TJG - 1

1753 Kata
Wanita itu mondar – mandir dengan sepatu hak tinggi berukuran 5cm, ia tidak biasa mengenakan sepatu tinggi seperti wanita lain. Hak 5cm adalah ukuran yang paling bisa ia tolerir. Lain dari itu, kakinya sudah dijamin akan terantuk – antuk saat berjalan mengenakan sepatu yang menyiksa tersebut. Rok putih berlipitnya sangat cocok dipadukan dengan sepatu berhak 5 cm itu, ditambah lagi blouse berwarna biru muda cerah yang menambah kesan manis. Rambut hitam lurusnya yang agak sedikit bergelombang di bagian bawah karena hasil alat keritingan membuat wajah wanita itu terbingkai dengan sempurna. Penampilannya hari ini sanggup membuat orang-orang yang berpapasan dengannya menoleh lebih dari lima detik. Walaupun sejak tadi tidak ada senyuman terlukis di wajahnya, namun semua orang masih puas memandangi keindahan wanita itu. Kakinya yang jenjang dan kulit kuning langsatnya berhasil menarik rasa iri pada wanita lain yang melihatnya. Sedangkan para pria diam – diam berdecak kagum dan penasaran apa yang wanita itu lakukan di bawah sinar matahari yang terik seperti itu. Seolah kebingungan akan apa yang harus wanita itu lakukan. Ironis, pikir Kaila, masa depan yang sudah ia rancang hancur dengan seketika hanya karena satu kesalahan orangtuanya. Kaila mengejar impiannya ke Jakarta untuk bersekolah di salah satu universitas terkenal di Indonesia namun di balik itu ia tidak tahu bahwa ayahnya mati-matian meminjam uang pada rentenir untuk membiayai sekolahnya. Hingga pinjaman itu berbunga, berkali – kali lipat dari yang di pinjam ayahnya. Seandainya sejak dulu ayahnya bilang mereka sedang mengalami kesulitan ekonomi, mungkin Kaila akan hidup hemat di sini, atau mungkin ia pun bisa bekerja sambil sekolah, bahkan ia rela cuti setahun hingga dua tahun agar ayahnya tidak kelimpungan membayar biaya hidup dan sekolahnya yang tidak murah itu. Lebih parahnya lagi, ia rela berhenti sekolah agar orang tuanya tidak perlu kebingungan mencari uang untuk membiayainya. Satu minggu yang lalu ia baru diberi tahu oleh mereka bahwa rumahnya telah disita dan sekarang ibu dan ayahnya tinggal di rumah neneknya, di kampung, menumpang karena tidak ada uang tersisa sama sekali untuk menyewa rumah kontrakan. Bahkan yang kecil sekalipun. Ayahnya bukanlah keluarga kaya tujuh turunan seperti pengusaha lain, ayah Kaila hanya pekerja kantoran namun jabatan ayahnya sudah tinggi, beliau adalah seorang wakil direktur di perusahaan retail. Namun, entah mengapa ayahnya bisa kekurangan uang dan meminjam kepada rentenir. Seandainya ia tahu ayahnya akan meminjam pada lintah darat itu mungkin ia akan langsung pulang ke rumah orangtuanya agar ayahnya tidak perlu mengorbankan semua harta untuk sekolahnya. Ayah tidak pernah kekurangan uang separah itu, inilah alasannya ayah kalut dan bingung setengah mati saat ia mengalami hal seperti ini. Karena ayahnya tidak terbiasa dengan kondisi ini. Sehingga mengakibatkan beliau nekat meminjam uang dari seorang lintah darat yang berujung menguras habis harta kekayaan yang tersisa. Kaila tidak bisa ikut ayah dan ibu pulang ke kampung halaman neneknya, karena ia tahu pekerjaan yang tersedia di sana tidak lah banyak. Walau pun ada, bayarannya pasti tidak akan menutupi biaya hidup keluarganya. Dengan berat hati ia mencoba untuk menempuh jalan yang ia ketahui dapat mendatangkan uang dengan mudah dan cepat. Kakinya telah berhenti melangkah sedari tadi, menimang-nimang keputusannya apakah ia harus masuk ke dalam gedung mewah ini atau tidak. Jika ia berbalik dan meninggalkan gedung ini, lalu apa yang akan ia lakukan untuk menyambung hidup di sini? Ia bahkan masih memiliki hutang pada teman baiknya, Raisa untuk biaya kos dan makan sebelum ia benar – benar mendapatkan pekerjaan. Bisa saja ia memanfaatkan pria yang mendekatinya untuk menanggung biaya hidupnya, tapi harga dirinya tidak serendah itu. Meminta dan mengemis pada orang lain tidak ada di dalam darah Kaila. Setidaknya ia harus berkorban dan melakukan sesuatu jika ingin mendapatkan uang untuk bertahan hidup. Kaila membulatkan tekad dan masuk ke dalam gedung itu, mendatangi resepsionis untuk menukar identitasnya dengan kartu pengunjung. Jarinya menekan tombol lift dan menunggu pintu besi itu terbuka untuk membawanya ke lantai yang ia tuju. Setelah di lantai itu, ia dipersilakan untuk masuk ke dalam ruangan serba putih dengan kamera berdiri di setiap pojokan dan di tengah – tengah, di depan meja panjang yang sedang di isi oleh seorang pria. Pria itu mengenakan rompi dari jeans, yang menurut Kaila agak tidak cocok untuk ukuran orang yang bekerja di gedung mewah seperti ini, celananya robek di bagian lutut dan rambutnya agak sedikit gondrong. Pria itu bangkit dari balik meja itu, mengulurkan tangan untuk menyapa Kaila, “Bagas.” Ucapnya. Kaila mengangguk, menerima uluran tangan itu dan menyebutkan namanya. “Kaila, pak.” Pria itu berjalan kembali untuk duduk di kursinya. “Aku mendapatkan rekomendasi dari temanku, sebelumnya aku ingin tahu dulu kemampuanmu saat ini.” Kaila berdiri kaku, “Iya, pak.”  Tangannya saling bertaut di atas perutnya. Bagas memberikan satu naskah untuk Kaila bacakan dan peragakan, ia ingin melihat kemampuan berakting wanita itu. Tapi sudah sekitar lima menit Kaila masih berdiri di sana dan berpura-pura membaca. Padahal, ia hanya malu dan bingung dengan apa yang harus ia lakukan dengan naskah itu. Ia sama sekali tidak bisa dan tidak pernah berakting. Bahkan dalam acara perpisahan sekolah pun ia tidak pernah ikut andil untuk menari. Dirinya boleh saja dikatakan ketua geng saat SMA, tapi jika harus tampil di depan banyak orang dan melakukan sesuatu seperti ini sudah jelas dirinya akan menciut. Dia hanya di juluki sebagai ketua karena bicaranya yang ketus dan tidak takut pada siapapun. Bagaimana bisa ia takut pada orang lain di saat kantor ayahnya adalah salah satu anggota penyumbang beasiswa di sekolah itu. Ia menjadi besar kepala karena itu. Padahal itu bukan uang ayahnya yang menyumbangkan beasiswa, melainkan uang perusahaan dimana ayahnya bekerja. Hanya saja, ayahnya dipercaya untuk mengurus dana sumbangan tersebut. Selain sumbangan itu, ia juga memiliki banyak penggemar dimulai kaum laki – laki maupun perempuan. Banyak lelaki yang mengajaknya berkencan, hampir setiap minggu ia menapatkan tawaran dari orang yang berbeda. Banyak pula para wanita yang ingin menjadi temannya hanya karena ia populer di antara kaum lelaki, dan mereka berharap akan mendapatkan sedikit keberuntungan itu jika berteman dengannya. Karena itulah ia memiliki percaya diri yang berlebihan jika berada diantara teman – temannya. Saat dihadapkan dengan situasi seperti ini, audisi pencarian bakat dan di seleksi langsung oleh pihak pembuat filmnya, kepercayaan diri yang Kaila miliki selama ini luntur secara tiba – tiba. Seolah ia adalah wanita cupu yang selalu menutupi dirinya di kelas. Sialan. Kenapa ia mendadak seperti ini di saat – saat penting. Percuma saja selama ini ia menjadi wanita populer jika berakting saja tidak bisa. Semenjak orangtuanya bangkrut, kepercayaan dirinya menurun drastis. Ia merasa seisi dunia menertawakannya karena selama ini telah bersikap angkuh dan congkak pada orang lain. Sekarang, ia seperti tidak berdaya. Seolah apapun yang dilakukannya akan membuat dirinya jatuh dan terperosok dalam kehidupan yang memalukan itu. Ia tahu, mungkin salah satu alasan ia tidak ingin bekerja sebagai pelayan kafe atau restoran itu adalah karena egonya terlalu besar. Rasa malunya mendominasi di dalam diri yang selama ini menunjukan kemewahan pada lingkungan dan teman – temannya. Maka, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di dalam bidang yang tetap bersinar walaupun sebenarnya dirinya saat ini hanyalah sebuah batu lusuh di antara temannya yang lain. “Ayo, Kaila.” Bagas menunggu dengan tidak sabar karena sedari tadi wanita itu tidak melakukan apa-apa kecuali menekuni naskahnya yang hanya dua lembar. Dan adegan yang harus diperagakan pun sangat mudah sehingga tidak perlu kerja keras untuk melakukannya. Akhirnya dengan gugup Kaila mengikuti naskah itu, melakukannya dengan enggan karena ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi untuk peran ini. Bagas berdecak , ia menunggu wanita ini untuk melihat akting buruknya, benar – benar sangat membuang waktu. “Kaila, lakukan lebih baik lagi. Itu tidak bisa di sebut akting.” Pria itu menggerutu dalam hati, wanita di depannya seperti membaca, bukan berakting. “I-iya pak.” Kaila mengulanginya sekali lagi, berusaha melakukannya dengan penuh penghayatan namun wajah Bagas masih nampak tidak puas. Jangankan tidak puas, laki – laki itu mungkin saja ingin melemparnya dari ruangan ini sejak tadi. Bagas menghentikan Kaila dan menyuruh wanita itu mengganti adegan yang lain. Namun, tetap saja hasilnya tidak memuaskan. Hingga Kaila merasa tidak enak hati pada pria itu. Namun, hatinya pun sedih karena usaha yang ia harapkan dapat menjadi jalan untuk menolong keluarganya ternyata gagal. Ia sudah membayangkan wajah ayah dan ibunya di kampung yang kesulitan, memikirkan itu membuat air mata Kaila menggenang. Air mata sialan. Tidak biasanya dia menangis di depan orang asing. Apalagi di saat – saat penting seperti ini. Mengapa ia bisa bertingkah sok jagoan di lain waktu namun malah memilih saat ini untuk menunjukan air matanya. Hanya karena ia gugup dan putus asa akan kemampuan beraktingnya yang buruk. “Eh, kok nangis sih? Kamu nangis, ya? Aduh, sorry deh tapi gue juga disini Cuma pegawai. Kalo gue merekrut orang tanpa bakat kayak lo, bisa – bisa gue yang kena marah si bos nanti.” Bagas mendadak berbicara dengan santai dan informal pada Kaila. Tepat pada saat Kaila mengusap air matanya, pintu ruangan itu terbuka dan Kaila dapat melihat sesosok pria masuk ke dalam ruangan itu. Mata mereka sempat saling bertemu sebelum pria itu memalingkan wajahnya dan menatap Bagas. “Gas, project terakhir kita bisa rilis secepatnya?” “Eh, bos,” Bagas menggaruk telinganya karena di todong pertanyaan itu oleh atasan yang umurnya tidak jauh berbeda dengannya. “saya lagi berusaha mempercepat prosesnya sih bos. Tapi kayaknya harus tetep sesuai jadwal, saya belum nemu kandidat yang tepat.” Bagas sempat melirik pada Kaila. Tadinya pria itu berniat untuk memasukan Kaila dalam tim project yang sedang ia kerjakan.Sseorang temannya, Raisa, memberikan foto wanita ini pada Bagas, ia terkejut dan terpesona saat melihat foto Kaila. Wajah Kaila bagaikan dewi, namun juga terlihat rapuh, cocok dengan peran yang akan di mainkan seandainya wanita ini pandai berakting. Itu sebabnya ia setuju untuk memanggil wanita ini untuk mengikuti audisi. Tapi ternyata, Kaila memang benar – benar mahasiswa biasa yang tidak mempunyai pengalaman apa – apa di bidang akting. Buktinya, kemampuan beraktingnya sangat buruk hingga membuatnya menyesal karena telah membuang – buang waktu. “Ini kenapa, ga masuk?” Tanya bos Bagas pada Kaila. Kaila menatap pria yang sedang menatapnya juga. Pria itu memiliki aura dominan yang santai. Ia tahu pria ini mendominasi tapi sikapnya masih sangat santai terhadap Bagas. Tidak sekaku orang yang biasanya berperan sebagai bos. Bagas menggeleng sambil meringis karena tidak enak mengatakan itu langsung di depan Kaila. “Engga bos, belum cocok.” Bos nya masih meneliti Kaila dari atas hingga bawah, Bagas yakin bosnya pun memiliki kesamaan dengan dirinya kemarin. Mereka berdua sama – sama terpikat pada sosok dan fisiknya, namun sayang wanita itu tidak memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan untuk ia masukan ke dalam project penting ini. Kaila merasa malu dan canggung berada di tengah – tengah diskusi mereka berdua, padahal ia sudah tahu bahwa dirinya tidak akan lolos seleksi. Jadi, ia pamit keluar dari ruangan itu sebelum dirinya dipermalukan lebih jauh lagi oleh kedua orang itu. “Tunggu.” Perintah pria itu, membuat langkah Kaila berhenti. “Gas, kamu keluar dulu. Saya ingin berbicara dengannya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN