4. Ke Rumah Mertua

1003 Kata
"Mas Adam?" panggilku pada Mas Adam yang lagi asik gaming pakai handphonenya. Palingan juga mobile legend. Atau PUBG atau apa lah itu. "Hm?" sahut Mas Adam "Mamih bilang, mumpung Mas Adam lagi nggak ada kerjaan, kita disuruh datang ke rumah." Rumah yang kumaksud adalah rumah mertuaku. Semalam Mamih alias mama mertuaku bilang kalau dia pengen aku dan Mas Adam ke sana. Kangen, katanya. "Mau ngapain?" Aku hanya mengedikkan bahu. Lagipula, masa malah nanya mau ngapain ke rumah orang tua sendiri? Kita mah bebas aja mau ngapain ke sana. "Sekarang?" Aku nyaris saja memutar bola mataku di hadapan Mas Adam. Banyak tanya banget sih. "Iya, sekarang. Mamih bilang, mesti nginep. Lagian kita udah lama nggak ke sana, Mas." "Oke. Siapin baju." Mas Adam lantas beranjak dari tidur-tidurannya di sofa sejak tadi. "Mas Adam mau ke mana?" "Mandi. Mau ikut?" "Iiih, nggak!" Mas Adam ketawa kencang, hingga ia menghilang di balik pintu kamarnya. Usia pernikahanku dan Mas Adam sudah tujuh bulan. Sebetulnya, sebelum menikah, aku dan Mas Adam sudah saling kenal walaupun tidak terlalu akrab. Itu karena Mamihnya Mas Adam sahabatnya Bunda aku. Pernikahan kami pun didasari perjodohan. Awalnya, Mas Adam menolak karena dia bilang dia pengen fokus ke karir. Nggak mau nikah dulu, padahal dia sudah dua puluh sembilan waktu itu (sekarang tiga puluh). Udah cocok banget nikah. Tapi mamihnya Mas Adam bersikukuh pengen menikahkan aku dan Mas Adam. Akhirnya Mas Adam pun setuju dengan syarat, pernikahan kami dilakukan secara rahasia. Memang tercatat secara agama dan hukum. Hanya saja, dilakukan diam-diam dan resepsi di antara keluarga saja. Sehingga pernikahan kami tidak diketahui publik. Bisa dibilang, di mata publik, Mas Adam dan aku itu itu masih single. Padahal sudah punya surat nikah. *** Aku melihat sekitarku yang tampaknya sepi. Kemudian berjalan mengendap-endap menuju salah satu mobil di parkiran. Aku mengenakan pakaian ala ninja kayak Mas Adam waktu yang tak sengaja kupukuli pakai tas. Kemudian dengan cepat, kubuka pintu mobil Mas Adam. "Lama banget sih." Mas Adam menggerutu begitu aku duduk di samping kemudi. Tanpa menunggu sebentar, Mas Adam langsung melajukan mobilnya. "Gini ya rasanya jadi artis, Mas. Deg-degan tanpa sebab, takut ada paparazi." Mas Adam hanya berdeham. Ia fokus menyetir. Tak sampai satu jam, akhirnya kami sampai di rumah mertuaku. Kami disambut dengan sangat gembira oleh Mamih. Ia langsung memelukku dan cipika cipiki. "Duh, kangen banget!" Mamih mengajakku ke ruang keluarga, begitu pun Mas Adam yang menyusul dari belakang. Kami mengobrol layaknya teman sepergosipan. Mamih suka banget cerita, apalagi kalau sama aku. Makanya kami dekat banget, apalagi Mamih nggak punya anak perempuan. Dua anaknya laki-laki semua. Anak pertama, Mas Arjuna, dan yang kedua sudah pasti Mas Adam. "Kok kamu makin kurusan ya, Mel?" tanya Mamih seraya memandangiku dan Mas Adam bergantian. Aku pun tersenyum kikuk. "Lagi diet aja, Mih." "Ngapain diet sih? Artis bukan, model juga bukan." Malah Mas Adam yang menanggapi perkataanku. Tuh kan, jiwa julidnya mulai keluar. "Mamih kirain nggak dikasih nafkah sama Adam." "Mamih kok mikirnya gitu sih," kata Mas Adam agak kesal akan tuduhan mamihnya. "Lagian mana mungkin sih, aktor dengan bayaran tertinggi nggak bisa kasih nafkah." "Siapa tahu, kan?" "Mamih tanya aja tuh sama Amel, tiap bulan aku kasih tuh. Lagian kalo nggak Adam kasih, masih bisa tuh Amel nafkahin diri sendiri. Kan kerja dia." "Bener, Mih. Mas Adam selalu kok kasih nafkah ke Amel. Tapi emang Amel aja yang suka hemat." "Tuh, Amel yang bilang sendiri," kata Mas Adam merasa menang karena mendapat pembelaan dariku. "Lagian kamu sih, Mel. Jangan kek orang susah gitu lah, pake hemat-hemit segala. Belanja entah apa kek biar bahagia." Aku mendelik saat Mas Adam bilang begitu. Pasalnya, aku tuh nggak terbiasa shopping mewah-mewah ala artis gitu. "Udah, udah. Gitu aja langsung berisik." Mamih akhirnya menengahi, padahal Mamih sendiri yang duluan mempermasalahkan soal nafkah. "Gimana, Mel? Udah isi, belom?" Pertanyaan Mamih seketika membuatku bingung. Aku sekilas melirik Mas Adam yang kini tersenyum miring dan asik nengokin ponselnya. Pura-pura sibuk tuh keknya. "Eum, belum, Mih," jawabku canggung, seraya menggaruk jidatku. Gimana mau isi, kalau aku sama Mas Adam saja belum pernah begituan. Jangankan begituan, kami saja tidurnya terpisah. Mas Adam bilang, sayang banget apartemen punya dua kamar kalau satunya nggak dipake. Dia bilang juga, kalau satu kamar dikosongin, nanti yang nempatin jadi makhluk halus. Itu mah akal-akalan Mas Adam aja, aku tahu kok. "Mamih nanya itu terus tiap aku sama Amelia ke sini. Bosan banget." Mama spontan memutar tubuhnya agar bisa menoleh pada Mas Adam. "Kalian nikahnya udah lebih setengah tahun loh, wajar sih nanya begitu. Lagian Mamih pengen liat cucu dari kamu sama Amel." "Ya sabar aja," kata Mas Adam santai. "Sabar sampe kapan?" Mas Adam tampak menggaruk kepalanya, bingung menghadapi omelan sang Mamih. Sedangkan aku meringis dalam hati dan hanya bisa diam melihat keributan kecil mereka. "Lagian aku sama Amelia nikahnya rahasia, nggak ada yang tahu. Bakalan aneh kalau tiba-tiba Amelia hamil. Apa kata orang nanti?" "Ini nih ... makanya dari dulu Mamih bilang pernikahan kalian nggak usah dirahasiakan. Jadi susah gini, kan?" Mas Adam pun diam. Entah dia membenarkan perkataan Mama mertuaku, atau karena bingung mau jawab apa lagi. Nanti makin dijawab, makin diomelin. "Kalau pernikahan kalian dirahasiakan terus, yang ada kalian gini-gini terus. Nggak akan punya anak." Mamih masih melanjutkan omelannya. Ia menghembuskan napas beratnya, lantas menoleh kepadaku dan seketika membuatku menunduk takut. "Dulu juga Adam bilang nggak usah nikah, jadi gini kan?" "Masih ngejawab kamu?" Tuh kan, salah lagi Mas Adam. Aku antara ingin ketawa atau mau mengasihani. Mas Adam akhirnya diam, nggak berani lagi menjawab ucapan Mamih meskipun Mamih terus melanjutkan omelannya. Akhirnya percakapan kami berhenti ketika aku dan Mas Adam ijin ke kamar Mas Adam, lebih tepatnya kamar kami untuk nginep. "Udah, nggak usah dipikirin lagi omongan Mamih, Mas. Nanti juga reda sendiri." Mas Adam hanya mengangguk ketika aku berkata seperti itu. Ia memilih untuk berbaring dengan matanya ia tutupi dengan lengan. Sementara aku, bingung harus apa. Kenapa pula aku mau mengikuti perjodohan ini kalau begini jadinya. Hubungan pernikahan kami masih jalan di tempat. Ah, sudahlah, biar saja begini dulu. Ikuti alur ke mana membawa pernikahan kami. Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN