"Erlang, kamu nggak pa-pa kalau tertarik sama Haifa, perjodohan kamu bisa Mama kompromi."
Well ....
Erlang yang sedang duduk di kursi kerjanya di kantor, lantas menatap tepat di wajah sang mama.
Tadi Mama Wendi memang bilang mau datang bareng papa. Papa sepertinya sedang melihat situasi dan perkembangan di agensi model ini, sedangkan mama menghampirinya di sini, padahal baru saja Erlang mau keluar menyusul papa.
"Ya ... ini daripada kamu nerima perjodohan yang belum jelas siapa ceweknya, kan? Pihak sana bilang anaknya kabur soalnya." Sambil memandang kuku yang baru saja diwarnai.
Bentar.
Erlang hampiri mamanya, mendekat, dia pun duduk di sofa yang berhadapan dengan gerangan.
"Kalau Erlang nggak minat sama Haifa?"
"Ya udah, kita tunggu calon jodoh kamu yang kabur itu. Lagi dicari, kok. Perjodohannya tetap jadi." Dengan tegas Mama Wendi berkata.
"Kalau Erlang maunya cewek lain?"
"Boleh aja. Bawa ke rumah nanti malam," tukas mama.
Erlang lalu tertawa.
"Mama, sih, asal di tahun ini kamu menikah."
Gitu, ya?
"Resolusi Mama tiap ganti tahun nggak pernah berubah, ya?" Selalu tentang pernikahan Erlang.
"Ya, habisnya kamu ... ah, udahlah. Mama tunggu keputusan finalnya nanti malam. Jadi, pikirkan baik-baik. Mau Haifa, cewek lain, atau lanjut perjodohan aja. Pokoknya, akhir tahun ini kamu harus udah ijab sah."
Yang sedang Erlang ceritakan kepada Haifa. Iya, sore itu sepulang kerja, sambil mengajak Galen bermain di taman. Erlang dan Haifa duduk bersebelahan, di area jungkat-jungkit ada Galen dan temannya. Anteng. Ini kegiatan rutin Galen yang juga Erlang perkenalkan kepada Haifa, yakni bermain di taman, membaur bersama teman-teman area perumahan.
Hari itu Erlang pulang kerja lebih cepat karena ada jadwal ini. Mengajak bermain putranya. Anak yang lahir dari wanita kecintaan Erlang, dulu ... dia pernah tertarik pada wanita yang sampai terpikir untuk dirinya seriusi, tetapi sebelum itu terjadi, wanita tersebut mencintai pria lain sampai hamil, saat waktu di mana Erlang mau mengakui rasa suka dan niat baiknya, tetapi niat itu terganti dengan 'niat baik' yang lain.
Yang membuatnya hidup sebagaimana sekarang.
"Menurut kamu gimana, Fa?" Erlang menatap Haifa, gadis yang dia temukan di desa, tetapi saat memakai pakaian milik mamanya, kok, Haifa anak kota banget?
Oh, nggak.
Dia terlihat cocok dengan pakaian jenis apa pun.
Dan rencananya, malam ini mau belanja keperluan Haifa, termasuk pakaiannya. Erlang belum bilang, sih.
Well, ukuran tubuh Mama Wendi tipis-tipis mirip Haifa, tetapi bedanya Haifa lebih tinggi sehingga daster semata kaki mama pun jadi sebetis di Haifa. Dress yang apabila dipakai Mama Wendi itu selutut, pada Haifa jadi sepaha.
Di sana, Haifa balas menatap Airlangga. "Bingung, ya?" katanya.
Tapi demi apa pun, pikiran Haifa sedang berkelana sebetulnya. Mendengar cerita dari Mas Erlang, dia merasa ada suatu 'kemiripan' yang membuatnya tersentil hingga terlintas ... jangan-jangan aku yang dijodohin sama masnya?
Ah, masa iya?
Nggak, deh, kayaknya.
Hanya karena sama-sama dijodohkan, lalu belum diketemukan dengan calon pasangannya, sampai pada pihak perempuan yang kabur, tetapi bukan berarti itu Haifa, kan? Bukan berarti itu Mas Erlang juga, kan, walau sama-sama duda anak satu ... eh, iya. Sebanyak itu kesamaan kisahnya.
"Tuh, kan ... kamu aja bingung, apalagi saya," ucap Mas Erlang.
Oke, kesampingkan dulu kecurigaannya. Haifa fokus pada apa yang masnya curhatkan.
"Mas mau nikah atau nggak?"
Ayolah!
"Bukan itu poinnya, Haifa. Mau atau nggak, nggak ngaruh. Karena ini udah bukan lagi soal mau apa nggak, tapi 'harus'. Mama bawa-bawa Galen sebagai ancaman soalnya."
"Oke. Terus, Mas mau dijodohin atau lebih ke pengin nyari jodoh sendiri? Lebih condong yang mana. Mungkin dari pertimbangan-pertimbangan ini nanti Mas bisa ambil keputusan."
"Saya nggak tau." Erlang senyum kepada Haifa. "Tapi kamu boleh juga."
Haifa mangap, lalu mingkem. Airlangga tertawa.
Sesaat kemudian Haifa berdecak dan bertanya, "Paling penting, sebenernya di hati Mas Erlang ada, nggak, sosok perempuan ... yang Mas inginkan, gitu? Suka atau apalah. Ada?"
Erlang mengerutkan kening. Mengilas balik pada lintas jejak hidupnya. Kalau soal itu ... "Dulu ada."
"Sekarang?"
"Maunya, sih, kamu."
"Astaga, Mas. Serius!" Rasanya Haifa sudah kebal dari ucapan manis yang keluar dari mulut masnya. Waktu di desa, sih, jujur ... pernah baper, apalagi momen terakhir saat melihat senja.
Namun, ke sini-sini ... sejak tahu sama-sama dijodohkan, tetapi masih suka menggoda, Haifa jadi mempertebal imun hatinya supaya tidak tergoda. Dia anggap canda, dianggapnya teman sefrekuensi saja, dengan Haifa yang kadang kala balas menggoda, juga telah dia perhitungkan planning selanjutnya; menjauh dari radar Mas Erlang.
"Serius, Fa. Sama kamu ajalah, ya? Mau?"
Kembali lagi ke situ.
Haifa bergeming.
Itu ide bagus, Haifa mau. But, bayangannya kalau menikah sama Mas Erlang, kok, tidak seindah dulu, ya? Pertama, Mas Erlang tipe laki-laki humoris yang bisa saja godaannya tidak dilontar hanya kepada Haifa. Kedua, Ini keputusan ngasal beliau memilih Haifa, bukan karena berasal dari lubuk hati yang paling dalam menginginkannya. Ketiga, Pasti ada sosok mantan istri atau perempuan masa lalu Mas Erlang terkait Galen, kan?
Perlu dibicarakan.
"Haifa?"
"Aku lagi mikir."
See!
Mas Erlang tertawa. "Ya udah, perlu berapa hari buat mikir? Eh, nggak. Mas butuh jawabannya nanti malam. Usahakan jangan lebih dari tiga jam, ya, mikirnya? Mas samperin Galen dulu."
Kalau ajakan ini diucap saat masih di desa, saat belum terang-terangan terkait perjodohan, juga saat belum mengenal lebih jauh sejauh sekarang, Haifa pasti langsung say 'yes'.
Namun, ternyata Mas Erlang bukan lelaki available yang selaras dengan ekspektasi Haifa. Dia punya anak. Meski tidak berperut buncit laksana bayangannya terkait sosok duda anak satu, tetapi ... bagaimana menjelaskannya, ya? Dan lagi, Haifa belum jujur soal usia aslinya. Dia bukan dua puluh delapan tahun, tetapi masih dua puluh empat ... untuk seorang Airlangga Cakra Gerhana yang tiga puluh empat tahun. Beda sepuluh, sih.
Terus ...
Mas Erlang ternyata bukan seorang fotografer, tetapi dia pemilik agensi model, sama seperti Haifa yang bukan gadis desa, melainkan putri tercela dari keluarga Samarawijaya di ibu kota ini.
Wah ....
Banyak yang harus dibicarakan jika Haifa berkata 'iya, aku mau.'
Belum lagi soal ....
"Galen, udah sore, nih. Pulang, yuk? Next time lagi mainnya. Ayo!"
Anak kecil itu, yang Mas Erlang sebut namanya.
***
[BREAKING NEWS: H-3 Pernikahan Putri Konglomerat (Geanica R. S.) dengan Pebisnis Tersohor Abad ke-21 (Harries D. H.), Dekorasi Wedding ala Disney 20% Lagi!]
"Siapa yang tidak mengenal putri konglomerat generasi keempat asal ibu kota yang pernah menjadi bagian dari Miss Indonesia tiga tahun yang lalu, dengan bakat melukis, bermain piano, dan kecerdasan luar biasanya itu telah sukses memenangkan hati pujangga batu bara."
Adalah headline berita beserta ucapan presenternya di TV, yang mana Haifa sedang melintas selepas dari kamar Galen--dia sudah menyiapkan pakaian bocah itu. Ah, iya, Mama Wendi tengah menonton siaran rumpi di sana. Menjadi hal yang membuat langkah Haifa berhenti, menatap televisi.
Di sisi lain, Erlang baru saja selesai mandi. Sudah berpakaian, dia keluar kamar, lalu menuruni satu per satu anak tangga, dan dia menemukan keberadaan Haifa yang bergeming di belakang sofa Mama Wendi.
"Selain bakat gemilangnya, Geanica Rahayu Samarawijaya terpantau diakui kecantikan parasnya se-Nusantara. Gadis ini ...."
"Dor!" Sambil memegang bahu Haifa dari belakang secara tiba-tiba. Namun, yang kaget bukan dia, tetapi Mama Wendi di sana. Sampai terbatuk, tersedak camilannya.
Eh, eh ... Erlang auto panik. "Ma ... oke?"
Satu detik.
Mama Wendi masih batuk kecil-kecil. Minum. Yang Erlang usap-usap punggungnya, sementara Haifa membawakan teko mini, isi air tentunya, barangkali kurang.
Batuk Mama Wendi pun mulai mereda. Langsung saja dia menatap tajam putranya. "Oke-oke gigi kamu tiga belas! Kalau Mama meninggoy sedangkan kamu belum nikah gimana, hah?!"
"Astagfirullah." Itu suara Papa Chandra. Muncul dari arah luar rumah. "Ada apa ini, Ma?"
Haifa bingung mesti ngapain, selain menonton mereka.
"Erlang ini, Pa. Ngagetin Mama. Udah gede juga, masih aja suka iseng."
Mas Erlang meringis.
Mama Wendi tampak kesal sekali, yang dilerai oleh Papa Chandra di sini.
Adalah detik di mana jailnya Erlang salah sasaran. Haifa kontan menertawakan di saat akhirnya sudah menjauh dari sana, ketawa kecil, bukan menertawakan Tante Wendi, tetapi Airlangga ... yang mengekorinya sampai di kamar.
Eh?
Erlang senyum.
"Mau nagih jawaban," katanya.
Oh, ya, soal obrolan di taman.
Tapi, kan, belum limit tiga jam. Baru juga satu jam lewat sekian menit sepertinya, ini pun baru pulang dari taman, dan Haifa baru mau mandi setelah memastikan Galen mandi dengan aman, plus telah dia siapkan pakaiannya.
"Belum adalah. Belum sempet aku pikirin juga. Mandi aja belum," tukas Haifa.
Ah, iya ....
Itu cuma prolog, kok. Maksud Erlang mengekori Haifa sampai ke sini, sebenarnya bukan buat itu.
"Silakan, Mas." Haifa mengusir sopan, dia buka pintu kamarnya agar Erlang keluar.
Namun, bukannya keluar, dia malah menetap dengan satu kalimat tanya.
"Kamu ... siapanya Samarawijaya?" Dengan sorot paling intens yang Erlang berikan, tepat jatuh di telaga bening Haifa.
Mencari satu dan sekian hal di sana.