Dengan rasa yang masih tidak percaya atas apa yang terjadi pada sahabatnya, lalu melihat tas jinjing yang dibawa oleh Sara, Tita tetap menjadi pendengar yang baik. Mereka berdua sudah jadi sahabat semenjak duduk di bangku SMP. Sara disekolahkan oleh Firdaus di salah satu internasional school sebagai salah satu fasilitas dari perusahaannya untuk beberapa anak karyawan yang lolos tes beasiswa yang di selenggarakan PT. Top Semen, jadi sudah terbayangkan teman-teman Sara dari keluarga yang berada, termasuk keluarga Tita.
Tita menarik napas panjang seraya berpikir mencari jalan keluar untuk menolong Sara, sementara sahabatnya itu menatapnya dengan penuh pengharapan, berharap ada pertolongan darinya.
“Sara, gimana kalau kamu tinggal di rumah nenekku di Puncak, tapi aku harus bilang sama papaku dulu, biar dapat izin diantar sama pak Yono kita ke sana,” saran Tita.
“Kemana aja aku ngikut aja Tita untuk beberapa hari ini, sambil aku cari langkah selanjutnya,” balas Sara. Gadis itu hanya butuh tempat tinggal sehari atau dua hari saja sebelum dia melangkah jauh.
“Oke, aku telepon papaku dulu ya,” pinta Tita sembari mengeluarkan ponselnya, dan Sara hanya mengangguk pelan kemudian kembali menyesap minuman coklatnya.
Masih di mall yang sama, ada sosok pria yang memiliki paras tampan, tidak jauh berbeda dengan ketampanan Edwin. Mimik wajah pria itu tampak serius menerima panggilan telepon dari asistennya sampai langkah kakinya berhenti di depan toko roti dimana Sara berada.
“Oh jadi sopirnya Edwin yang meninggal bukan Om Firdaus? dan tadi pagi Edwin menikahi anak sopir itu?” tanya pria itu melalui sambungan teleponnya usai asistennya memberikan laporan terbaru.
“Iya Tuan Andika, saya dapat laporan dari orang kita di sana. Jika tadi pagi Tuan Edwin sudah menikahi anak sopirnya, perempuan ini namanya Sara, Tuan pernah bertemu dengannya tempo hari,” balas Priyo asisten pribadinya.
Andika berdecak sembari melayangkan tatapannya ke arah yang berbeda, sementara wanita cantik yang berada di sampingnya bergelayut manja di lengan Andika, sesekali sengaja mengecup pipi pria itu.
“Oh, bukannya dia tidak mau poligami istrinya ya? Dan kenapa jadi menikahi wanita rendahan, kayak tidak ada wanita lain aja,” sindir Andika mengingat wajah gadis kecil yang sudah lama tidak dijumpainya.
Namun, ketika pandangnya menangkap sosok Sara yang sedang minum dengan gerakan anggunnya, dia menelan ludahnya susah payah, sembari memicingkan netranya untuk memastikan apa yang dia lihat. “Sepertinya aku pernah lihat wanita itu, tapi yang ini sangat cantik,” batin Andika seraya mengingat-ingat.
“Priyo, kamu kirim foto terbaru anak itu. Saya sudah lama tidak pernah melihat wajahnya,” pinta Andika masih menatap Sara dari kejauhan. Sekitar tiga tahun yang lalu dia pernah melihat anaknya Yanto ketika dia sengaja menemui Papa Firdaus di mansion untuk menegaskan masalah warisan kakeknya.
“Baik Tuan Andika ditunggu sebentar,” jawab Priyo, selang satu menit foto Sara tadi pagi menikah dengan Edwin terkirim ke ponsel tuannya. Lantas, Andika membuka pesan WA-nya dan memastikan apa yang dia lihat di depan matanya.
“Cih, pantas saja dia mau menikahi anak sopirnya ternyata sangat cantik, tapi kenapa wanita itu ada di sini? Kalau baru menikah harusnya tetap ada di mansion,” gumam Andika jadi bertanya sendiri, pandangannya kembali lurus ke depan dengan seringaian tipisnya. “Sungguh menarik! Pasti ada sesuatu!”
Sejak tadi wanita yang ada di samping Andika ikutan melihat foto yang ada dilayar ponselnya. “Siapa perempuan itu Mas Andika?” tanya wanita tersebut penasaran.
Andika sedikit melirik dan berdecih. “Tidak perlu kamu tahu! Aku mau menemui kerabat dulu dan kamu tunggu saja di sini,” jawab Andika dengan ketusnya, tangannya yang sejak tadi digelayuti oleh wanita yang baru saja jadi kekasihnya ditarik agar terlepas, kemudian dia sedikit merapikan lengan kemejanya yang agak kusut.
“Aku'kan hanya bertanya saja loh Mas, ingat loh kita ini baru jadian, hari ini Mas’kan udah janji mau ajak aku shopping,” jawab wanita yang bernama Jenny itu, begitu mendayu dan manja suaranya.
Siapa sih yang tidak tahu seluk beluk Andika sang bos casanova, wanita mana pun pasti akan mengejarnya jika sudah diajak kenalan dan rela menyerahkan tubuhnya demi menjadi kekasih Andika yang begitu royal memberikan uang saku atau belanja barang mewah. Sayangnya semua wanita itu tetap tidak membuat pria itu ingin menikahi salah satu dari mereka semua, mereka hanya dijadikan pengh4ngat di atas ranjangnya saja.
“Mas!” seru Jenny melihat kekasih tampannya malah masuk ke toko roti tanpa dirinya. Sayangnya, pria itu mengabaikan panggilan itu hanya mengangkat tangannya ke udara, tanda wanita itu tidak boleh mengikutinya.
Andika dengan rasa penuh percaya dirinya melangkah tegap menghampiri meja yang ditempati Sara dan Tita.
“Selamat Siang, dengan Sara ya anaknya Yanto sopirnya Edwin,” sapa Andika dengan sopannya, serta sedikit menebarkan pesona tampannya.
Sara dan Tita sama-sama menolehkan wajahnya menatap Andika, Tita menganga melihat ketampanan pria itu, sedangkan Sara yang sudah terbiasa melihat ketampanan Edwin selama 10 tahun memandang biasa saja, tidak menganga dan tidak terpesona.
Melihat pandangan Sara biasa saja padanya, lagi-lagi Andika menelan ludahnya secara paksa. Wahai apakah aku kurang tampan hingga wanita itu menatapku biasa saja!
“Maaf Bapak siapa ya?” tanya Sara masih menatap pria itu, dan agak heran kenapa bisa mengenal namanya, tetapi dia juga merasa pernah melihat wajah pria itu, hanya saja di mananya itu dia lupa.
Pria itu mengulurkan tangannya pada Sara. “Kita pernah bertemu di mansion, saya sepupunya Edwin, dulu kamu pernah menubruk saya dengan es krimmu,” jawab Andika memperkenalkan diri dengan mengulum senyum tipisnya.
Barulah bibir Sara mengangga seiringan tubuhnya beranjak dari duduknya. “Oh, Om yang waktu itu, mohon maaf sekali ya Om,” balas Sara dengan sedikit membungkukkan punggungnya sebagai tanda hormatnya.
“Gak pa-pa kok Sara, kejadian itu sudah lama berlalu. Oh iya, saya ikut berduka cita ya atas meninggalnya ayah kamu,” kata Andika menunjukkan rasa empatinya.
Sara memaksakan dirinya untuk tersenyum pada sepupu suaminya. “Terima kasih Om,” balas Sara pelan.
“Mmm, kira-kira boleh tidak saya duduk di sini turut bergabung dengan kalian berdua?” tanya Andika menatap Sara, dan terlihat sangat berharap diizinkan.
Sara lekas menggelengkan kepalanya. “Mohon maaf Om, saya lagi menikmati waktu dengan sahabat saya. Dan sepertinya di sana ada yang menunggu Om,” tunjuk Sara ke arah Jenny yang ada di luar toko roti.
Andika tersenyum kecut, baru kali ini ada wanita yang menolak dirinya secara terang-terangan tanpa basa basi busuk.
“Sepertinya boleh juga untuk menculik istri keduanya Edwin,” batin Andika mulai mengeluarkan idenya.