CSD 18. Selir Kesayangan°

1624 Kata
Chandni boleh jadi selir kesayangan Rajputana, kecintaannya, segalanya. Namun, itu tidak serta merta membuat semua orang juga menyukai Chandni. Banyak hal membuat orang mudah membenci Chandni. Dia wanita yang memiliki keberuntungan yang kurang ajar. Dikagumi banyak pria, menikah dengan pria paling gagah berani di Rajpur, kemudian menikah dengan pria impian semua wanita, yaitu raja Rajpur. Dia janda muda, belumlah lama, sudah menikah lagi sampai- sampai Rajputana menentang aturan dasar norma sosial, yaitu seorang janda haruslah tetap menjanda, bahkan jika perlu ikut dikubur atau dibakar bersama jasad suami mereka. Kedekatan Rajputana dengan petinggi Inggris, mampu menetapkan aturan bahwa wanita berhak menikah lagi setelah cerai atau ditinggal mati suami mereka. Rajputana bisa mempertahankan kekuatan hukum pernikahannya dengan Chandni. Namun, menikahinya di masa masih berkabung, membuat orang banyak mengutuk pernikahan itu akan membawa bencana. Melihat setiap harinya pasangan itu semakin mesra dan bahagia, kebencian mereka tumbuh semakin besar. Tiba saat Chandni diboyong ke istana, yang paling sakit hati adalah Anuradha. Para selir lainnya menyusul. Namun, mereka tetap memasang senyuman dan menyambut suka cita anggota baru dalam sistem harem mereka. Mereka tidak ingin memiliki hubungan buruk dengan orang kesayangan Rajputana, serta mereka masih ingin menarik perhatian raja mereka. Mereka menyambut Chandni di balairung. Tidak seperti selir biasanya yang diatur di bawah kuasa ratu atau ibu suri, Chandni sepenuhnya diatur oleh Rajputana sendiri. Dengan alasan Chandni bukan selir biasa, tetapi memiliki kemampuan tabib dan penasihatnya menggantikan Imdad. "Selamat datang, Chandni!” ucap Anuradha saat berdiri di hadapan selir itu untuk memutarinya dengan api diya dan menaburkan kelopak bunga. Sebagai pimpinan para wanita yang senantiasa menyediakan kesenangan bagi sang raja, ialah yang harus memberikan sambutan resmi untuk Chandni. "Terima kasih, Maharani," balas Chandni, lalu membungkuk menyentuh ujung kaki Anuradha. Susmitha, ibu Rajputana yang sangat menyukai Chandni senang akhirnya Chandni ke istana. Putranya tidak akan kerepotan lagi untuk menemuinya. Chandni berjongkok berjalan mendekatinya lalu menyentuh ujung kakinya. "Salam, Ibu Suri," ujar Chandni. Susmitha malah mengubit kedua sisi pundak Chandni dan menariknya sehingga berdiri. "Selamat datang, Anakku. Panggil saja aku ibumu. Senang akhirnya kau tinggal di sini. Aku harap kau kerasan." "Iya, Ibunda, terima kasih." Para selir lain berwajah merengut yang ditutupi selendang mereka. Tidak ada seorang pun dari mereka pernah disambut demikian ramah oleh Ibu Suri. Perlakuan terhadap Chandni terkesan sangat membeda- bedakan. Rajputana yang berdiri di pinggir ruangan memandangi dengan rasa bangga. "Aku harap kau bisa segera memberikan keturunan untuk Rajputana. Istana ini sudah lama tidak ada suara bayi dan anak- anak. Sangat menyedihkan." "Saya akan berusaha sebaik- baiknya, Ibunda," sahut Chandni. Ucapan itu sebenarnya malah membuat Rajputana tidak enak hati. Sebagai laki- laki, kesuburannya yang patut dipertanyakan. Ia berdiri ke sisi Chandni dan merangkul pundaknya. Ia berujar pada ibunya. "Amma, itu tanggung jawabku. Karena itu aku akan lebih intens lagi bersama Chandni." Chandni mendapat pesanggrahan khusus untuk ditinggali bersama putranya, yang mana itu tidak lazim untuk seorang selir, akan tetapi orang-orang tidak ingin terang- terangan menentang Rajputana, mereka tidak berani mempermasalahkannya. Rajputana membangun pesanggrahan itu berdekatan dengan kamar tidurnya agar mudah mengunjungi Chandni. Selesai seremonial itu, Chandni beristirahat di kediamannya, sementara Rajputana mengadakan pertemuan rapat dengan petinggi- petinggi kerajaan. Kembali ke istana, membawa banyak kenangan bagi Chandni. Hatinya masih berdebar melihat kediaman panglima yang sekarang ditempati Vijay, lalu pondok pengurus ternak, yang sekarang menjadi milik Jamuna dan Karan. Kedua anak itu sudah dewasa dan menikah. Chandni berbahagia untuk mereka dan memberi hadiah perhiasan serta koin emas. Ia dan Jamuna berbincang-bincang di gazebo taman. "Aku harap kau bisa kerasan seperti dulu lagi tinggal di istana ini, Chandni. Semuanya sangat berbeda sejak Tuan Imdad tiada," ujar Jamuna, yang bisa dipahami Chandni bukan karena Tuan Vijay tidak kompeten, tetapi kehilangan sosok yang begitu berpengaruh dan berkharisma sangat terasa dampaknya. "Kehidupan tidak akan pernah sama, Jamuna. Kita hanya harus belajar terbiasa dengan perubahan, karena ke depannya tidak akan menjadi lebih mudah, melainkan semakin banyak tantangan," ucap Chandni. Jamuna cemberut dan menggerutu tidak bersemangat. "Ucapanmu selalu membuatku ketakutan, Chandni. Aku tidak akan seberani dirimu." Chandni menggenggam tangannya dan berujar menyemangatinya. "Kau pasti bisa. Jika kau mempunyai cinta yang sangat besar untuk orang-orang yang kau sayangi, kau akan bisa mengatasi semua ketakutan." "Ah, selalu saja, Chandni, mudah bagimu mengatakannya, tetapi melaksanakannya tidaklah segampang itu." Chandni tersenyum. "Sesungguhnya aku masih berusaha, Jamuna. Semakin besar kekuatan yang kumiliki, semakin besar pula tanggung jawab yang kuemban." Jamuna merengut kesal pada Chandni. Dalam hati ia kasihan pada Chandni. Seharusnya Chandni hidup tenang sebagai janda, tetapi dia malah menikahi Rajputana dan masuk lagi ke lingkaran setan kecemburuan dan kedengkian. "Perempuan seharusnya cukup menikah dan memiliki anak. Itu saja. Tidak perlu repot-repot seperti yang kau lakukan." Chandni menyenyuminya lagi. "Maharana telah kehilangan belahan jiwanya. Ia sangat kesepian, Jamuna, dan sebagai orang yang bisa memahaminya, aku tidak bisa membiarkan Maharana sendirian. Ada panggilan jiwaku untuk berjuang bersamanya, seperti yang Tuan Imdad inginkan." Jamuna menitikkan air mata haru. Ia merangkul Chandni. "Aku akan selalu berdoa untukmu, Chandni. Kau tidak tahu bagaimana seramnya melihat kau sekarat, melihatmu bertarung dan pergi ke medan perang. Kau sudah seperti kakakku. Tuan Imdad seperti kakak laki- lakiku. Sekarang Tuan Imdad tiada. Aku tidak ingin kehilanganmu juga." Chandni mengusap- usap punggung Jamuna. "Hei, aku masih ada, kenapa kau menangis?Jangan cengeng. Simpan air matamu untuk nanti saja." Tangis Jamuna semakin keras. "Hu hu hu ... Chandni ... Kau bicara seperti itu seakan kau tahu kapan kau akan mati." Ia bermain di alam antara hidup dan mati, bahkan ia bersahabat dengan kematian itu sendiri. Chandni terkekeh geli sendiri. "Tidak ada yang abadi, Jamuna. Itu sudah hukum alam. Jadi, buat apa bersedih?" katanya. Jamuna menghentikan isak tangisnya. "Ya, kau itu selalu saja, mudah sekali mengucapkannya." ”Tetapi kau melihat aku saat aku terpuruk 'kan, Jamuna?" ujar Chandni. Jamuna terkenang penyangkalan Chandni terhadap kematian Tuan Imdad. Ia pun mengerti. Chandni juga pernah tidak berdaya. "Maharana membantuku bertahan dan terus menguatkanku meskipun ia juga sangat berduka, karena itulah dalam keadaan apa pun, aku ingin mendampingi Maharana." Jamuna menjadi kesal lagi, bukan karena Chandni. "Benar- benar jahat sekali orang yang mengatakan kau menggoda Maharana dan mengejar hawa nafsu semata," rutuknya. "Ya, aku tahu apa yang mereka katakan. Jangan khawatir, aku tidak peduli. Jadi, kau pun tidak perlu terpengaruh soal itu," pungkas Chandni. Jamuna mengangguk kecil. "Ya, Chandni, aku mengerti." Mereka berpelukan pamitan. Jamuna kembali ke kediamannya di pondok belakang istana. Chandni bermain dengan Thoriq di taman dan setelah lelah berlari- lari, mereka duduk di teras paviliun. Thoriq duduk di pangkuan Chandni dan berceloteh, "Bosan, Amma. Toru ingin bermain dengan Manse. Kenapa kita tidak pergi ke rumah nenek? Atau Manse datang ke sini." "Di sini tidak bisa keluar masuk semaunya, Toru. Kita harus menunggu izin Baba Raj dulu." Thoriq cemberut dan bersandar malas- malasan di dekapan ibunya. Tiba- tiba ia terkesiap dan tersenyum ceria. "Amma, bagaimana jika Toru bermain dengan Paman Devdas?" "Entahlah, sayang. Amma khawatir Paman Devdas sedang sibuk." "Aku tidak sibuk!" sahut suara pria lantang. Sosok rupawan bersayap putih itu muncul di depan mereka, berjalan mendekat. Thoriq melonjak. "Yey, Pa—" Chandni buru- buru membekap mulut Thoriq dan berujar dengan suara direndahkan pada anak itu. "Ssst, jangan keras- keras, nanti orang- orang akan tahu teman rahasia kita." "Haan, Amma," sahut Thoriq berbisik. Ia lalu duduk tenang di asuhan Chandni, memandang memuja pada Devdas. "Kenapa kau datang? Apa kau sedang tidak ada pekerjaan?" tanya Chandni yang merasa sungkan merepotkan Devdas. "Kau menyebut namaku," jawab Devdas. Ia harus mencabut nyawa seseorang, tetapi tak apalah tertunda beberapa menit. "Aku sedang tidak ada pekerjaan," lanjutnya dan itu membuat Chandni menjadi lebih santai. "Oh, syukurlah." "Paman Dev, bolehkan aku ikut terbang bersamamu?" pinta Thoriq dengan suara yang menggemaskan. Untuk melakukan itu, Devdas bisa menarik keluar jiwa Thoriq dari tubuhnya, tetapi itu terlalu berisiko. "Aku terbang terlalu tinggi dan terlalu cepat, Toru. Berbahaya untuk anak- anak. Tetapi aku punya mainan bagus untukmu." "Oh, mainan apa, Paman Dev?" Chandni menyela cemas. "Tuan Devdas, aku mohon jangan memberikan mainan berbahaya pada anak- anak." "Tidak berbahaya," sahut Devdas. "Hanya butiran batu- batu indah yang kubuat." Ia membuka telapak tangannya dan memperlihatkan 5 kelereng batu berkemilau aneka warna. "Whoaaah, bagus sekali!" seru Thoriq, menyambut kelereng- kelereng batu akik itu dengan kedua tangannya. Thoriq segera memainkan kelereng itu di lantai. "Itu terbuat dari batu- batu di dasar sungai. Aku mengasahnya sebentar dan jadilah kelereng itu." Cerita Devdas pada Chandni. Mereka duduk bersisian. Ia bercerita panjang lebar apa saja yang dilakukannya di bumi dan Chandni mendengarkan sambil memandanginya dengan sorot takjub. Ia menyukai tatapan itu. Mata itu dan senyumannya. Katakanlah, dua hal itu akan membuatnya bertekuk lutut di hadapan Chandni. Dan jika melihat seluruh tubuhnya, lebih dari bertekuk lutut, ia akan melepas semua atributnya dan menyembah Chandni. Banyak berbicara akan mengalihkan Devdas dari keinginan menyetubuhi Chandni. Ketika asyik berbicara, tiba- tiba tangan Chandni meraba sebelah telapak tangannya. Devdas terdiam, menoleh pada Chandni dan gadis itu tersenyum padanya. Jemari halus Chandni bergerak perlahan, menyamakan dengan telapak tangannya yang lebih besar. "Kenapa? Ada apa?" tanya Devdas gugup. Chandni bergumam, "Aku merasakan kehadirannya setiap bersamamu. Aku ingin memegang tanganmu siapa tahu mungkin rasanya juga sama." Tangannya adalah alat yang menarik kehidupan Imdad keluar dari tubuhnya. Devdas merasa serba salah. Ia menarik tangannya begitu saja dan langsung berdiri menoleh ke arah lain. "Aku mendapat panggilan tugas. Aku harus segera pergi," kata Devdas lalu ia melesat hilang dari pandangan Chandni. Chandni termenung. "Amma!" suara Thoriq memanggilnya menyadarkan Chandni. Anak itu mendempetkan tubuh ke pangkuannya dengan kedua tangan menggenggam kelereng. "Paman Dev sudah pergi?" tanya Thoriq. Chandni membuka mulut hendak menjawab, akan tetapi di belakangnya menceletuk suara Rajputana. "Siapa Paman Dev?" Tidak ada seorang pun keluar masuk kediaman selirnya lepas dari pengawasannya. Kehadiran orang asing di tempat itu tentunya menjadi tanda tanya besar bagi Rajputana. Rajputana buru- buru ke sisi Chandni dan menatap lekat wajah gadis itu. Keheranan Chandni tidak segera menjawab, malah termangap. Rajputana mengulang pertanyaannya. "Siapa Paman Dev?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN