CSD 16. Namaku°

1804 Kata
Desahan dan engahan menggema dalam gua. Dua insan yang dimabuk cinta kembali memadu raga mereka menjadi satu. Dinding batu cukup menjadi bidang penyatuan. Peraduan di lantai gua terabaikan. Rajputana mengagungkan Chandni, mengangkat tubuh gadis itu lebih tinggi darinya hingga tersandar di dinding gua. Ia menyangga Chandni dengan keperkasaannya, menghunjam ke atas, mengguncang tubuh indah itu, seraya mengambil napas di permukaan kulitnya. Kuncup buah da.da Chandni mengeluarkan tetesan putih akibat cengkeraman tangannya, segera diseruput Rajputana, lalu semakin lahap hingga rahangnya mencengkam gundukan kenyal itu. "Ah, Maharana!" pekik lemah Chandni. Tidak menyangka Rajputana sangat bernafsu padanya bahkan setelah persanggamaan mereka di sungai. Rajputana tidak menyahutinya. Kedua tangan Rajputana memagut erat Chandni agar mantap mengguncang tubuhnya demi mencapai ledakan dahsyat percintaan mereka. Di luar matahari terik mengeringkan pakaian yang direntangkan di bebatuan. Matahari kemudian bergeser ke ufuk barat, langit senja mulai melingkupi hari. Chandni dan Rajputana selesai meredakan engahan. Saat berbaring telentang bersisian, mereka saling pandang lalu tersenyum bersama. Chandni bangun lebih dulu, setengah berbaring mengusap da.da Rajputana, terpana melihat cepatnya pemulihan lukanya. "Apakah Tuanku tidak ingin kembali ke istana? Orang-orang pasti mencemaskan Tuan," gumam Chandni. Rajputana menyentuh untaian rambut di tepi wajah Chandni. "Aku akan kembali jika kau ikut bersamaku. Tidak ada gunanya aku hidup di luar sana jika tanpa dirimu." "Ah, ya," lirih Chandni. Ia menarik diri dari Rajputana, duduk sehingga Rajputana hanya melihat punggungnya. Ia masih ingin tinggal di hutan agar bisa bertemu pemuda bersayap itu, tetapi tidak bisa mengungkapkannya. Rajputana mungkin akan mengusir pemuda bersayap itu jika tahu ia sang Kematian. Pemuda bersayap itu juga sepertinya tidak betah jika ada Rajputana. Rajputana duduk mencumbui punggung Chandni yang berkilap lengket bekas keringat. Chandni meliriknya lalu tertunduk disertai desahan risau. "Sebentar lagi gelap. Chandni ingin mandi sekalian mengambil pakaian," ujarnya lalu beranjak meninggalkan Rajputana. Rajputana berselonjor sebentar, berusaha menata pikirannya. Tidak perlu diucapkannya, ia tahu gua itu sangat berkesan bagi Chandni dan itu membuat Chandni gelisah karena merasa berkhianat. Ia yakin Chandni merasakan hal yang sama dengannya. Terjebak antara kenangan, rasa bersalah, dan nafsu. Namun, semua itu akan berlalu seiring berjalannya waktu. Rajputana lalu bangkit dan menyusul Chandni ke sungai. Mereka mandi bergegas karena hari gelap, kembali ke gua dan mengenakan pakaian. Malam itu mereka mengisi perut dengan hidangan ikan hasil tangkapan Rajputana. Selesai makan, mereka duduk- duduk di luar gua, menikmati pemandangan langit malam yang dipenuhi kilau gemintang. Api unggun kecil dinyalakan di dekat kedudukan. Chandni dan Rajputana mendongak menatap langit. Chandni berujar lirih, "Apakah Tuan Imdad di atas sana? Salah satu bintang yang bersinar indah itu?" Rajputana menoleh pada Chandni walau gadis itu tidak balas menatapnya. "Tentu saja," sahutnya. "Di atas sana adalah tempat terbaik di mana ia bisa selalu mengawasi kita. Imdad akan selalu ada di mana saja kita berada, karena ia selalu hidup di hati kita." Chandni menunduk, mendesah pasrah. "Anda benar, Yang Mulia. Seharusnya saya tidak berduka separah ini. Ada Rajpur dan Thoriq yang Tuan Imdad ingin kita menjaganya." "Hmm." Rajputana membelai rambut Chandni, memberinya dukungan atas ketabahannya dan usahanya untuk melanjutkan hidup. "Tidak apa- apa, Chandni. Ingat, kau tidak sendirian. Ada aku dan kita akan saling membantu." Chandni menatap pria itu dan tersenyum, lekukan pipi terbentuk tulus, menghangatkan hati yang memandangnya. "Anda benar, Yang Mulia. Terima kasih sudah bersabar dengan Chandni." Rajputana menekan bibir Chandni dengan telunjuknya. "Bagaimana aku tidak bersabar denganmu, Chandni- ku? Aku sangat mencintaimu, sejak lama, bahkan sebelum aku bertemu denganmu. Jika ada kehidupan lain setelah ini, aku ingin kita bertemu lagi, lagi, lagi, dan seterusnya." "Bahkan jika kita harus menderita seperti ini?" "Apakah hidup pernah lepas dari derita, Chandni? Kita belajar memahami makna mencintai, menyayangi, dan menghargai dari derita yang kita alami. Itu akan membuat kita kuat." Rajputana merangkul Chandni dan kepala Chandni tersandar ke dadanya. Chandni mendengar jelas detak jantung Rajputana. Irama yang sangat menenangkan. "Apa Maharana tahu, para jin udara itu takut dengan kekuatan Maharana?" gumam Chandni. "Aku juga berpikir demikian," sahut Rajputana. "Sayangnya aku tidak punya kemampuan menembakkan cakra seperti yang kau miliki, Chandni. Seolah aku wadah yang tersegel. Menurutmu apakah ada cara agar aku bisa menggunakan cakraku seluwes kamu?" "Hmm, soal itu mungkin Tuan Takur bisa menjelaskannya." Rajputana mengangkat dagu Chandni agar menatapnya. "Kalau begitu, kau akan ikut ke istana denganku?" "Ehm. Chandni akan melanjutkan tugas awal yang diberikan Tuan Imdad pada Chandni. Chandni akan menjadi prajurit khusus bagi Kerajaan Rajpur." Rajputana melepaskan dekapannya, menegapkan tubuh, lalu menghormat pada Chandni layaknya tentara. "Selamat bertugas kembali, Prajurit!" ujarnya lantang. Chandni balas memberi hormat. "Siap, Yang Mulia!" Rajputana lekas merangkul Chandni lagi dengan pelukan yang lebih intim. "Kemari, prajurit khususku. Satu- satunya prajurit yang berhak kucium dan tidur denganku." Lalu ia menghujani Chandni dengan kecupan kecil di mana- mana sehingga gadis itu kegelian dan tertawa. Candaan mereka membahana dalam hutan senyap itu, memancarkan energi yang membuat makhluk tak kasat mata urung mendekat, akan tetapi tersembunyi dalam gelap, seorang pemuda bersayap berada di sana, merasa terenyuh. Senyum itu dan tawa itu menjadi hiburan hati Devdas yang kesepian. Paginya, Chandni dan Rajputana kembali ke Sanggar Mohabbatein. semua orang di sana gembira menyambut mereka. Sarasvati dan Akash memeluk Chandni sambil menangis haru. "Syukurlah kau kembali dengan selamat, Nak!" "Iya, Bibi. Maaf membuat kalian cemas, tetapi kepergian Chandni sia- sia. Chandni tidak bisa menemukan Tuan Imdad." Sarasvati tersenyum dalam tangisnya, mengusap wajah Chandni penuh kasih sayang. "Tidak apa- apa, Anakku. Mungkin itulah jalanmu untuk bisa mengikhlaskan kepergian Tuan Imdad. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah berdoa untuknya agar mendapat tempat yang layak di sisi-Nya." Chandni mengangguk lalu menanyakan keberadaan putranya. "Toru di mana, Bibi?" "Ia di rumah neneknya. Jangan khawatir, kurir sudah menyampaikan kabar kedatanganmu. Kau bersihkan diri dulu sementara menunggu anakmu. Makanan juga sedang disiapkan untuk kalian." "Terima kasih, Bibi!" sahut Chandni dan Rajputana. Mereka lalu ke paviliun melakukan suruhan Sarasvati. Rajputana siap lebih dulu. Ia ke sasana tamu untuk bicara dengan para ajudannya, sementara Chandni masih mandi, duduk di bangku kecil menggosok badannya, lalu mengguyurkan air dari atas kepala. Ketika ia membuka mata, Devdas, pemuda bersayap itu duduk di pinggiran bak, telunjuk bermain memutar- mutar permukaan air. Chandni terkesiap, berujar dengan suara direndahkan. "Kau? Apa yang kau lakukan di sini?" Pemuda itu menjawab dengan polosnya. "Aku ingin melihatmu dan ingin menyentuhmu seperti yang Rajputana lakukan." Wajah Chandni langsung merah padam. Ia berujar kikuk. "K-kau ... tidak bisa begitu! Maharana adalah suamiku tentu ia boleh melakukan apa saja padaku. Sedangkan kau ... kau bukan suamiku." "Tetapi kau sebelumnya adalah istri Imdad Hussain," ucap Devdas seakan ia menuntut haknya atas diri Chandni. "K- kau ... bisa tahu?" Devdas tergamam sesaat, mempertimbangkan bagaimana jika Chandni tahu ialah yang mencabut nyawa suaminya. Chandni akan sangat membencinya. "Aku malaikat, aku melihat banyak hal dan aku tahu banyak hal." Tidak juga sih sebenarnya. Chandni mencondongkan tubuh padanya, memegang kedua tangannya dan mata menyorot penuh harap. "Kalau begitu, kau bisa memberitahu padaku apa yang terjadi pada Tuan Imdad? Apa aku bisa mendapatkan jiwanya kembali?" Devdas tergagap, beranjak melepaskan genggaman Chandni. "Manusia yang sudah mati tidak bisa hidup kembali, Chandni. Kau harus bisa menerima hukum itu. Aku kira kau sudah merelakan kematian suamimu. Sesungguhnya, itu yang terbaik." Chandni duduk kembali, kehilangan semangat. "Aku hanya bertanya. Siapa tahu ada jalannya." Sedetik kemudian dia bersuara tegas. "Oh, ya, bagaimana dengan malaikat yang mengambil nyawanya? Siapa dia? Bisakah aku bertemu dengannya?" Tatapan Devdas kosong, teringat tangannya yang menarik paksa kehidupan Imdad keluar dari jasadnya. Saat itu tarikannya sangat kuat karena gigihnya Imdad bertahan. Ia lalu berujar dingin menjawab Chandni. "Itu adalah hal yang sangat rahasia. Kami hanya menjalankan tugas dan manusia tidak berhak mencampuri." "Lalu kau? Kenapa kau menemuiku?" Devdas tergamam lagi. Alasan apa yang harus dikatakannya? Ia tidak bisa berbohong, tetapi entah bagaimana ia jadi bisa berbohong. "Karena Erion menginginkan jiwamu. Keterlibatan jin udara di dunia manusia menjadi hal yang sangat mencurigakan, karena itu aku harus mengawasimu." Kening Chandni berkerut, mata memicing menyelidik Devdas lalu berujar lega. "Kebetulan yang luar biasa! Aku tadinya bingung bagaimana cara mengatasi jin sehebat mereka. Aku rasa jawabannya sudah ada di sini, yaitu kau, Devdas." Eh, masuk akal juga. Devdas mangut-mangut. Chandni tiba- tiba mengulurkan tangan bersalaman padanya. "Karena kita akan bekerja sama, maka aku mengucapkan selamat datang di tim Rajpur, Tuan Devdas!" "Eh, iya," sahut Devdas kikuk menyambut jabatan tangan Chandni. Mereka pun resmi bergabung. Gadis bugil itu senyum-senyum dan mendempetnya, membuat Devdas gelagapan, melangkah mundur dan terpeleset di lantai kamar mandi itu. "Eh? Eh? Aaahh!" Air tumpah, ember kayu dan gayung terguling, tertindih Devdas beserta sayap kokohnya. Pada suatu waktu, malaikat itu bisa melakukan kontak fisik, juga bisa tembus bak hologram. Namun, ia akan memperlihatkan diri pada orang tertentu saja. Semenjak Devdas mengalami kerasukan jiwa Imdad, perasaannya yang kacau menyebabkan kondisi fisiknya sukar dikendalikan. Chandni tergelak menyaksikan langsung malaikat terpeleset. Devdas merengut merasa dipermalukan. Ia menggerutu sambil berdiri lagi, "Kau ... ini semua salahmu. Kenapa kau dekat- dekat seperti itu?" Chandni manyun. "Aku kira kau terbiasa bersentuhan karena kau bilang kau ingin menyentuhku seperti Maharana. Aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku butuh bantuanmu melakukan sesuatu untukku." "Apa itu?" "Putraku. Thoriq Ali Hussain." Jantung Devdas berdegup mendengar nama itu. "Kenapa dengan Toru?" ucapnya menceplos. "Aku tidak bisa membawa jiwa ayahnya kembali. Anak itu pasti akan sangat kecewa. Namun jika ia bisa melihatmu, aku yakin Toru pasti terhibur." Anak kecil tidak berdosa, tidak akan menjadi masalah jika ia memperlihatkan diri. Devdas segera menyetujui permintaan Chandni. "Baiklah, aku akan melakukannya." "Sungguh? Ah, kau baik sekali, Devdas. Terima kasih. Sebentar lagi Toru akan tiba di sini. Sebaiknya kita bersiap-siap." Devdas berdiri saja bagai tugu memandangi Chandni. Gadis itu merapikan ember dan gayung ke posisi semula, lalu membungkus tubuhnya dengan handuk sebelum keluar kamar mandi. Devdas merasa kecewa pemandangan tanpa sensor itu mesti ditutupi. Devdas mengiringi Chandni ke kamarnya. Chandni mengambil sestel baju sari dari dalam lemari, lalu meletakkannya di ranjang. Di tengah kamar, Chandni menjatuhkan handuknya, kembali telanjang. Devdas bersemangat lagi. Mata kelamnya jadi terang berkelap- kelip. Chandni mengenakan lapisan dalam untuk bagian tungkai kakinya. Devdas agak bagaimana ... gitu, cuma melihat gaun yang akan dikenakan Chandni sangat indah, ia sedikit rela Chandni memakai pakaian. Chandni mengibaskan rambutnya ketika memasang atasan choli berpayet dan bagian punggungnya bertali- tali terlilit. Ia berusaha meraih belakangnya untuk membenahi tali itu, tetapi kesusahan. Ia melirik Devdas yang berdiri semeter di belakangnya, memandangi saja. "Bisakah kau membantuku mengikatkan tali ini?" pinta Chandni. Devdas seumur hidup tidak pernah mengikat tali, tetapi demi Chandni ia tidak mengelak. "Eh, iya, bisa," katanya, lalu jari- jarinya kikuk menarik- narik tali choli Chandni. Chandni menatap ke depan, mengangkat tangan menyibak rambutnya ke atas kepala. Ia berbincang akrab dengan Devdas. "Jika aku ingin menemuimu atau aku perlu bantuanmu, apa yang harus kulakukan agar kau datang?" Jemari Devdas menyusuri punggung Chandni, bergerak menuliskan sesuatu di permukaan kulitnya yang halus seraya berujar lembut, "Cukup sebut namaku, Devdas, maka aku akan datang." (Yang dituliskan Devdas adalah rajah/simbolis sumpah (mannat) seperti yang dilakukan Imdad saat mereka bersama. Silakan di cek di story Play In Darkness: The Beginning.)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN