2. Oleh-oleh

846 Kata
"Lagian Mas Adam kenapa pula pakaiannya kek gitu, mirip perampok. Kirain tadi mau culik aku." "Siapa pula yang mau culik kamu?!" kata Mas Adam ketus, ia sambil memegangi bagian pelipisnya dan meringis pelan. Aku pun ikutan meringis, kemudian duduk di sebelahnya dan berusaha untuk melihat wajahnya yang sekiranya entah di bagian mana yang terluka. "Aku kek gini biar nggak dikejar paparazi. Tahu sendiri lah, artis itu gimana." Yah, aku mengerti. Menjadi artis harus siap privasinya dirampas sama publik. Kalau saja Mas Adam nggak berpenampilan tertutup serba hitam kayak tadi, mungkin bisa tuh dikejar paparazi sampai ke sini. Meskipun paparazi indonesia nggak segarang dispatch korea atau paparazi tiongkok. Tapi nanti beritanya di media jadi aneh-aneh. "Sakit nggak, Mas?" tanyaku seraya melihat wajahnya, aku jadi sedikit merasa bersalah karena memukulinya tadi dengan tasku. "Kamu mukulnya kuat banget sih. Dendam banget keknya sama aku." "Ih, bukan gitu. Tadi kan udah kubilang, kirain Mas Adam ini penculik." balasku jujur. "Mau dikompres aja nggak, Mas?" "Nggak. Nggak usah." "Beneran? Itu kayaknya Mas Adam masih ngeluh-ngeluh gitu." Mas Adam lantas melepaskan tangannya yang sejak tadi memegangi pipinya. Ia menatapku tajam, aku pun spontan menunduk diam. "Ada makanan, nggak? Laper nih." Aku spontan membulatkan bola mataku, panik. Pasalnya, aku hanya memasak nasi goreng tadi pagi. Siangnya, aku makan di kantin kantor. Dan malam ini aku rencananya cuma ngemil aja. "Kan aku baru pulang kerja, Mas. Belum sempat masak." "Ya udah, masak aja dulu. Kutungguin." Aku pun bergegas menuju dapur. Kulihat juga Mas Adam mengikutiku di belakang. Rupanya dia cuma mau ambil minum. Aku baru saja akan membuka kulkas untuk melihat perlengkapan masak, namun urung lantaran baru teringat sesuatu. Dengan canggung, aku melirik Mas Adam yang kini duduk di meja makan. Ia menatapku dengan sebelah alisnya menaik. "Kenapa?" tanyanya, menyadari kebingunganku. "Bahan-bahannya abis, Mas." "Kok bisa?" tanyanya seraya berjalan menuju ke arahku, lantas membuka kulkas lebar-lebar. "Kok bisa kosong gini? Kamu nggak pernah masak selama aku nggak di sini?" "Bukan. Bukan gitu, Mas. Ini kebetulan aja kosong." "Pantes ya, badan kamu makin kurus gini, jarang makan kayaknya. Jangan sampe dikira Mamih aku nggak nafkahin kamu loh." Mas Adam tampaknya tak mempedulikan pembelaanku. Sebetulnya Mas Adam memberiku uang bulanan yang nominalnya sepuluh kali lipat dari gajiku sebagai staf kantoran. Tapi aku menggunakan uang itu kalau dia pulang ke rumah, dan membelikan bahan-bahan keperluan dapur seperlunya saja. Selebihnya kusimpan. Lagipula, selama mas Adam sibuk syuting dan aku tinggal sendirian di apartemen ini, aku memang jarang masak. Karena rasanya nanggung banget kalau masak cuma seporsi. "Ya udah deh, aku pergi belanja bentar deh. Tungguin ya, Mas." Biar cepat kelar, aku sudah akan bergegas keluar rumah. Namun tidak jadi ketika Mas Adam malah menghentikan langkahku dengan kata-kata cabenya. "Percuma mau pergi belanja sekarang. Ini udah jam sembilan malam. Pas kamu nyampe rumah, yang ada aku udah tidur." Aku merengut mendengar perkataan suami rahasiaku. Kupandangi ia yang kini berjalan menuju ruang keluarga dan menyalakan televisi. "Atau pesan go-food aja?" Mas Adam lagi-lagi menggeleng. "Terus, gimana dong?" Aku mengikutinya, dan ikut duduk di sofa yang lain. Namun, Mas Adam malah mengedikkan bahunya. "Atau, Mas mau kue nastar?" Akhirnya aku mengeluarkan senjata terakhirku. Kue nastar itu kue buatanku sendiri, yang akan menjadi cemilanku nanti. Harus kurelakan supaya Mas Adam nggak cemberut lagi. Mas Adam berdeham pelan kemudian melirikku kemudian berkata, "ya udah, ambilin." Meski dengan sedikit berat hati, aku pun bergegas menuju kamarku, tempat kue nastarku berada. Eh, tapi setelah dipikir-pikir, harusnya Mas Adam dong yang bawain makanan dari luar, bawa oleh-oleh entah apa kek gitu. Kan abis syuting dari Bali. Ih, pelit. Begitu aku memberikan kue nastarku kepada Mas Adam, ia langsung melahapnya dengan tergesa. Kayak nggak pernah makan kue aja. "Harusnya, Mas Adam sih yang bawa oleh-oleh." "Kamu pikir aku ke Bali liburan? Aku juga kerja kali." "Sewot banget sih. Ya udah deh." Aku pun ikut sewot. Lantas menghempaskan punggungku ke sandaran sofa, melipat tangan di depan d**a. "Ambil sana!" Perintah Mas Adam seketika membuatku bingung. Ambil apaan? "Mau oleh-oleh, kan? Nyoh di koper nyoh." Ia menunjuk sebuah koper yang tadi ikut dia bawa pulang. Seketika tanpa sadar senyumku terbit, kemudian beranjak menuju koper Mas Adam. Aku membuka koper Mas Adam dan mengutak-atik isinya. Ada sebuah paper bag warna cokelat yang kuduga itu adalah oleh-oleh yang dia maksud. "Yang ini, Mas?" tanyaku seraya mengangkat sebuah paper bag cokelat temuanku. Mas Adam mengangguk sembari terus mengunyah kue nastarku yang nyaris abis. Yaaaah, bagianku buat ngemil nanti nggak ada dong. Jahat banget sih Mas Adam! Tapi ya udah deh, kali aja ini ada makanan juga. Benar saja, ketika kubuka ada beberapa jajanan khas bali, salah satunya pie s**u. Suka nih. Ada bungkusan lain juga. Aku membukanya, tampaklah sebuah kain bermotif yang kupastikan batik khas bali. Aku melebarkan kain itu dengan penuh kesenangan. Namun, kesenanganku tak bertahan lama karena kain itu ternyata sebuah daster. "Ih, kok daster sih, Mas?"  Pekikanku seketika membuat Mas Adam kaget dan menoleh langsung ke arahku. "Bagus kainnya, batik bali." Kini Mas Adam ketawa kencang begitu melihatku yang cemberut. Ia tahu banget kalau aku nggak pernah pakai daster, bahkan di rumah. Sekarang malah dihadiahi begini. Jahat! Bersambung…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN