Heart Attack

3089 Kata
Kini Fery sudah mulai melangkahkan kakinya. Namun Claudy dan Tsani masih saja terdiam ditempatnya sebab masih merasa tak siap jika mereka harus segera bertemu dengan Syara. Hingga kembali Feri berusaha untuk meyakinkan keduanya dan kini mereka mulai melangkah menuju ruangan Syara meski langkah mereka sama sekali tak memiliki sebuah keyakinan. Juga masih tak yakin jika nantinya Syara akan dapat menerima segalanya dengan lapang. Hingga kini dikala mereka sudah berada didepan ruangan Syara. Kembali mereka menghentikan langkahnya. Begitu pun dengan Feri yang sebenarnya ia juga tengah merasa begitu tak yakin dengan sebuah rencana yang telah ia siapkan untuk dapat menenangkan juga meyakinkan Syara agar senantiasa bersemangat. “Fer, kenapa kamu jadi ikutan berhenti juga?” tanya Claudy seraya mengerutkan dahinya. “Iya, Fer. Tadi kan lo bilang, lo udah punya cara biar, Syara, gak akan kecewa atau pun pasrah. Lo lho, Fer, yang udah yakinin kita tadi,” imbuh Tsani yang juga mulai merasa aneh dengan sikap Feri. “Sorry-sorry. Gue cuma rada gugup aja kok. Tapi okkay, gue udah yakin sekarang. Bismillah aja ya kita jelasin sama-sama,” ajak Feri akhirnya. Dan keduanya pun mulai menyetujuinya. Feri ketuk pintu kamar Syara seraya kini mereka mulai membuka pintu itu lalu mengucap salam. Hingga mereka dapati seorang Syara yang sudah berkacamata tengah tersenyum sumringah kepada mereka. yang membuat mereka semakin mearasa ragu untuk mengatakan hal yang sebenarnya kepada Syara. “Assalamu’alaikum, Syar...” salam ketiganya seraya mereka berusaha untuk menunjukan ekspressi bahagia mereka. Membuat Syara semakin bahagia menyambut kedatangan mereka. “Wa’alaikumussalam... ya ampun senangnya akhirnya kalian datang jugaa... aku udah kesepian banget lo dari tadi,” jawab Syara yang sungguh semakin membuat ketiganya tak tega jika harus segera mengumumkan kepadanya mengenai kabar buruk itu. Sebab mereka mulai mengetahui jika kedatangan mereka teramat ditunggu oleh Syara. Namun sebentar lagi mereka akan mematahkan hati Syara. Hingga kini ketigaya semakin dilema untuk mengatakannya. Karenanya Syara pun mulai aneh dengan perubahan sikap mereka yang sebelumnya begitu sumringah tiba-tiba terlihat tengah terbebani oleh sesuatu, dan dengan hati-hati Syara pun memberanikan diri untuk menanyakan apa yang menyebabkan membuat mereka sedih. “Sorry, kalian kenapa ya? Kok kayaknya jadi bingung gitu sih? Maaf kalau pertanyaan aku lancang. Tapi, apa dugaan aku benar kalau kalian mau menyampaikan suatu hal yang cukup buruk ke aku? That’s right?” tanya Syara yang seketika membuat ketiganya semakin tak yakin untuk bicara. Dan kini lebih dulu Feri yang tergelak untuk menutupi kegugupan mereka. “Ahahaha, kamu nih apaan sih, Syar. Kayak peramal aja. Bye the way, gimana keadaan kamu sekarang? sudah membaik, kan? Makin cantik lho kamu pakai kacamata begitu,” ucap Feri yang berusaha untuk mencairkan suasana. “Hehehe... Oh, iya. Alhamdulillah keadaanku sekarang sudah membaik. Dan, Ya Alhamdulillah setelah ada kacamata ini aku jadi gak kesulitan melihat lagi sekarang, kakiku juga rasanya sudah gak senyeri kemarin kok. Jadi ya, Insha Allah, aku akan bisa segera kembali bekerja,” jelas Syara yang seketika membuat Claudy tak lagi mampu untuk menahan aimata kepedihannya yang kini mulai membasahi kedua pipinya. Walau dengan segera ia mulai menyekanya, namun Syara sudah lebih dulu mengetahui hal itu. “I swear I don’t understand. Sebenarnya ada apa sih? Apa yang sebenarnya sedang kalian tutupi dari aku? Tell me please, seburuk apapun hal itu,” pinta Syara yang membuat Feri tak lagi dapat menutupi hal itu. “Okkay, Syar. Saya yang akan bercerita mengenai semua itu ke kamu. But please, stay strong. Karena berita yang memang cukup menyakitkan ini, bukan sebuah akhir untuk seorang multi talent like you,” jawab Feri yang kini membuat Syara semakin yakin jika hal buruk itu akan kembali membuatnya sakit hati yang teramat. “Okkay. I’ll try to strong, Insya Allah. Tell me about all now please. Karena jika aku mengetahuinya dilain waktu justru rasanya hanya akan semakin sakit,” ucap Syara yang membuat Tsani turut tak mampu untuk menahan airmatanya. “Tsan, please,” pinta Feri seraya menatap Shani dengan tatapan memohon, sehingga Tsani pun tak dapat menolaknya. Dan kini ia mulai angkat bicara. “Syar, I’m so sorry before. Jadi sebenarnya, tadi pagi itu gue sama, Cla, dipanggil keruangan HRD. Terus kita diminta untuk menjelaskan bagaimana keadaan lo kemarin. Tapi, ketika kita selesai ngejelasin, mereka malah buat keputusan yang ... “ seketika ucapan Tsani terhenti karena Claudy yang menggenggam erat satu tangannya. Juga Tsani yang kini mulai terisak namun tertahan. Membuat Syara semakin yakin kemana arah pembicaraan mereka. “Okkay-okkay Isee. Okkay, Tsan, Cla. Aku sudah paham apa hal yang mau kalian sampaikan. Okkay I’m understand it. Aku dipecat?” tanya Syara dengan airmata yang mulai menganak sungai dikedua pipi mulusnya. Namun kini ketiganya hanya terdiam. “Kenapa kalian diam? Ayo kalian jawab saja kebenarannya sekarang. Apa benar dugaanku?” lanjutnya lagi. Dan kini hanya Feri yang menjawabnya dengan anggukan pasti. Yang membuat Syara menundukan kepalanya seraya ia mencenkram erat selimut yang ia kenakan lalu kembali ia terisak cukup keras. Hingga hanya isakan keras itu yang terdengar saat ini. Kini hanya sunyi ketiganya tak lagi mengatakan hal sepatah kata pun. Namun Tsani dan Claudy hanya memberikan pelukan hangat itu kepada Syara. “Kenapa mereka gak bisa beri aku kesempatan meski hanya satu kali saja, Cla, Tsan? Apa selama aku bekerja, kinerjaku ini terlalu buruk dimata mereka? KENAPA!!!” tanya Syara penuh amarah. Yang membuat Tsani dan Claudy semakin mengeratkan pelukan mereka. “We’re so sorry. And we’re swear, Syar. Kita sudah mencoba untuk mengusahakan agar kamu tetap dipekerjakan. Agar mereka lebih sabar untuk menunggu kesembuhan kamu. But, we don’t know why. Kenapa mereka selalu saja bilang kalau, mereka sudah membuat keputusan. Dan jika keputusan itu sudah dibuat, maka gak akan bisa lagi diganggu gugat,” jelas Claudy yang sungguh teramat menyakiti hati Syara. namun ia juga masih bersyukur karena memiliki dua orang sahabat yang begitu memedulikannya. “Tapi lo tenang aja, Syar. Lo tetap harus semangat untuk sembuh. Karena setelah ini, pasti, Allah SWT, akan segera memberikan lo pekerjaan yang lain. Kita harus yakin itu,” imbuh Tsani dengan yakinnya. “Tsani benar, Syar. Kamu harus ingat apa yang aku bilang kekamu tadi, kalau kamu adalah seorang wanita yang multi talent, yang dicari banyak orang. Dan aku juga akan memastikan untuk terus berusaha mencarikan pekerjaan baru untuk kamu,” Feri menambahkan yang membuat Syara, lagi-lagi tetap berusaha menerima semua ini dengan ikhlas walau pun belum sepenuhnya ia yakin akan hal itu. Sehingga lagi-lagi ia hanya memberikan sebuah anggukan yakin, juga sebuah senyuman manis. Meski mereka tahu jika jawaban itu adalah sebuah jawaban yang dipaksakan. “Iya. Kalian tenang saja. Insya Allah I’m okkay. Aku akan tetap berusaha untuk tenang, ikhlas juga bersyukur atas semua yang telah, Allah, berikan sama aku. Aku minta doanya saja ya yang terbaik dari kalian. Aku terima kasih banyak ya kalian sudah benar-benar sangat perhatian sama aku. I’m feeling so blessed because of that,” jawab Syara yang berusaha untuk tetap menyukuri hidup baru yang akan ia jalani nantinya. “Alhamdulillah, lega sekali kami Syar mendengarnya. Kami berharap jika kamu akan selalu bersemangat. Dan untuk pekerjaan pokoknya kamu jangan khawatir ya. Ini ada sedikit uang titipan dari kantor untuk biaya pengobatan kamu. Dan ini ada uang saku juga, semoga berkah ya, Syar," ucap Feri lagi penuh dengan keyakinan. Dan kini Tsani juga Claudy pun turut mengangguk pasti. "Aaaamiiin Yarabbal Alamiiin. Thanks sekali ya. Insya Allah akan aku pergunakan uang ini sebaik mungkin. Dan aku janji akan selalu coba untuk bersemngat apapun yang terjadi nanti," jawab Syara dengan yakin. Dan kini Tsani juga Claudy kembali memberikan kepadanya sebuah pelukan hangat. Lalu kembali becanda satu sama lain. Kini lagi-lagi seorang Reynald kembali memandanginya dari luar ruangan. Hatinya terasa seakan berbunga setelah ia mulai menydari jika ternyata Feri hanyalah seorang teman dekat dari Syara yang telah Syara anggap sebagai Kakaknya. Namun ia juga kembali merasa sedih karena ia juga dapat mendengar jelas jika Syara baru saja dipecat dari perusahaan tempat ia bekerja. Yang ia tahu betul jika sebenarnya hal itu semakin membuatnya merasa sulit untuk menerima keadaannya saat ini. Dan rasa kagum Reynlad kepadanya pun semakin bertambah dikala ia mengetahui jika Syara tetap berusaha untuk menerima segalanya dengan ikhlas. Dan pada akhirnya Reynald memilih untuk pergi meski karena tak ingin mereka semua mengetahui keberadaannya disana. Waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam. Setelah mereka cukup lama saling berbincang juga kembali memberikannya semangat. Kini mereka mulai pamit pulang. Dan sungguh, hal itu membuat Syara bersedih karena setelah ini akan kembali ia merasa kesepian. Juga ia tak pernah tahu apakah ada anggota keluarganya yang akan menjenguknya nanti. Sebab hingga kini, dikala ia kembali mencoba untuk menghubungi Mama atau Syarif, masih saja ponsel mereka tak kunjung aktif. Syara pun hanya bisa pasrah dan menunggu saat ini. Dan ia memilih untuk melihat isi dari kedua amplop coklat yang baru saja ia terima. Uang yang ia terima saat ini tak seberapa banyak. Yang ia yakin betul jika biaya tagihan rumah sakit yang harus ia lunasi saat ini jauh lebih banyak. Sehingga kembali hal itu membuatnya merasa frustrasi. Sebab memang sebenarnya. Uang yang kini ada ditangannya seharusnya ia berikan kepada Mama untuk kebutuhan hidup mereka. Juga ia berikan kepada Syarif untuk pelunasan study tour. Yang hal itu seketika membuat kepala Syara kembali pening. Mengingat seperti apa kejamnya Syarif saat mencaci juga memakinya. "Ya Allah ya Rabb, aku harus gimana sekarang. Sampai saat ini orang rumah juga belum bisa kuhubungi. Kalau aku gak segera pergi dari sini. Biayanya pasti akan semakin membengkak. Okkay. Besok, aku harus segera meminta sama, dokter Reynald untuk mengijinkan aku pulang meski secara paksa. Ya, sudah gak ada pilihan lain selain itu. Karena itu satu-satu jalan agar aku gak ada hutang dan bisa melunasi biaya study tour, Syarif. "Toh, perusahaan juga sudah pecat aku. Sudah gak akan ada lagi yang bisa menjamin kesembuhanku kalau bukan usaha kerasku sendiri. Ya Allah ya Rabb, aku mohon kuatkan aku. Aku mohon berikanlah jalan terbaik-Mu agar aku bisa segera membahagaikan kedua orang yang aku cintai. Meski pun kini, aku telah kehilangan pekerjaanku," gumam Syara yang masih merasa bimbang apakah ia akan mampu untuk menjalani hidupnya nanti dengan baik. Syara tak menyadari jika saat ini ada seorang Syarif disana. Ia tengah berjalan penuh amarah kearah Syara dan ingin segera kembali memakinya setelah ia dengar apa yang telah Syara katakan tadi. "Apa? Kehilangan pekerjaan lo bilang? Maksudnya lo udah dipecat Kak? Kenapa bisa? Oh okkay, ini semua terjadi itu pasti karena kebodohan lo! Karena lo yang udah ceroboh karena kerja gak hati-hati sampai lo tiba-tiba jatuh begitu! "Harusnya lo mikir, Kak! Setelah lo hancurin kita semua, setelah lo renggut kebahagiaan kita. Sekarang lo malah hancurin diri lo sendiri karena lo mau lepas tanggung jawab kan? Karena lo kepengin pergi jauh-jauh dan gak ada beban begitu? Please jangan jadi pecundang! Karena orangtua kita gak pernah mengajarkan kita untuk menjadi pengecut yang lari dari masalahnya!" maki Syarif yang sejak tadi sungguh teramat melukai hati Syara. Syara pun hanya bisa menggeleng tak dapat berkata apapun. Ia sama sekali tak bisa berbicara karena rasa sakit yang kini tengah terlau mendera dirinya. Hingga lagi-lagi hanya airmata yang mewakilinya. Namun hal itu hanya membuat Syarif semakin membenci dirinya. Sehingga tatapan itu semakin menajam, dan kini ia semakin mendekatkan wajahnya didepan wajah Syara. "Kenapa lo diam aja? Kenapa lo gak bantah seperti biasanya? Lo nyadar kan kalau apa yang gue bilang sekarang ini benar!" makinya lagi yang semakin membuat Syara naik pitam. Sehingga dirinya yang sebelumnya menundukan kepalanya. Kini mulai ia angkat kepalanya seraya menatap tajam kearah Syarif yang kini berada tepat dihadapannya. "Cukup Syarif cukup! Enough!" bentak Syara dengan lantangnya. Yang membuat Syarif cukup terkejut oleh karenanya. "Gak pernah sedikit pun kamu bertanya seperti apa keadaan Kakak. Bahkan untuk sekedar basa-basi gak sedikit pun terlintas dalam diri kamu yang udah dipenuhi rasa dendam dan dengki itu. Mungkin hati kamu udah mati karenanya. “Kamu boleh hina gue sesuka hati lo, Rif. Kamu boleh caci maki aku sepuas kamu! Tapi, Kakak, tekankan sekali lagi sama kamu kalau, Kakak, bukan seorang pecundang! Ini uang pengobatan dan pesangon, Kakak, dari perusahaan. Kasih uang ini ke, Mama dan kamu pakai untuk biaya study tour lo. Apapun resiko, Kakak, nanti biar, Kakak, yang hadapi sendiri! Karena, Kakak, gak butuh lagi belas kasihan lagi dari kamu!" pungkas Syara dengan penuh penekanan disetiap katanya. Seraya ia berikan dengan kasar kedua amplop itu kepada Syarif. Tanpa banyak bicara Syarif terima uang itu seraya ia tersenyum miring dan menatap penuh ejek kearah Syara. "Yes it is. Hati gue buat lo memang sudah mati! Memang ini tujuan gue kesini. Karena gue cuma butuh uang ini dan gak ada sedikit pun niat buat gue ingin tahu keadaan lo! Karena memang keberadaan lo itu gak ada artinya sama sekali dimata gue dan Mama!" jawab Syarif lagi seraya ia berlalu begitu saja meninggalkan Syara. Tanpa sekali pun ia mencoba untuk memberikan perhatiannya. Melainkan hanya sebuah caci maki yang kembali Syara dapatkan. Syara pun hanya kembali menangis sesenggukan. Tak lagi ia dapat berkata-kata mengenai setiap sikap Syarif yang banginya semakin keterlaluan juga semakin menunjukan setiap rasa dendamnya kepada Syara. Tangisnya seakan sudah teramat membuatnya berada dititik terlelahnya saat ini. Sehingga kini ia merasa jika memang sudah tak ada gunanya lagi ia hidup didunia. Sudah tak ada lagi hal yang perlu ia pertahankan. Karena alasannya untuk tetap bertahan ialah sang Mama juga Adiknya. Karenanya Syara kembali kepada sebuah kepasrahan yang tak ada lagi setitik pun semangat dalam hidupnya. Syara tutup wajahnya yang terasa panas dengan kedua tangannya. Seraya kembali ia menangis sesenggukan meratapi nasibnya. "Ash-tagh-firullah-halladzim. Ya Allah ya Rabb... mengapa, Adik kandugku, sendiri tega bersikap seperti ini kepadaku! Apa yang harus aku lakukan saat ini Ya Rabb... apa yang jalan yang harus aku ambil nantinya. Apa memang sudah saatnya aku benar-benar pergi? Aku gak sanggup Ya Rabb... aku gak punya alasan lagi untuk tetap hidup. "Gak ada gunanya lagi untuk aku tetap berada di dunia ini. Aku sudah tak bisa berada disini karena mungkin memang keberadaanku hanya akan menyusahkan banyak orang. Hanya akan membuat mereka semua semakin terluka, karena memang sudah tak ada lagi satu pun orang yang menginginkanku. Jangankan menginginkan, memedulikan saja sudah tidak. Hiks..hiks. hiks.." isak Syara penuh dengan kefrustrasian. Reynald yang kembali menyaksikan hal itu pun ia semakin merasakan rasa sakit yang sama. Entah mengapa, baginya rasa sakit yang Syara derita adalah sebuah rasa sakit yang ia derita pula. Hingga kini ia tak dapat menahan lagi untuk segera ia dapat menghampiri Syara. Ia seka airmatanya seraya ia mulai mengetuk pintu kamar rawat Syara. Syara cukup merasa terkejut karena ia mengira jika Syarif akan kembali menghampirinya, juga akan kembali memaki dirinya dengan setiap perkataan yang lebih menyakitkan lagi. Namun dikala ia dapati seorang Reynald yang kini berada disana, hal itu membuatnya kembali gugup. Kini Reynald tengah tersenyum manis kepadanya yang seketika membuat jantung Syara semakin berdebar hebat. Buru-buru Syara seka airmatanya seraya ia kenakan kacamatanya. "Selamat malam..." sapa Reynald yang terdengar sumbang. Sebab saat ini Reynald pun sedang begitu gugup ketika berada didekat Syara. "Malam, dok. Maaf, dok, ada apa ya?" tanya Syara hati-hati. "Oh, enggak. Gak ada apa-apa kok. Saya cuma mau mengingatkan saja kalau besok akan dimulai pembenaran tulang kamu yang patah itu melalui tahap kedua yakni fase reduksi. Kita akan memuilainya jam delapan pagi. Jadi saya hanya ingin beri tahu kamu agar jangan telat. Karena jadwal saya juga akan cukup padat besok," jelas Reynald yang sedang berusaha untuk tetap tenang agar Syara tak terbebani dengan setiap perkataannya. Mendengar hal ini pun cukup meresahkan Syara. Sebab memang saat ini Syara sudah tak lagi memegang sepeser uang pun. Dan tak akan mungkin keluarganya akan datang untuk kembali memastikan keadaannya. Yang artinya, jika besok ia masih tetap berada disini, ia tak akan mungkin bisa menghadapi dokter juga perawatnya untuk dapat menjelaskan seperti apa keadaan ekonominya saat ini. Karena biaya perawatannya saat ini memang wajib dilunasi. Sehingga seorang Syara yang kini memang tengah dilanda sebuah keputus asaan pun hanya mampu termenung dengan sebuah rencana besar dikepalanya. Sebuah rencana yang pasti akan membawanya kepada sebuah kehancuran tiada akhir. Namun hal itu lah satu-satu jalan yang dapat membuatnya terlepas dari segala permasalahannya. Karenanya, Reynald cukup merasa bersalah karena mungkin ia tak seharusnya membebankan hal ini kepada Syara saat ini juga. "Maaf apakah anda sudah siap?" tanya Reynald hati-hati. Dan Syara yang merasa jika lidahnya keluh, hanya mampu mengangguk seraya ia tersenyum getir. "Hanya hal itu yang ingin saya sampaikan saat ini. Jika sudah cukup jelas dan bisa dipahami, saya permisi," lanjut Reynlad lagi seraya ia kembali tersenyum. Dan lagi-lagi, Syara hanya menjawabnya dengan anggukan patuh juga ia tersenyum getir. Yang membuat Reynald semakin yakin jika saat ini Syara memang sedang kembali berada dalam ambang sebuah keputus asaan yang kembali mendera dirinya. Reynald mulai berjalan gontai menuju luar ruangan dan memilih kembali memerhatikan Syara dari kaca pintu kamarnya. Masih berusaha untuk memastikan jika saat ini Syara harus tetap bersemangat dan tak akan melakukan hal nekat yang akan melukai dirinya. Terlihat Syara yang kini kembali terisak frustrasi dengan ia yang kembali menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Sesekali Syara kepalkan kedua telapak tangannya seraya ia pukuli bankarnya untuk meluapkan emosi juga amarah pada dirinya yang kini tengah berapi-api. Yakni sebuah amarah yang tak tahu harus kepada siapa bisa ia luapkan. Karena memang ia yang sudah merasa tak tahan lagi, kini mulai ia beranikan diri untuk menuruni bankarnya. Beruntungnya baru saja ia menelan obat pereda nyeri pada kakinya, sehingga kini ia tak terlalu merasakan nyeri yang teramat dikakinya dikala ia mulai berusaha menggerakannya. Meski rasa nyeri itu masih terasa. Bersusah payah Syara berusaha untuk dapat segera menaiki kursi rodanya yang berada disamping bankarnya. Sedari tadi Reynald yang masih memerhatikannya ingin dapat segera membantunya. Namun jika Syara megetahui keberadaannya maka akan membuatnya semakin frustrasi. "Aaaaaahk.." erang Syara dikala tanpa sengaja ia menapakan kaki kirinya yang memang sebenarnya tak boleh ia tapakan terlebih dahulu. Karenanya membuat airmata Syara kembali menitih begitu saja. Hingga kini Reynald yang berada disana ingin segera menghampirinya agar Syara tak terjatuh. Namun kembali ia urungkan niatnya. Beruntungnya kini Syara terjatuh diatas kursi rodanya, sehingga tak akan ada luka serius yang kembali ia dapatkan. "Alhamdulillah, ya Allah..." ucap Syara ketika ia sudah mulai menemukan posisi terbaiknya. Dan kini, tanpa banyak bicara lagi ia mulai menjalankan kursi roda itu untuk segera keluar dari ruangannya. Maka buru-buru Reynald mencari sebuah tempat persembunyian agar Syara tak akan melihat keberadaannya disana. ‘Mau kemana, Syara, malam-malam begini? Gak mungkin perempuan seperti dia akan nekat kabur dari rumah sakit ketika tak memiliki biaya. Apa dia akan berbuat tindakan suatu diluar batas?’ gumam Reynald yang kembali memerhatikan Syara dari tempat persembunyiannya. *** To be continue
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN