KITA SELIDIKI BERSAMA

1095 Kata
“Lima juta sebulan?” “Iya, kenapa? Boleh dong ... dulu waktu aku masih gadis orang tuaku yang membiayai semua. Sekarang sudah menikah kamu yang harus membiayai semuanya, paham kamu?” Yudi terdiam, ia dan Santy saling berpandangan. “Ah, kamu nggak bisa jawab, keberatan kan? Padahal aku ini istrimu. Baik, kalau kamu nggak mau aku juga nggak akan maksa. Tapi, aku nggak akan mengubah pendirianku. Aku tidak akan berhenti bekerja. Suka nggak suka!” Yudi hanya bisa melotot kesal, tetapi belum sempat ia menjawab, Kinan sudah melangkah ke kamar dan menutup pintu. Kinan sendiri langsung mengunci pintu kamarnya. Ia tidak mau Yudi masuk dan meminta jatah malam seperti biasa. Enak saja dia meminta ini dan itu. Menuntut kewajibannya sebagai istri tetapi tidak mau memberikan hak yang seharusnya diterima oleh Kinan. Setahun ini, ia merasa diperlakukan seperti pembantu, bukan sebagai seorang istri. Merasa lelah, Kinan pun membaringkan tubuhnya di ranjang dan memejamkan mata. Entah berapa lama ia tertidur, tiba-tiba saja terdengar suara ketukan di pintu. “Nan, buka pintunya dong, aku mau tidur di mana?” tanya Yudi. “Kamar di rumah ini masih ada dua yang kosong, jadi pilih saja salah satu!” teriak Kinan. “Ya nggak bisa gitu dong, kita kan suami istri?” CEKLEK! Kinan membuka pintu dan menatap sang suami dengan tatapan tajam. “Suami istri? Kamu hanya mengingat jika kita ini suami istri ketika kamu butuh sesuatu dari aku. Selebihnya jika kamu tidak butuh apa kamu ingat kewajibanmu sebagai suami?” tanya Kinan. “Aku nggak mungkin kasi kamu uang sebanyak yang kamu minta!” “Aku nggak maksa. Kalau kamu merasa berat ya sudah, besok aku mulai kerja dan mulai malam ini kita pisah ranjang,” kata Kinan dan kembali menutup pintu dengan kencang. Yudi hanya bisa menyugar rambutnya, ia merasa sangat kesal. Sementara Kinan tidak peduli, ia langsung memejamkan matanya dan tidur. Besok pagi ia sudah kembali bekerja. ** Nisa, dia adalah sahabat Kinan. Wanita bertubuh gemuk itu sudah menunggunya di sana. Terlihat dia tengah mondar-mandir sambil mengibaskan kipas warna pink dengan wajah kepanasan. Tiba-tiba mobil taksi berhenti di depannya. Nisa pun menatap ke arah mobil itu. Sambil terus melanjutkan mengipas-ipas wajahnya yang tersengat terik sinar matahari. “Kinan,” panggil Nisa. Ia langsung menghampiri Kinan yang baru saja keluar dari taksi. Sembari menyingkirkan rambut panjangnya ke belakang. “Kinan, gila lu! Gue nungguin lu dari tadi tahu nggak! Kulit gue sampai hitam tersengat terik matahari, parah banget lu sumpah!” Nisa sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kinan hanya diam saja mendengar ocehan Nisa. Lalu ia berjalan tanpa menghiraukan sahabatnya yang tengah marah-marah. “Lu kenapa, sih?” tanya Nisa penasaran sambil menyusul Kinan. “Yudi,” jawab Kinan. “Eh, kenapa laki lu? Dia emang masih marah lo kerja lagi?” tanya Nisa. “Gue kesel lu ngerti nggak sih, Sa! Sumpah ya, gue pingin makan manusia pagi ini!” kata Kinan dengan nada teriak. “Ih, ngeri banget sih lu? Kesambet setan beringin lu, ya?” “Iya, gue kesambet setan beringin. Dan lu setannya!” ujar Kinan. “Busyeet, dah. Cantik-cantik gini dibilang setan?” ucap Nisa sambil mengibaskan kipasanya. Sahabat Kinan itu, menoleh ke kanan, ke kiri, depan, belakang. Namun, Nisa merasa ada yang aneh. “Yudi nggak ngantar lu hari ini?” tanyanya “Astaga, dasar lemot! Lu kan tahu gue naik taksi ke sini! Berarti Yudi nggak nganterin gue lah.” “Ya maaf, gue kan nggak tahu, Nan. Lagian pagi-pagi gini lu udah pasang muka garang gitu? Gimana kalau ada klien liat muka lu begitu trus batalin kerjasama?” ujar Nisa menasehati. Kinan menghela napas panjang, Nisa adalah sahabatnya yang sudah menawarkan kembali untuknya bekerja di perusahaan yang lama. Karena kebetulan salah seorang arsitek ada yang mengundurkan diri. Dan Kinan yang memang sedang dalam masalah ekonomi karena uang belanja yang selalu kurang tentu saja maun kembali bekerja. “Gue lagi kesel, Sa!” bisik Kinan di dekat telinga Nisa. “Lu marahan lagi sama Yudi?” Kinan mengangguk, menjawab malas. “Ya, begitulah, malah semalam dia ga tau pergi ke mana. Sampai gue pergi kerja tadi, dia nggak ada tuh,” katanya. “Kenapa lagi? Dia masih pelit sama lu dan nggak izinin lu kerja lagi?” Nisa itu sudah seperti sahabat atau bahkan saudara bagi Kinan. Mereka sudah lama berteman. “Iya, Ca.” “Heran deh gue sama Yudi. Dulu dia nggak pelit kan makanya lu mau nikah sama dia.” Nisa merasa geram. “Nggak tahu!” “Ya sudah, gue nanti mau ajakin lu makan. Biar pikiran lu adem, mau?” “Mau kan ditraktir.” “Ya kalau mau nanti jam makan siang, sekarang kerja dulu, Bos,” kata Nisa sambil terkikik geli. Dan siang itu Nisa pun segera menarik tangan Kinan untuk pergi makan siang. “Kita mau makan apa, Sa?” tanya Kinan penasaran. Nisa tidak menjawab pertanyaan Kinan. Ia malah menarik tangan sahabatnya itu dan berjalan ke arah pedagang kaki lima yang tak jauh dari kantornya. “Bang, pesan dua yah,” kata Nisa pada penjual nasi uduk. “Okay, siap! Silakan tunggu sebentar, ya.” “Lho serius, Sa? Kita makan di pinggir jalan?Emang makanannya enak?” “Sssstt, lu tenang aja, oke.” Nisa menarik Kinan untuk duduk di kursi plastik yang telah disediakan. Bukan karena gengsi tetapi, Kinan tau betul jika sahabatnya ini biasanya sangat higienis. “Gila lu, Sa. Kalau enggak karena lu, gue ogah makan di sini!” ujar Kinan. Nisa tertawa melihat Kinan. “Nasi uduk ayam Ceria sudah jadi, bonusnya es dogan ceria juga,” kata tukang ayam sambil membawa pesanan pelanggan. “Aw, cucok meong!” Nisa mengambil nasi uduk dan juga dua gelas es dogan. “Gue suka makan di sini, soalnya selain bersih juga rasanya nggak kalah sama makanan restoran.” “Ya tumben aja, soalnya kan lu biasanya alergi makan di tempat begini,” kata Kinan. “Nggak sih kalo tempatnya bersih masa sih gue nggak mau. Jadi, gimana laki lu?” Kinan menghela napas panjang,”Semalam gue suruh dia tidur di luar. Eeh si monyong itu malah pergi dan sampai pagi nggak pulang-pulang,” katanya. “Emang kebangetan ya laki lu. Bukannya nyadar malah makin jadi.” “Gue curiga kalau laki gue itu punya simpanan, soalnya dia emang sering pergi nggak pulang.” “Jangan-jangan dia selingkuh.” “Gue pernah sekali liat kemeja dia ada noda lipstiknya.” “Fix kalau gitu, kita selidiki aja bareng-bareng, gimana?” kata Nisa. “Gue setuju. Makasih ya lu mau bantuin gue,” kata Kinan. Nisa hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN