Pagi harinya, Erlangga bangun agak lambat dari biasanya. Maklum saja, dia sudah menjalani shift malam dia, maka wajar jika dia ingin bersantai dulu sebelum nanti dia datang di shift siang.
Maka, meski mata sudah mulai terbuka di jam 10 siang, tapi dia masih ingin bermalas-malasan terlebih dahulu di kasurnya yang amat minimalis, tanpa kerangka ranjang, tanpa kepala tempat tidur, dan hanya terdiri 1 lapis saja melantai indah.
Tidak masalah untuk Erlangga. Dia sudah biasa dengan hal-hal minimalis jika di luar rumahnya. Bahkan ketika dia bertemu pandang dengan kecoa pun dia hanya lambaikan tangan saja tanpa berhasrat untuk bertindak anarkis. Mungkin dia kurang bersih menyapu kemarin.
Sembari bersantai di kasur, Erlangga mulai memainkan jemarinya pada ponsel dia untuk melihat apa yang terjadi pada dunia. Memeriksa berita, lalu memeriksa berbagai akun sosial media dia yang sengaja dibiarkan berlumut karena memang tidak tertarik untuk mencari perhatian di plaform semacam itu,
Erlangga bukan jenis pria yang suka mencari perhatian, melainkan lebih menyukai bidang observasi, alias pengamat dan penganalisis saja. Lebih mengasikkan itu, menurut dia.
Kemudian dia memeriksa chat yang biasa dia gunakan untuk bersosialisasi dengan teman akrabnya dan juga keluarga sebelum dia dicurigai mati tanpa ketahuan jika lama tidak membalas chat mereka. Membalas beberapa chat yang super maha penting saja, dan hanya melirik sekilas yang hanya 'say hi',
Erlangga kemudian melirik jam dan jarumnya sudah berlari di angka 11 lebih. Ternyata kegiatan tak berfaedah dia tadi memakan waktu 1 jam. Baiklah, sepertinya dia harus mulai bangkit dari kerajaan kecil dia tersebut.
Apalagi perutnya mulai melakukan rap hingga hampir menyerupai agresifnya rap dari Suga. Oke, oke, tunggu sebentar. Sebelum rap di perutnya bermetamorfosis menjadi aliran grunge, maka dia berjalan ke arah sudut, di sana ada kompor listrik kecil.
Tak berapa lama, semangkuk mie instan kuah sudah dia dapatkan dengan sedikit effort. Sambil duduk di lantai menghadap meja pendek dan satu kaki dilipat, dia menikmati 'sarapan pagi'nya.
Usai sarapan pagi, perutnya sudah mulai menyanyikan lagu ballad ketika dia merasa harus menuntaskan panggilan ibu pertiwi di kamar mandi. "Tsk! Dasar perut jelata, habis diisi malah kebelet dibuang. Beuh!" rutuknya sembari memegangi perut dan masuk ke kamar mandi yang menyatu dengan WC. Tak lupa dia menyambar handuk juga, sekalian mandi.
Di jam 1 siang, Erlangga telah duduk manja di tepi kasurnya sambil menonton Yutub dulu sebelum bersiap-siap berangkat kerja, agar dia tidak perlu membeli televisi. Lagipula, siapa sih yang masih menonton program acara televisi sekarang ini, huh? Ohh, andai ucapan benak dia ini didengar para emak-emak di apartemen sebelah kanan kirinya, dia bisa didemo, dicubit-cubit gemas para mahmud (mamah muda).
Menyelesaikan menonton Yutub sampai matanya kenyang, dia menggeliat sedikit sambil melirik jam digital di lantai dekat kasurnya, sudah jam 2. Ohh, betapa dia merasa bodoh sampai harus melihat jam di sana, padahal pada ponselnya saja ada jam.
Baiklah, daripada menyesali kebodohan sesaat tadi, ia pun mulai bersiap-siap untuk pergi ke Sae. Tanpa perlu mematut diri karena dia sudah yakin bajunya rapi, tak lupa sedikit menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya, siapa tau nanti bertemu dengan ... siapa gadis itu? Ohh, Airin.
Keluar dari apartemen mungilnya sambil memakai baju kerja Sae dan ditutupi jaket denim dan tak lupa memakai topi seperti biasanya, dia mengambil sepedanya dan mengayuh hingga tiba di Sae pada jam setengah 3 siang.
Erlangga mulai mengerjakan pekerjaan utama dia sampai akhirnya jam 5 sore, gadis yang dia tunggu-tunggu muncul. Airin.
Airin datang bersama seorang teman perempuan dia. Pakaiannya sangat kasul dan membawa tas serta laptop. Apakah dia kos di dekat sini? Nanti Erlangga akan menghubungi agen CIA untuk menyelidiki mengenai itu. Iya, agen CIA, Cari Ini-itu Apa-saja. Jangan ditanya dimana dia merekrut orang-orang untuk membuat agen tersebut.
Ketika Erlangga mulai menyapu di daerah tempat Airin dan temannya duduk, jantungnya mulai memainkan irama epic battle. Astaga, kenapa sebegini berdebarnya, sih? Memangnya apa istimewanya gadis itu sampai bisa membuat Erlangga seperti bukan Erlangga. Kerasukan, begitu?
Saat pemuda itu sudah berada di sebelah Airin, dia mengucapkan, "Permisi, Mbak, saya sapu dulu."
Airin yang ketika itu sedang mengobrol dengan teman di depannya, segera mengangkat kakinya dan menyahut kaget, "Oh, iya Mas! Terima kasih," ucap gadis itu.
Agak terkejut mendapatkan sahutan demikian dari Airin, Erlangga tetap menjulurkan sapunya di kolong meja Airin dan konyolnya, dia malah berlama-lama di sana. Sesekali melirik ke wajah Airin yang masih asik mengobrol tanpa memerdulikan dia.
Hei, ini Erlangga, loh! Yang diidolakan banyak perempuan yang datang ke Sae! Kenapa Airin malah seperti cuek begitu saja seolah Erlangga ini hanya hembusan angin sepoi-sepoi. Apakah Airin tidak menyukai pria? Wait! Jangan buru-buru berasumsi liar, Tuan Muda.
Selesai dengan acara menyapu, Erlangga rasanya ingin cepat-cepat menyelesaikan mengepelnya di daerah lain sehingga dia bisa kembali lagi ke meja Airin. Maka dari itu, Erlangga benar-benar mengebut mengerjakan tugas mengepel dia dari ujung ke ujung lainnya.
Namun, betapa syok hatinya ketika dia hampir tiba giliran mengepel di area meja Airin, gadis itu malah berdiri dengan teman perempuannya dan mencangklong tas mereka dan melangkah keluar. Rasanya Erlangga ingin membanting tongkat pelnya saja. Sungguh kecewa!
Tunggu! Kenapa dia harus sekesal ini? Memangnya Airin harus terus berada di Sae untuk menemani dia? Apa hakmu, Tuan Muda?
Menyadari bahwa dia tidak memiliki hak apapun terhadap Airin, maka Erlangga pun mendesah kecil sembari meneruskan pekerjaannya. Topi semakin diturunkan untuk menenggelamkan wajahnya. Dia tidak sadar bahwa di sekitarnya, para perempuan sudah mulai fangirlingan dalam cicitan-cicitan menahan diri melihat tingkah Erlangga.
Hm, bahkan gerakan menurunkan topinya saja sudah membuat para fansnya berteriak tertahan, apalagi jika dia joget ala idol K-Pop, mungkin mereka bisa hamil online.
.
.
"Rin, kau yakin tidak ingin aku antar pulang ke kosmu?" tanya Nirana yang sedari sore mengerjakan tugas kuliah bersama Airin di rumahnya.
"Nggak usah, aku bisa pulang sendiri, kok! Dekat, pula." Airin membereskan laptop dan berbagai kertas yang sempat berserakan di atas meja ruang tamu kos Nirana.
"Tapi ini sudah jam 9, loh Rin." Nirana masih sempat memberikan tawaran. "Aku antar pulang pinjam motor Kak Dea, deh! Pasti boleh, kok!"
"Huss, jangan ahh!" tolak Airin dan berikan senyum manis dia. "Jam segini kan masih ramai, tenang saja, Ran."
"Hm, oke deh, kau harus benar-benar hati-hati, yah!" Nirana mengingatkan. "Kalau sudah sampai kos, lekas chat aku, yah!"
"Hi hi, kamu tuh, seperti pacarku saja." Airin terkikik usai membereskan semua bawaan dia di tas.
"Tsk, bukan gitu, Rin, aku nggak mau cemas." Nirana malah menanggapi serius bercandanya Airin.
"Ha ha, iya, iya, aku nanti pasti akan chat kamu begitu sampai kosku." Airin pun pamit pulang. Nirana mengantar sampai pintu gerbang kos dia.
Airin berjalan cepat agar bisa cepat sampai di kos. Ternyata perkiraan dia meleset, malam ini tidak ramai seperti biasanya. Ia jadi merinding sendiri dan makin mempercepat jalannya.
"Hei! Hei! Kok buru-buru, mau ke mana, Mbak cantik?" Sebuah suara muncul dari depan Airin.
Sial! Itu para pemuda yang biasanya suka mengganggu mahasiswi di jalan dengan siulan atau celetukan tak pentingnya.