Pemandangan indah terhampar di halaman belakang mansion Edwin yang dibangun di atas tanah berukuran satu hektar lebih. Pohon rindang, bunga-bunga berwarna warni dari aneka jenis serta rerumputan hijau menyegarkan mata siapa pun yang memandanginya, apalagi di saat pagi hari atau di sore hari.
Firdaus menghirup udara perlahan-lahan menikmati hawa sejuk yang masih bisa dirasakan, karena mansion Edwin terletak di daerah Sentul, Bogor, dibangun di kawasan elitnya. Asisten pribadinya yang mendorong kursi roda Firdaus sudah menjauh, tinggallah mereka berdua di dalam gazebo di atas kolam ikan mas dan gurame.
“Duduklah Sara, jangan berdiri,” pinta Firdaus dengan memelankan suaranya.
Sesuai dengan kebiasaan maid di sana yang sudah lama berjalan, tidak akan duduk dekat dengan majikannya jika belum dipersilakan demi menjaga kesopanan, begitu juga dengan Sara sejak awal tinggal di sana sudah diajarkan sopan santun tinggal di mansion oleh almarhum ayahnya.
Gadis itu melirik sofa yang senada warnanya dengan gazebo yang berbentuk model jaman Yunani. “Terima kasih, Tuan,” jawab Sara sopan, dengan penuh keanggunan dia duduk di sofa yang berseberangan dengan keberadaan papa mertuanya.
“Hal apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Firdaus, tatapannya tampak penuh pertanyaan sekaligus kecurigaan.
Sejak tadi otak Sara sudah merancang susunan kalimat, namun entah kenapa ketika memandang pria tua itu susunan kalimatnya mendadak kacau tak terbentuk. Ambyar! Harus mencari susunan kalimat yang baru.
Sebelum berkata Sara menarik napas pelannya, membuang rasa gugupnya yang tiba-tiba saja datang tanpa mengetuk pintu. “Tuan Firdaus, tadi di ruang keluarga Tuan bilang saya boleh meminta apa pun. Dan kini bolehkah saya meminta sesuatu pada Tuan? Mohon maaf jika sekiranya saya lancang seperti ini,” tutur Sara dengan rasa hormatnya.
Sudut bibir pria tua itu terangkat seiringan alisnya naik sebelah. “Kenapa kamu masih panggil Tuan, sekarang kamu sudah jadi menantu saya, belajarlah panggil papa seperti suamimu,” balas Firdaus, bersamaan itu Ibnu mengantarkan minum untuk mereka berdua, dengan sigapnya Sara menuangkan teh dari teko ke cangkir milik papa mertuanya.
“Maaf Tuan, saya tidak pantas memanggil seperti itu. Ini tehnya Tuan,” ujar Sara menyodorkan cangkir teh tersebut.
Firdaus menerimanya dan langsung menyeruputnya selagi masih hangat. “Belajar dan biasakan panggil papa,” pinta Firdaus kembali menikmati tehnya, sedangkan Sara hanya bisa tersenyum hambar. Rasanya sangat berat untuk mengubah panggilannya, dan tidak pantas menjadi menantu dari keluarga kaya raya.
“Apa yang ingin kamu minta dari Papa? Semoga Papa bisa bantu kamu?” Firdaus bertanya sembari menaruh cangkirnya di atas meja kaca.
“Saya mau pinjam uang sebanyak 250 juta, ada kebutuhan yang sangat mendesak Tuan, harus saya penuhi segera mungkin. Nanti uang pinjaman tersebut saya akan segera mencicilnya, Tuan,” jawab Sara dengan suaranya yang tegas, tak sedikit pun bergetar. Hati kecil Sara sebenarnya sudah mendorongnya agar meminta pertolongan pada pria tua itu untuk membantunya membatalkan pernikahannya dengan Edwin. Namun, setelah berpikir ulang rasanya akan sia-sia saja jika meminta membantunya seperti itu, akhirnya opsi kedua dia keluarkan, berharap ada kemudahan.
Netra pria tua itu mengerjap, sembari menelisik wajah menantu keduanya dengan hati yang bertanya-tanya. “Kebutuhan mendesak apa Sara? Apakah ayahmu meninggalkan hutang sebanyak itu dan kamu harus membayarnya?” tanya Firdaus menebak, setahunya gaji yang diterima Yanto setiap bulannya cukup besar untuk hidup berdua dengan anaknya, tetapi itu hanya pemikiran dia saja, entah dengan urusan di luar mansion seperti apa, jelas dia tidak tahu.
Sara mulai agak bingung harus menjawab apa. Jelas ayahnya tidak memiliki hutang pada siapa pun. Apakah dia harus berkata bohong jika ayahnya punya hutang atau berkata jujur jika uang itu untuk dia berikan pada Edwin agar dirinya segera diceraikan? Dilema!
Jemari Sara kembali bertautan dengan kepalanya menunduk, sembari mencari sebuah jawaban, dan sepertinya harapan dia pupus, tidak semudah yang dia pikiran. Pria tua itu memperhatikan sosok gadis itu. “Apa iya Yanto meninggalkan hutang sebanyak itu dan kini dibebankan ke Sara?” batin Firdaus jadi ikutan merasa kasihan jika memang benar kenyataannya seperti itu. Dengan seluruh kekayaan yang dia miliki uang 250 juta rupiah hanya satu persen dari nilai uang yang dia miliki dari pendapatan bersih dari PT. TOP Semen setiap bulannya. Jumlah yang tidak besar baginya, justru recehan.
“Maaf Tuan, jika memang sekiranya Tuan tidak bisa memberikan saya pinjaman gak pa-pa. Mohon maaf saya sudah menyita waktu Tuan, kalau begitu saya permisi,” ucap Sara pelan terdengar putus asa, tubuh mungilnya pun beranjak dari duduknya.
Tangan Firdaus mengibas ke udara. “Duduklah kembali, Sara,” pintanya, lantas gadis itu kembali duduk dengan tarikan napas lelahnya.
“Papa belum memberikan jawabannya. Sebenarnya Papa hanya ingin tahu kamu ada kesulitan apa, tapi kalau kamu tidak mau menjawabnya tidak pa-pa. Papa akan membantu dengan catatan tidak mencari pinjaman lagi di luar sana, uangnya baru ada besok pagi,” lanjut kata Firdaus, yang merasa harus membantu menantunya karena rasa bersalahnya atas kematian Yanto karena ulah keluarganya juga.
Sara meluruskan pandangannya dengan tatapan tercengangnya. “Be-benarkah Tuan? benarkah Tuan akan meminjamkan uangnya pada saya?” Sara kembali bertanya takut salah mendengar.
Firdaus mengangguk kecil. “Ya Papa akan membantumu, dan tidak perlu kamu menggantikannya.”
Gadis itu pun kembali beranjak, mendekati papa mertuanya, lalu meraih tangan pria tua itu. “Alhamdullilah, terima kasih Tuan, terima kasih,” balas Sara agak ingin menangis saat salim tangan Firdaus dengan takzimnya, sebahagia itu dia rasanya, sebentar lagi pernikahannya dengan Edwin akan segera batal, mungkin besok sesudah memberikan uangnya pada Edwin dirinya akan berstatus single kembali.
Persoalan Sara sudah menemukan titik terang, sementara di ruang keluarga tampak Hana mendampingi suaminya menandatangani berkas pernikahannya dengan Sara, begitu pula dengan Hana yang harus menandatangani surat persetujuan suaminya menikah lagi agar pernikahannya resmi tercatat, bukan sah secara agama saja.
“Bik Wiwik, tolong cari Sara sekarang juga, ajak dia ke sini lagi,” titah Hana setelah sejak tadi menanti, dipikirnya gadis itu kembali ke ruang keluarga untuk membatalkan pernikahannya, ternyata setelah bertanya dengan Ibnu, sejak tadi belum melihat Sara kembali ke sana.
Sara setelah bertemu dengan Firdaus, lantas berpamitan menuju rumah kecilnya. Begitu tiba, gadis itu bergerak cepat mengambil tas lipat yang tersimpan di lemarinya, kemudian memasukkan beberapa baju dan ijazah SMU yang baru dia terima, serta tidak lupa buku tabungan, dompet Yanto serta uang simpanan yang selama ini disisihkan dari uang jajannya.
“Aku harus keluar dari rumah ini sekarang juga. Besok baru akan kembali ke sini mengambil uang dan memberikannya pada tuan Edwin,” gumam Sara sendiri tanpa menghentikan dirinya yang masih berkemas, kemudian menanggalkan dress dari Hana, kembali memakai baju sesuai seleranya, hanya kaos dan celana jeansnya, rambutnya yang semula tergerai indah dia kuncir asal saja.
Rumah kecil itu banyak kenangan bersama ayahnya, walau terasa sulit untuk meninggalkannya, tetapi dia harus meninggalkan mansion untuk selama-lamanya.
Sara menatap nanar bingkai foto dirinya bersama ayahnya. “Kita harus pergi dari sini Ayah, rumah ini bukan milik kita.”