas, bukankah, Mas Reno mau balik ke rumah sakit menemani ibu?" tolakku dengan berbagai alasan. "Tidak apa Rini, kan cuma sebentar," ucapnya setengah memaksa. Nih anak, polos banget, sih! Bebal dibilangin. Kalau kamu mengantarku, kamu ...! Ahh! "Jangan, Mas, bener, jangan, sebab aku rencana mau menginap di rumah saudara," ucapku cari alasan lebih kuat lagi. "Di mana rumah saudara Rini tepatnya?" Pake nanya rumah saudara lagi! Busyet, gawat ... gawat! Rasanya ingin segera berlari saja aku! "Jauh mas dari sini! Di Ciledug sana!" ucapku bohong, agar Reno mengurungkan niatnya untuk mengantarku. "Ada juga tuh, temenku di sana. Siapa tahu deketan dengan rumahnya. Emangnya Ciledug mana?" "Aa, anu, Rini juga belum mengerti. Katanya aku mau dijemput nanti kalau sudah sampai di kota cileduk," ucapku cari-cari alasan lagi. Kenapa maksa banget sih! Sampai bilang temannya juga di Ciledug! Orang aku juga tidak tahu ciledug itu daerah mana. Huh! "Ya, sudah deh, kalau kamu menolak terus, aku mau lanjut ke rumah sakit, menemui mamaku. Aku tinggal dulu. Hati-hati, ya, Rini," ucapnya sambil berlalu dari hadapanku. Duh, lega ... rasanya, seperti habis menahan kebelet buang air kemudian menemukan toilet. Setelah Reno berlalu, aku kemudian melangkah keluar sambil sesekali celingak-celinguk. Takutnya ia masih mengawasiku dari kejauhan. Untuk menghindari bertemunya kembali dengan Reno akhirnya aku memesan ojek mobil online untuk mengantar ke rumah baruku yang seharga satu miliar lebih itu. Dalam perjalanan aku membayangkan. Tinggal dirumah elit itu dan tiap sore jalan-jalan naik mobil. Wuuihh! Uhuuyy! Bahagianya. Aku sampai senyum-senyum sendiri dalam mobil. Kalau supir mobil rental itu melihat, bisa jadi aku di kira orang stress atau gila karena senyum-senyum sendiri. Jalanan ibu kota macet jadi cukup lama aku sampai di rumah baruku. Aku menyebutnya rumahku karena sudah menjadi hak milikku sepenuhnya meski bukan aku yang beli. Kubuka pintu rumah sambil tersenyum bahagia. Pandanganku menjelajahi setiap sudut ruangan yang catnya masih belum ternoda sambil berjalan menuju kamar. Kutaruh, baju-baju hamil itu dalam lemari. Di tambah baju-baju baru untuk di pakai sehari-hari. Memang baik sekali pak Pramono kepadaku. Aku sepertinya jatuh hati kepadanya, meski harus aku akui, aku juga mencintai Reno sekaligus. Tamak yah, aku? Bukan tamak lagi, tapi rakus! Masa bapak dan anak di embat semua. Edan!! Setelah puas mengelilingi setiap sudut ruangan hingga taman belakang rumah. Aku kemudian menuju garasi. Kupencet remote mobil. Lalu kubuka pintu samping kemudi dan duduk dibelakang kemudi. Ku masukkan kontak, kuputar dan breeem! Suara mobilnya begitu merdu, sangat membahagiakanku saat kuinjak pedal gasnya sedikit. Sungguh! Punya mobil seperti ini seperti mimpi bagiku. Aku secepatnya harus belajar mengemudi! Ucapku dalam hati dengan riang. Setelah puas di dalam mobil. Aku kembali ke kamar. Dan rencananya aku langsung menginap di rumah ini, sekaligus membuktikan kepada Reno jika aku tidak pulang. Biar dikira beneran menginap di rumah saudaraku yang fiktif di Ciledug. Sesampainya di kamar utama. Kulihat sudah ada sesosok pria yang tidak asing lagi bagiku. Ia sedang berbaring di ranjang baru yang belum pernah dipakai sama sekali. Melihat kehadiranku, pria itu langsung bangun dari pembaringan. Kemudian menatapku dengan penuh kemesraan. Ia mulai mendekatiku dan kemudian ia kembali membawaku terbang tinggi di awang-awang. Malamnya kami makan malam bersama. Dengan memesan makanan lewat ojek online. Karena tadi tidak sempat belanja karena keburu takut diikuti Reno. Malam itu, pria itu pamit pulang katanya mau kerumah sakit gantian dengan anaknya menunggui istrinya yang sedang di rawat di rumah sakit. Habis Magrib, aku sampai kembali di rumah pak Pramono. Suasana tampak lengang, ku lihat pak Pramono juga tidak kelihatan batang hidungnya. Tapi rumah tidak terkunci, itu berarti ada orang di dalam rumah. Langsung saja aku masuk menuju kamar pembantu. Mengambil handuk, lalu bergegas mandi di kamar mandi dalam dapur. Begitu keluar dari kamar mandi, tampak pemuda gagah nan tampan berdiri di hadapanku. Ia memandangiku dengan wajah terkesima. Di pandangi seperti itu, aku jadi kikuk. Lalu tanpa bicara aku melewatinya langsung masuk ke kamar pembantu. Begitu aku masuk kamar, pemuda tampan itu begitu cepatnya ikut menyeruak masuk ke dalam kamarku. Ia mulai menyerangku. Begitulah kehidupanku, kulalui hari demi hari. Menjadi kekasih pak Pramono sekaligus menjadi pacar bayangan anaknya Reno. Gila? Memang! Malu-maluin jika ketahuan? Itu pasti! Namun, entah kenapa aku juga belum mampu terlepas dari itu semua. Bahkan kebejadanku serasa candu. Entah demi apa, apakah uang? Ataukah cinta kepada keduanya? Atau mungkin kedua-duanya? Ah! Entahlah! Pusing aku! Sampai kapan aku harus begini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN