Bab 3. Ijab Kabul Untuk Sara

1222 Kata
Hanya dua hari Sara dirawat di rumah sakit, dia tahu jika biaya perawatannya selama di rumah sakit ditanggung oleh Edwin, makanya Sara tak ingin berlama-lama karena tidak mau terlalu merepotkan majikan ayahnya itu. Meskipun dari dokter sendiri belum mengizinkan gadis itu untuk pulang, tetapi Sara memaksa dengan menunjukkan jika dirinya baik-baiknya, walau sebenarnya pergelangan tangannya masih sedikit sakit. Kini, tibalah Sara di rumah kecil yang ada di lingkungan mansion Edwin yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Menatap nanar mengingat kenangannya bersama ayahnya, akhirnya air matanya kembali jatuh dengan rasa sesak yang sudah tidak bisa dielakkan lagi. “Ayah, apa yang harus aku lakukan sekarang?” gumam Sara memelas, tubuhnya pun jatuh di lantai meratapi hidupnya yang kini sebatang kara, tanpa ibu, tanpa ayah, maupun sanak saudara yang ia kenal. *** Selama tiga hari sepulangnya dari rumah sakit, Sara lebih banyak berdiam di rumah kecil itu. Segala keperluan gadis itu diantarkan oleh Bik Wiwik atau Citra secara bergantian. Hingga tibalah di hari Sabtu, Bik Wiwik mengantarkan sarapan serta kotak besar yang dititipkan Hana. “Sara, makanlah ini Bibi sengaja belikan kamu ketoprak Mas Bambang biar kamu nafsu makan yang kamu sukai itu. Setelah sarapan kamu bersiap-siaplah, ini ada titipan dari Nyonya Hana untuk kamu kenakan dan nanti sekitar jam 9 pagi kamu diminta menghadap Tuan Edwin di ruang keluarga,” ucap Bik Wiwik meletakkan semua yang dia bawa ke atas meja yang ada di ruang tamu. Sara yang masih dirundung kesedihan, menatap malas ke arah meja tersebut. Akan tetapi, gadis itu merasa bingung dengan isi kotak berwarna silver yang sejak tadi terus dilihatnya. “Ada apa ya, Bik? Apakah ini urusan yang pernah Tuan Edwin bilang waktu di rumah sakit?“ tanya Sara mendongakkan wajahnya. Wanita paruh baya itu duduk berseberangan, pandangannya turun ke arah kotak yang tadi dia bawa. “Bibi juga kurang tahu, Sara. Tadi Nyonya Hana menitipkan ini dan meminta kamu memakai yang ada di dalam ini. Sebaiknya kamu ikuti saja, toh mereka tidak akan mengusir kamu, mungkin saja Tuan Edwin ingin membicarakan nasibmu ke depannya. Jadi setelah makan, segeralah menemuinya!” pinta Bik Wiwik yang memang tidak tahu menahu soal itu. Namun, dari apa yang dilihat, sejak pagi seluruh maid tampak menyiapkan ruang keluarga serta menu makanan yang tidak biasanya dalam porsi sangat banyak. Dia sendiri serta Ibnu nanti juga diminta untuk berada di ruang keluarga. Sara kembali menunduk, menarik napas dalam-dalam. “Baik, Bik, nanti aku akan segera temui Tuan Edwin. Mungkin benar dugaan Bibi, sekarang sudah seminggu ayah meninggal dan pastinya mereka tidak mau aku tinggal di sini secara gratis, ‘kan?” jawab Sara, seperti ada kepahitan dalam perkataannya. Mana ada sih orang yang bukan keluarga menampung orang lain secara gratis, pasti ada simbiosis mutualisme pikirnya. Bik Wiwik menghela napas. “Bibi tidak mau bilang kamu harus bersabar, tapi hadapi saja dulu. Kalau sekiranya hal itu sangat memberatkanmu, kamu berhak memutuskan langkah apa yang harus kamu ambil ke depannya.” Sara mengangguk pelan, memang sudah semestinya dia menghadapi dan belajar untuk kuat–mandiri tanpa seorang ayah. “Sekarang makan dulu, Bibi harus kembali ke mansion dan nanti akan kembali ke sini lagi.” Wanita paruh baya itu pun segera beringsut dan berpamitan. “Makasih, Bik,” balas Sara pelan. Setelahnya, dia memaksakan diri untuk makan walau hanya bisa beberapa suap saja. “Aku harus kuat, dan harus bisa menghadapi apa pun sendiri tanpa ayah,” gumam Sara mencoba menguatkan diri sendiri. Jarum jam terus berdetak, waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Sara terpaku melihat penampilannya di depan cermin. Sesuai permintaan Hana, dia harus mengenakan pakaian yang ada di dalam kotak tersebut. Pada dasarnya, wajah Sara memang sudah cantik agak sedikit kebulean dengan tubuh ideal. Jadi, pakai baju apa pun pasti akan terlihat cantik. Meskipun begitu, tetap saja Sara merasa kaget saat melihat dirinya memakai mini dress brokat kombinasi kain tile dengan tali obi bentuk pita berwarna putih, pakaian yang sebelumnya tidak pernah gadis itu kenakan. “Kenapa aku disuruh pakai baju beginian? Pasti harga gaun ini sangat mahal.” Sara bertanya pada diri sendiri dan mulai merasa aneh. “Kenapa buat bertemu dengan Tuan Edwin aku harus berpenampilan seperti ini? Biasanya juga seadanya aja.” Alisnya terangkat sebelah. Setelah lama berpikir, Sara tetap tak bisa menemukan jawaban hingga akhirnya pintu kamar terketuk. “Sara, sudah selesai belum? Kamu sudah dipanggil Tuan Edwin?” tanya Bik Wiwik yang sudah berada di luar rumah. “Iya, Bik, tunggu,” sahut Sara dari dalam kamarnya, kemudian buru-buru mengambil sepatu flat shoes berwarna senada dengan gaun brokat untuk dia kenakan, lalu keluar dari rumah. “Eh.” Bik Wiwik juga dibuat tercengang lihat penampilan Sara, walau gadis itu tidak dandan sudah dasarnya cantik. “Ayo, Bik, kenapa jadi Bibi bengong seperti itu?” tanya Sara sekaligus mengajak ke mansion. “Kamu cantik sekali, Sara.” Sara hanya mengulum senyum tipisnya sembari melangkahkan kakinya menuju mansion, lebih tepatnya ke ruang keluarga. Setibanya di ruang keluarga majikannya, pandangan Sara dibuat bingung. Bukan hanya Edwin saja yang ada di sana, tetapi juga Hana, Firdaus, Yasmin–mamanya Edwin, orang tua Hana serta beberapa pria dengan pakaian safari berada di sana. Dalam kebingungannya, Hana tersenyum menghampiri Sara. “Ayo, Sara, kami sudah nunggu kamu,” ajak Hana ramah, tangannya pun menggandeng gadis itu agar mendekati meja yang sudah tertata tapi dengan rangkaian bunga rose putih kesukaan Hana. “Me-menunggu sa-saya … sebenarnya ada acara apa ya, Nyonya?” Sara semakin kebingungan, apalagi melihat tatapan Edwin seperti muak menatapnya. Berbeda dengan Edwin, Hana menampakkan senyum hangatnya dan mengiring gadis itu untuk duduk berseberangan dengan Firdaus yang kini menggunakan kursi roda. “Tuan Firdaus,” sapa Sara dengan membungkukkan punggungnya tanda hormat. Pria tua itu tersenyum melihat kehadiran gadis itu. “Sara, saya beserta keluarga besar turut berduka cita atas kematian ayah kamu. Kecelakaan itu tidak bisa kami duga dan karena kami sudah lama memperkerjakan ayah kamu. Izinkan anak saya bertanggung jawab jawab atas kehidupan kamu mulai sekarang, dari tempat tinggal, biaya hidup memenuhi kebutuhanmu atau kalau kamu ingin melanjutkan pendidikan kamu, silakan minta saja!” Firdaus bicara dengan tenang. Namun, lirikan netranya menuju pada putranya yang seakan memerintahkannya untuk duduk di samping Sara. Pria itu pun mendengus kesal. Kakinya terpaksa bergerak mendekati meja tersebut dan menjatuhkan bobotnya dengan kasar di kursi sebelah gadis itu. Sontak saja Sara langsung menoleh, mulai menatap pria yang selama ini diam-diam dikaguminya. Namun, perasaan Sara hanya sebatas kagum tanpa ada niat merebut pria beristri itu dari Hana. “Sara,” panggil Firdaus, lantas Sara kembali menatap pria tua itu. “Ya, Tuan Firdaus,” jawab Sara kembali canggung. “Kamu bersedia kan jika anak saya Edwin bertanggung jawab sama kamu sebelum kita melanjutkan acara ini?“ tanya Firdaus, raut wajahnya terlihat serius. Jemari yang berada dipangkuan pahanya saling bertautan, entah kenapa Sara menjadi gugup untuk menjawabnya, tetapi harus dijawab. “Saya tidak keberatan, Tuan. Kalau Tuan Edwin memang ingin membiayai hidup saya serta membantu biaya kuliah saya sampai saya lulus dan bisa hidup mandiri, saya sangat berterima kasih, Tuan,” jawab Sara dengan polosnya, sementara Edwin berdecak kesal mendengar jawaban gadis itu. Firdaus pun tersenyum. “Baiklah kalau begitu kita lanjut dengan sesi ijab kabulnya. Silakan, Pak Penghulu,” ucap Firdaus mempersilakan pria dengan safari hitam yang ada di sebelahnya. “I-ijab k-kabul!” seru Sara terkejut. Netranya terbelalak, langsung beralih menatap Edwin yang sama sekali tak mau melihatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN