Part 1

2382 Kata
"Sayang ... Cia ... ini sudah hampir maghrib, kalian mau sampai kapan bermainnya!?" Suara Elena, mama Cia, terdengar menggelegar dari dalam mansion. Elena berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang menatap tajam suami dan anak semata wayangnya, Cia, yang masih asik bermain badminton. Xavier dan Cia mengabaikan teriakan Elena, mereka terus melanjutkan permainan seolah tidak terganggu dengan tatapan tajam wanita paruh baya itu "Mama hitung sampai tiga, kalau masih tidak berhenti, Papa dan Cia tidur diluar malam ini!" Teriak Elena mengancam suami dan anaknya. Mendengar ancaman istrinya tersebut, Xavier langsung menghentikan permainan dan meninggalkan Cia yang akan menservis. "Papa jangan curang, Cia sudah menang, kenapa Papa malah pergi?" omel Cia saat melihat papanya pergi meninggalkan lapangan. Mereka sedang bermain badminton di halaman belakang mansion. Memang, mansion tempat mereka tinggal memiliki halaman yang luas dan asri. Warna halaman mansion itupun terasa hidup dengan banyaknya macam warna bunga. Mansion tersebut merupakan pilihan Elena saat mereka hendak pindah ke Indonesia. Mereka pindahan dari Amsterdam tiga tahun lalu. Di indonesia mereka memiliki lebih banyak family dari pada di Amsterdam. "Jangan begitu, Sayang. Aku tidak akan sanggup jika harus tidur di luar malam ini. Oh god, aku tidak ingin itu." Xavier mengabaikan celotehan putrinya yang masih berada di lapangan dan menghampiri istrinya yang masih berdiri di depan pintu. Dirangkulnya Elena menuju kamar mereka. "Papa itu seharusnya mengajarkan anak kita yang baik-baik, bukannya seperti ini, bermain hingga hampir malam!" Omel Elena saat berjalan menuju kamar mereka. "Sudah, Ma, jangan marah lagi, nanti cepat TUA." Xavier menatap istrinya dan menekankan kata tua, namun setelah itu ia sadar apa yang baru saja ia ucapkan. Selamatkan hamba ya rabb, batinnya gelisah. "Ooh ... Papa bilang mama tua, jadi Papa ingin mencari wanita lain, begitu?!" tanya Elena marah, sambil melepas rangkulan Xavier dari bahunya dan menatap mata suaminya tajam. "Bukan begitu sayang, bagiku sampai kapanpun kamu tetap cantik." Xavier ingin menarik tangan Elena, namun wanita itu lebih dulu menjauhkan tangannya. "Sudah lah, Papa memang ingin mencari wanita lain," putus Elena, berlalu meninggalkan Xavier yang berdiri dengan perasaan serba salah. "Salah lagi ... salah lagi." Xavier geleng-geleng kepala sembari memijat pelipisnya yang tidak sakit melihat sikap istrinya yang super duper pencemburu. Disusulnya langkah Elena menuju kamar mereka dengan senyum devil. Dia sangat tahu bagaimana cara meluluhkan hati istrinya yang pemarah itu. Disisi lain, Cia menyaksikan perdebatan orang tuanya dengan tatapan cuek. Hal seperti itu sudah sering ia lihat, sehingga membuatnya tidak terlalu khawatir saat melihat orang tuanya berdebat seperti itu. Paling juga sebentar lagi sudah baikan, batinnya, santai. Selalu saja, Xavier dan Elena berdebat panas bahkan lebih panas dari yang tadi. Namun, baru saja bertengkar, setengah jam kemudian mereka sudah baikan dan saling menunjukkan kemesraan. Cia memutar bola matanya jengah melihat tingkah kedua orang tuanya yang menurutnya sedikit kekanakan. "Nanana ...." Cia bersenandung ria sambil berjalan menuju kamarnya di lantai atas. Patricia Florence. Gadis manja berumur 23 tahun yang merupakan putri tunggal di keluarganya. Memiliki seorang kembaran laki-laki bernama Alden Florence. Namun kini, kakaknya itu sudah tenang di alam sana, di alam yang berbeda dengan Cia. Alden pergi meninggalkan mereka dan kehidupan di dunia ini 13 tahun yang lalu. Peristiwa itu merupakan bencana paling menyakitkan dan meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi keluarga mereka, terutama kedua orang tua Cia. Putra pertama Xavier dan Elena itu meninggal dengan sangat mengenaskan karena jatuh dari balkon mansion nenek mereka yang tinggal di Amsterdam dan kejadian itu terjadi saat ada acara perkumpulan keluarga. Alden yang yang saat itu berusia sepuluh tahun sedang bermain bersama sepupunya. Namun, entah apa yang terjadi, mereka semua dikejutkan saat mendengar teriakan salah satu sepupu Alden yang berasal dari kamar bocah kecil itu. Peristiwa tersebut membuat keluarga mereka trauma sehingga kedua orang tua Cia sangat over protective kepadanya. Cia tinggal di Indonesia masih satu tahun. Sebelumnya, ia tinggal di Amsterdam bersama nenek dan kakeknya. Di sana, ia melanjutkan kuliah sehingga orang tuanya pindah terlebih dahulu, lalu ia menyusul saat masa kuliahnya telah barakhir dan di sinilah Cia sekarang, di tanah air Indonesia menjalani hari-hari barunya. *** Malam hari, Cia membantu mamanya menyiapkan makan malam. Walaupun anak tunggal, Cia sudah diajarkan untuk menjadi anak yang rajin dan patuh kepada orangtua. Apalagi, mamanya selalu mengajarinya memasak berbagai jenis makanan. Cia sangat ingat perkataan mamanya saat mereka memasak bersama untuk pertama kalinya. Wanita itu harus pintar memasak, agar nanti bisa menyiapkan makanan untuk suami. Perkataan mamanya membuat Cia selalu bersemangat jika memasak. Ia berharap jika suatu saat nanti sudah bersuami, ia bisa memasakkan makanan untuk suaminya setiap hari, melihat suaminya menyantap makanan yang dibuatnya dengan lahap. Membayangkan hal itu membuat hati Cia menghangat. Saat ini, Cia dan mamanya sedang menyiapkan makan malam. "Ma, biar Cia saja yang memasak sambalnya," ucap Cia pada mamanya. "Memangnya kamu bisa?" tanya Elena, sambil memotong sayur brokoli di tangannya. "Bisa dong, Ma, inikan gampang, masak sayur asem saja Cia tahu, apalagi sambal goreng," jelas Cia pada mamanya. Elena dan Cia akan memasak tumis brokoli, ayam sambal goreng dan sup iga sebagai menu makan malam mereka. Masakan rumahan memang selalu menjadi pilihan keluarga mereka. Cia memasak sambal ayam goreng dengan telaten. Saat makanan yang di masaknya sudah selesai, ia langsung menghidangkan makanan tersebut di meja makan. Setelah itu, kembali lagi ke dapur menghampiri mamanya. "Boleh Cia bantu, Ma?" tanyanya saat berdiri di samping mamanya. "Boleh. Kamu potong bahan-bahan untuk sup saja, ya," suruh Elena. "Oke, Chef!" Cia mengacungkan kedua jempolnya dengan semangat, kemudian melakukan perintah mamanya tersebut. Dimulai dari memotong bawang, tomat, kemiri, sarei dan lainnya, lalu mencampurkan semua bahan di tempat yang sama yaitu blender. Setelah itu, ia menambahkan sedikit air dan mulai memblender bahan-bahan tersebut. Beberapa menit kemudian, Cia sudah memindahkan sup yang dimasaknya ke dalam mangkuk yang berukuran sedang. "Yey ... selesai!" Cia bersorak heboh, lalu menghirup aroma sup masakannya yang menggugah selera. "Jangan teriak-teriak, Cia. Kamu itu ya, kebiasaan," komentar Elena pada putrinya yang sangat hobby berteriak. "Mau gimana lagi, Ma, namanya juga sudah kebiasaan," sanggah Cia, membela dirinya. "Iya, tapi itu tidak baik, jadi wanita itu yang calm, harus ayu." Elena menasihati. Cia memang sangat suka bersuara dengan volume yang tinggi alias berteriak. Itu sudah jadi kebahagiaan tersendiri baginya. Bahkan dulu saat masih bersekolah hingga ke perguruan tinggi, ia selalu mendapat berbagai macam julukan. Salah satunya 'Si Toa Dunia'. Di antara julukan lainnya, julukan itulah yang paling Cia ingat sampai sekarang. Apa ia malu? Tentu tidak! Cia tidak pernah malu mendapat julukan seperti itu. Baginya, itu merujuk sebuah kebanggaan sehingga orang-orang lebih banyak mengenalnya. Menurut Cia, menjadi wanita pendiam seperti yang diingikan mamanya tidaklah menyenangkan. Selalu diam, tidak banyak bicara, tidak banyak teman, hari-hari orang seperti itu pasti sangat membosankan. Cia lebih suka menjadi dirinya sendiri, yang selalu ceria, heboh, suka berteriak, dan keras kepala, walaupun mamanya selalu mengatakan agar ia berusaha merubah kebiasaannya tersebut. Tapi, ada hal lain yang tidak diketahui orang lain selain keluarga dan teman dekatnya kalau ia sebenarnya gadis yang manja dan penyayang. "Ma, menjadi diri kita sendiri lebih baik," ucap Cia lembut pada mamanya. "Iya deh iya, kamu memang selalu menang dari Mama." Elena mengalah kepada putri semata wayangnya. Jika sudah berdebat dengan Cia tidak akan ada habisnya, selalu saja ada balasan yang dilontarkan gadis itu kalau kita tidak mengalah lebih dulu. "Mama manggil Papa di ruang kerja dulu, ya. Kamu lanjutkan saja." Elena pergi ke ruang kerja suaminya, hendak mengajak suaminya itu makan malam. Cia membalas perkataan mamanya dengan anggukan singkat, lalu duduk setia menunggu kedua orangtuanya di ruang makan hingga ia mendengar suara mama dan papanya yang sedang berbicara. Cia tersenyum lembut melihat kedua orang tuanya yang sudah berbaikan, padahal tadi sore mereka saling diam. "Malam, Pa," sapa Cia. "Malam, Sayang," balas Xavier, lalu duduk di kursinya. Elena yang sudah duduk lebih dulu mengambilkan makanan untuk suaminya dan diterima Xavier dengan senang hati. Mereka melalui makan malam dengan obrolan ringan yang membuat suasana makan malam menjadi hangat. Selesai makan malam, Elena kembali ke dapur untuk mencuci piring dengan Xavier yang setia menunggunya di bar kecil. Sedangkan Cia, setelah selesai membereskan meja makan, ia langsung pergi ke ruang tengah menonton TV dengan channel kesukaannya. "Sayang, Bima kemarin menelpon Papa." beritahu Xavier, membuka obrolan. "Tumben sekali mereka menelpon, ada urusan apa, Pa? Bagaiman kabarnya dan Lira?" balas Elena, melirik suaminya itu sekilas tanpa menghentikan pekerjaannya. "Bima mengungkit soal perjanjian kita dulu. Kabar mereka baik, Ma." Xavier menatap punggung istrinya dengan lembut dan penuh cinta. "Perjanjian? Oh iya, Mama ingat. Wah ... tidak disangka ya, Pa. Tidak lama lagi perjanjian kita itu akan menjadi kenyataan." Elena berbalik badan menatap suaminya dengan semangat. "Iya, Ma. Bima ingin anaknya dan anak kita segera dipertemukan." Xavier menghampiri istrinya. "Iya, Mama setuju, Pa," balas Elena sambil menatap suaminya gembira dan tersenyum lebar. "Kita harus membuat acara pertemuan untuk mengenalkan mereka. Ayo, Pa, kita bicarakan ini dengan Cia." Setelah mengeringkan tangannya, Elena langsung menarik lengan suaminya dengan semangat, membuat Xavier tersenyum lembut melihat tingkah istrinya yang sangat excited membahas soal pernikahan anak mereka. "Mama kenapa? Kelihatannya bahagia sekali." Cia mengalihkan tatapannya dari layar TV saat menyadari keberadaan kedua orang tuanya. "Iya, Mama dan Papa ingin membicarakan soal masa depan kamu," sahut Elena, setelah duduk samping putrinya itu. "Masa depan? Mama seperti peramal saja ingin membicarakan masa depan." Cia mengerutkan alisnya melihat mamanya sambil terkekeh kecil. "Iya, Sayang. Sekarang Mama tanya sama kamu, kamu belum punya pacar, kan?" tanya Elena serius, sambil menggenggam tangan putri semata wayangnya itu. "Belum, tapi Mama tidak perlu khawatir. Anak mama yang cantik ini pasti akan memiliki kekasih yang tampan, baik, perhatian, seperti auh!" Pukulan Elena di lengan Cia menyadarkan kembali hayalan Cia yang melambung tinggi. "Ih ... Mama, kebiasaan deh." Cia manyun, menatap mamanya dengan wajah cemberut. "Sayang jangan main tangan. Lihat, tangan anak kita jadi merah begitu." Xavier memperingati istrinya yang sudah membuat Cia cemberut. Elena memang sangat suka melayangkan pukulan kepada Xavier dan Cia. Itu sudah seperti makanan bagi mereka setiap harinya, walaupun Elena tidak benar-benar memukul, tapi tetap saja pukulannya terasa perih. "Sudah lah, Mama selalu salah di mata kalian. Sekarang, Cia dengarkan perkataan Mama. Mama dan Papa mempunyai sahabat sewaktu kuliah. Waktu itu, kami membuat perjanjian, jika nanti kami memiliki anak yang berbeda kelamin, maka kami akan menjodohkan anak kami. Dan sekarang, Mama sudah punya Cia, jadi Mama akan menjodohkan Cia dengan anak sahabat Mama itu." Elena menjelaskan kepada Cia niat utamanya yang ingin disampaikan. Dan sekarang , reaksi Cia benar-benar tak terbaca. Alis yang naik sebelah, bibir yang terbuka dan mata yang melotot menatap mama dan papanya bergantian. "Kamu mengerti?" tanya Xavier pada putrinya. "Tidak," jawab Cia cepat dengan tampang polosnya. Plak! Elena dan Xavier sama-sama menepuk kening mereka melihat tingkah Cia. "Jadi, kenapa ekspresimu seperti itu?" tanya Elena. "Tidak apa, Ma. Lagipula, apa hubungannya perjanjian Mama dengan Cia?" tanya Cia sambil menaikkan alisnya. "Kamu kan anak Mama, sudah pasti ada hubungannya." "Memangnya Cia anak Mama?" tanyanya lagi, bermaksud menggoda mama galaknya itu. Elena menghela napas. Sekarang bukan saatnya ia membalas pertanyaan Cia yang sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. "Pa, jelaskan. Mama pusing jika bicara dengan anakmu ini." Elena menyuruh Xavier agar menjelaskan semuanya pada Cia. Ia sudah tidak sanggup meladeni putrinya yang lemot itu. "Anak kita, Ma. Kan waktu itu kita buatnya bareng-bareng," timpal Xavier, lalu menjelaskan tujuan dari pembicaraan mereka. "Cia, begini, Papa sama Mama akan menjodohkan kamu dengan anak sahabat kami," jelas Xavier secara perlahan, sambil menunggu reaksi putrinya itu. "Jadi?" tanya Cia, bingung. "Ya ... kamu dijodokan," tutur Xavier. "Ooh ..." Cia beroh ria sambil menganggukkan kepalanya berulang kali dengan tampang datar dan polos. "APA? Cia dijodohkan?!" Ekspresi itu berubah berubah total dan suara Cia terdengar menggelegar di ruang TV, membuat kedua orang tuanya terlonjak kaget sembari menutup kedua telinga mereka. Cia yang lemot baru menyadari dan mencerna perkataan papanya dan reaksinya setelah itu benar-benar mengerikan. "Cia dijodohkan? Hahaha ... Papa becanda? Aduh, Pa, bagi Cia becadaan Papa itu sama sekali tidak lucu. Garing banget, Pa." Cia menggeleng-geleng sambil tertawa geli melihat papa dan mamanya bergantian. Sungguh, ia sangat tidak habis pikir dengan kedua orang tuanya itu. "Cia, Papa serius." Kali ini Xavier berujar dengan nada yang serius untuk meyakinkan Cia. "Pa, Ma, ini sudah zaman modern, bukan zaman Siti Nurbaya lagi. Sudah bukan zamannya hal yang seperti itu di kalangan kita. Apa-apaan itu?" Protes Cia. "Lagipula, Cia tidak tahu akan dijodohkan dengan siapa dan Cia sama sekali tidak mau tau. Pokoknya, Cia tidak mau. Cia menolak keputusan Mama dan Papa," sambungnya, to the point. "Dengarkan Mama dulu. Memang benar, saat ini kamu belum kenal dengan pria yang akan dijodohkan dengan mu. Karena itu, Mama dan Papa memberitahumu lebih dulu, supaya nanti kamu tidak syok dan melakukan kesalahan." Elena kembali meraih kedua tangan Cia dan menggenggamnya, meyakinkan putrinya bahwa ia serius dengan perjodohan ini. Elena hanya ingin yang terbaik untuk putri tunggalnya. Ia tidak ingin Cia bersama sembarangan pria yang tidak diketahui asal usulnya. Apalagi sekarang sudah banyak p****************g yang mengaku-ngaku masih single, nyatanya sudah beristri. Elena tidak ingin putrinya sampai bertemu pria seperti itu. Apalagi sampai menjalin hubungan. "Tapi, Ma, ini hidup Cia. Cia berhak menentukan pilihan sendiri. Cia hanya mau menikah dengan pria yang Cia cintai dan mencintai Cia, Ma." Cia berusaha membujuk dan meluluhkan hati mamanya. Namun, Elena masih tetap dengan pilihannya, menjodohkan Cia dengan anak sahabatnya. "Cinta itu tidak menentukan hubungan seseorang akan berjalan dengan baik, Sayang. Memang benar kamu tidak mencintai dia, tapi bukan berarti kamu tidak bisa mencintainya. Mama yakin, sesudah kalian menikah dan tinggal bersama nanti, kalian pasti akan saling mencintai dan menyayangi. Cinta itu tumbuh karena terbiasa, Sayang. Dengar dan pegang kata-kata Mama." tutur Elena, meyakinkan putrinya yang keras kepala. "Kami hanya ingin yang terbaik untuk mu, Nak," tambah Xavier. "Kamu tidurlah, sudah larut malam. Tenangkan pikiran kamu dan semuanya akan baik-baik saja." Xavier berujar lembut kepada putri tunggalnya. "Ya sudah, Cia ke kamar dulu, Pa, Ma." Cia pamit, lalu mencium pipi mama dan papanya bergantian. "Mimpi yang indah, Sayang," imbuh Elena, sembari mengelus rambut panjang putrinya itu. Cia memasuki kamarnya yang berada di lantai atas. Ia berjalan menuju ranjangnya dengan lesu. Wajahnya yang selalu tampak ceria bertolak belakang dengan malam ini. Ia menaiki ranjang dan menelentangkan tubuh lelahnya, menatap kosong langit-langit kamar. Tidak ada pergerakan dan kata-kata yang keluar dari bibirnya. Hanya matanya lah yang berkedip dan tampak kosong. Ya rabb tunjukilah hamba pilihan yang tepat, Doa Cia dalam hati. Setelah itu, kesadarannya benar-benar terenggut oleh alam mimpi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN