Bab 12. Hati Edwin Memanas

1257 Kata
Foto apa sih yang dilihat Edwin, hingga mulutnya berkata kasar di depan istrinya, belum lagi hatinya serentak mendidih bersama tatapannya yang tajam melihat latar ponselnya. “Mas Edwin, ada apa?” tanya Hana terlihat penasaran, tetapi tidak tahu apa yang sedang ditatap oleh suaminya tersebut. Pria itu berdecih, lalu melirik istrinya dengan mengulurkan ponselnya. “Lihatlah, kalau kamu ingin melihatnya!” pinta Edwin tampak kesal dan kecewa, lantas Hana mengambil ponsel milik suaminya dan melihatnya, alis wanita itu pun terangkat. “Itu perempuan yang kamu minta aku mencarinya! Ternyata dia pergi dengan Andika, jadi jangan memaksaku untuk mencarinya!” Suara Edwin agak meninggi berkata, lalu dia kembali menyeruput kopinya, berharap hatinya yang memanas bisa teredam. Memanas bukan karena cemburu pada Sara, tetapi memanas karena melihat musuh bebuyutannya. Namun, sayangnya asumsi Edwin sangatlah salah. Hanya melihat foto tersebut langsung punya pemikiran yang negatif, tidak mau bertanya terlebih dahulu, lebih memajukan rasa bencinya pada Andika dan akhirnya Sara terbawa dalam perasaan bencinya. Dengan tarikan napas pelannya Hana mengembalikan ponsel milik suaminya tanpa bisa berkata apa pun, sekaligus kecewa melihat foto Sara dengan Andika. “Papa dan kamu bilang dia adalah gadis yang baik! Lihatlah dia ternyata pergi bersama sang casanova!” ucap Edwin, tertawa sumbang seraya menghempaskan punggungnya kesandaran sofa sembari melirik istrinya yang kini hanya bisa terdiam. “Jadi, aku tidak salahkan jika pernah menolak menikah kembali. Kamu bisa melihat sendiri, dia pergi setelah menikah, dan perginya dengan pria lain. Diam-diam rupanya gadis itu perempuan nakal!” lanjut kata Edwin begitu frontal tanpa menyaring ucapannya kembali. “Maaf Mas, kalau sudah begini aku juga bingung mau berkata apa,” balas Hana merasa bersalah, tatapannya pun tertunduk menatap ke arah meja sofa. Ponsel milik Edwin kembali berbunyi dengan cepatnya pria itu memeriksa kembali, rupanya kini ada pesan masuk dari Andika. “Aku tidak menyangka anak sopir kamu sangat cantik ya. Sepertinya tidak ada salahnya aku mendekati gadis itu, kali aja aku jatuh cinta dengannya.” Pesan Andika yang kini sedang dibaca oleh Edwin. Rahang kokoh Edwin mengeras, giginya menggertak membawa amarahnya yang sejak tadi ditahannya, kalau ada air dimasak di atas kompor dalam waktu yang lama, maka seperti itulah rasa panas yang bergejolak di seluruh hati Edwin saat ini, sampai meluap dari wadahnya. “Eeh, aku tidak harus izin'kan denganmu ya? Jika malam ini aku akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Sara, siapa tahu setelah ini kami akan semakin dekat. Dan, tahu sendirikan aku belum menikah, kalau di atas ranjang dia bisa memuaskanku, mungkin aku akan segera menikahinya. Oh iya satu lagi, semoga cepat sembuh Om Firdaus, salam juga buat istri tercintamu semoga cepat hamil! Ingat kalau mau memiliki perusahaan kakek sepenuhnya, cepatlah memiliki anak! Atau kini giliran keluargaku yang akan memiliki perusahaan kakek!” lanjut pesan yang dikirim oleh Andika untuk sepupunya itu. Memerahlah wajah Edwin seketika, amarahnya sudah berada di ubun-ubun. Tangannya terkepal dan melayanglah ponsel miliknya membentur lemari kaca yang ada di hadapannya, hingga ada bagian lemari kaca yang pecah. Hana pun berjingkat kaget. “Mas!” seru Hana. Kedua bahu Edwin sudah naik turun seiringan deru napasnya yang memuncak menahan amarahnya, baru kali ini dia semarah ini. Kenapa marah? Tidak pa-pa'kan jika Andika menginginkan Sara, istri yang belum ada sehari tetapi sudah tidak dianggapnya. Melihat wajah suaminya memerah, Hana mendekati Edwin menyentuh punggung pria itu dan mengusap lembut, berharap kemarahan pria itu mereda. “Ada apa Mas, apakah Andika mengirim foto lagi?” tanya Hana sangat lembut. Edwin mengembuskan napas panjangnya, terdiam sesaat, lalu meraup wajahnya dengan kasar. Setelahnya, dia bangkit dari duduknya dan bergerak ke arah ponselnya yang sempat dia lempar, lalu mengutipnya dari atas serpihan kaca. Untung saja ponselnya tidak hancur lebur, hanya layarnya yang retak, tetapi setidaknya masih menyala, begitulah ketangguhan barang elektronik saat ini. “Mas Edwin mau ke mana?” Hana kembali bertanya sembari ikutan beranjak dari duduknya karena melihat suaminya bergerak menuju pintu. Pria itu menolehkan wajahnya ke belakang. “Suruh maid membersihkan pecahan itu,” pinta Edwin dingin, lalu kembali melangkahkan kakinya tanpa menjawab pertanyaan istrinya. “Iya, Mas,” jawab Hana dengan mengangguk, kemudian dia menarik napasnya pelan-pelan, hatinya terasa tidak nyaman melihat reaksi suaminya yang agak dingin. Biasanya suaminya akan bersikap seperti itu hanya pada karyawannya saja, tetapi tidak dengan dirinya. Edwin keluar dari ruang kerjanya sembari mencari nomor ponsel Sara yang sudah dia simpan di dalam ponselnya, langkah kakinya bergegas menuju ke rumah kecil. Sekali panggilan teleponnya masih belum terjawab, beruntung sekali Edwin nomor ponsel milik Sara sedang aktif rupanya. Edwin kembali lagi mencoba membuat panggilan tetapi masih belum juga diterima oleh Sara. Sara dan Tita masih terjebak macet ketika mobil Tita sudah masuk daerah Cisarua – Bogor, sementara rumah neneknya Tita ada di daerah sekitaran kebun teh yang ada di Puncak. “Sara, hp kamu tuh dari tadi bunyi, bukannya diterima saja,” tegur Tita melirik sahabatnya masih sibuk mengetik pesan entah dengan siapa. “Nomornya gak aku kenal, Tita. Makanya aku gak terima,” balas Sara masih sibuk mengetik pesan. “Terima saja Sara, siapa tahu Om Andika yang telepon. Lagian kamu juga baru aktifkan ponsel, ‘kan,” rayu Tita yang sebenarnya penasaran, hampir lima kali ada dering masuk tetapi diabaikan saja oleh Sara. Benar saja, ponsel Sara kembali berbunyi dan untuk kali ini terpaksa dia menerima panggilan telepon yang tidak dia kenal. “Halo,” sapa Sara pelan. “Oh bagus ya kamu, baru tadi pagi menikah dengan saya dan sekarang kamu jalan dengan pria lain. Hebat sekali! Saya tidak menyangka kamu semurah itu harga dirinya!” sindir Edwin langsung to the point tanpa ada basa basi, ketika panggilan teleponnya diterima oleh istri keduanya. Netra Sara terbelalak mendengar kalimat itu, lalu dia menarik ponselnya dari daun telinganya, menatap layar ponselnya dengan perasaan tidak percaya jika suaminya akan menelepon dirinya. “Siapa yang menelepon, Sar?” tanya Tita agak berbisik. “Majikan,” balas Sara ikutan berbisik. “Hah!” Tita ikutan terbelalak, sementara itu Sara mengatur napasnya agar tampak tenang, dan kembali menempelkan ponselnya ke telinganya. “Halo! Halo Sara! Kamu dengar saya, ‘kan?” Sejak tadi Edwin memanggil-manggil namanya karena belum ada tanggapan sama sekali dari istri keduanya. “Saya mendengarnya dengan baik Tuan,” jawab Sara tenang. “Ck ... di hotel mana kamu cek in sekarang? Berapa tarif kamu semalam dengan pria itu, hmm? Apa cukup buat mengumpulkan uang sebanyak 250 juta, huh!?” Wow, sepertinya Edwin sedang marah besar pada Sara, dan langsung menudingnya. Sara menyunggingkan senyum miringnya atas tuduhan suaminya tersebut, mau sakit hati? Sepertinya tidak! Gadis itu menyamankan posisi duduknya dan menatap lurus ke depan. “Apakah saya harus melaporkan pada Tuan ke mana saya cek in hari ini, dan menyebutkan tarif saya permalam? Oh, sepertinya tidak harus ya. Yang penting saya akan membayar uang rawat ayah saya sesegera mungkin, dan Tuan harus memenuhi janjinya untuk menceraikan saya. Atau begini saja mumpung Tuan menelepon saya dan tahu kelakuan saya mending jatuhkan talak Tuan sekarang juga, nanti uangnya saya transfer. Bagaimana Tuan?” tanya Sara begitu santai. “SARA!” Memekiklah suara Edwin membuat Sara menarik ponselnya sejenak. “Tidak perlu berteriak Tuan Edwin, telinga saya masih bisa mendengar dengan baik,” balas Sara tersenyum sinis dibalik ponselnya. “Pulang sekarang juga! Atau saya seret kamu ke sini!” bentak Edwin meluapkan amarahnya. “Apa pulang? Pulang ke mana Tuan? Saya gak punya rumah! Di sana saya hanya menumpang dan tidak memiliki siapa-siapa. Dan maaf Tuan, tamu saya sudah memanggil, saya harus melayaninya dulu ya. Bye!” balas Sara, langsung memutuskan panggilan teleponnya. “SARA!” teriak Edwin dengan hatinya yang sangat panas, merasuki jiwanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN