Aku mengeluarkan hasil panggangan terakhir kue nastarku dari oven, dan tersenyum puas melihat hasilnya yang nggak pernah mengecewakan. Hehe.
"Wangi apaan nih? Jadi laper."
Tiba-tiba kedatangan Mas Adam mengagetkanku. Ia tampaknya baru bangun dan belum mencuci muka. Bisa gitu ya, orang penampilannya masih acak-acakan gitu sehabis bangun tidur, tapi masih kelihatan ganteng.
"Mas mau?" tanyaku seraya menunjukkan kue nastarku, dan memindahnya ke dalam toples.
"Ya mau lah, kenapa nggak?" katanya seraya hendak mencomot satu biji.
"Awas panas!"
Benar saja, Mas Adam tampak kepanasan begitu mengambil satu biji. Ia memindah-mindahkan kue itu di tangannya, dan mengembusnya agar cepat dingin. Setelah itu, barulah Mas Adam memakan kue buatanku itu.
"Kamu nggak berniat bikin toko kue aja gitu?" Mas Adam bertanya seraya mengunyah-ngunyah.
Pertanyaannya jelas saja membuatku berpikir sejenak. Dulu juga aku kepengen bikin toko kue, tapi kepentok biaya.
"Nggak deh, Mas. Terus kerjaan aku nanti gimana, dong?"
"Tinggal resign," katanya enteng. "Kalau kamu mikirin modal, biar nanti aku yang modalin. Sayang banget, kalau kamu punya bakat kek gini tapi cuma kamu sendiri yang nikmati."
Seketika saja harapan muncul begitu Mas Adam bilang mau modalin aku bikin toko kue. Yes!
"Emang kue nastarnya Amel enak ya, Mas?"
Mas Adam mengangguk. Ia mencomot sebiji lagi.
"Lumayan."
Dih. Jawabannya begitu amat, pelit banget mau muji. Bilang kek, enak banget. Ini cuma 'lumayan'.
"Ya udah deh, Amel pergi dulu."
Aku memasukkan toples berisi kue nastarku ke dalam tas. Kemudian beranjak dari bar dapur.
"Mau ke mana kamu?" tanya Mas Adam.
Aku seketika berhenti dan menoleh ke arahnya, "Ya kerja lah, Mas." Kemudian menunjuk penampilanku sendiri, yang sudah berpakaian rapi ala kantoran. Duh, Mas Adam kebanyakan syuting sampe istri sendiri lupa kerja apa nggak.
"Kok kue nastarnya kamu bawa semua? Sisain dikit dong sini."
"Kan udah ada aku sisain di situ, Mas," kataku seraya berjalan ke arahnya kembali. Kulirik kue nastar sisa memang sedikit lagi, nggak sampe sepuluh biji.
"Kurang nih."
"Ya elah, katanya cuma lumayan, harusnya nggak perlu nagih banyak-banyak sih, Mas."
"Pelit kamu ya sama suami."
Entah kenapa tiap kali Mas Adam menyebut dirinya sendiri sebagai suami, membuat jantungku seketika berdegup kencang. Entahlah. Setidaknya Mas Adam mengakui status kami meskipun pernikahan kami ini rahasia. Kadang-kadang aku merasa kami justru seperti hubungan kakak-adek zone, karena komunikasi kami biasa saja. Tak pernah lebih intim seperti layaknya suami istri.
"Malah ngelamun! Woy!" Mas Adam menjentikkan jarinya ke depan wajahku, membuatku seketika terkesiap. "Tambahin dong kuenya. Lagian emang sanggup ngabisin itu sendirian satu toples?"
Aku berdeham pelan kemudian menjawab, "bagi-bagi sama temen sekantor, Mas." Aku mengurangi sedikit kue nastar di toplesku dan memindahkannya kepada Mas Adam. "Ya udah, Amel pergi ya, Mas."
"Hati-hati. Awas nabrak ayam."
Aku terkekeh mendengar candaan Mas Adam.
***
"Lho, Amelia?"
Aku yang tadinya sibuk melihat-lihat isi tasku karena takut ada yang ketinggalan, lantas mendongak ketika kudengar suara bariton menyapaku.
"Eh, Mas Deva?"
Ternyata orang yang menyapaku adalah Mas Deva. Ia baru saja memasuki lift yang sama denganku. Dan kebetulan hanya ada kami berdua di sini.
"Kok bisa ya ketemu lagi? Beneran jodoh nih, jangan-jangan," katanya.
Aku hanya terkekeh mendengar ucapan Mas Deva yang kuduga pasti hanya sekedar candaan. Sebetulnya, dulu semasa kuliah, aku sempat naksir Mas Deva. Hanya sekedar kagum saja, karena Mas Deva itu asik orangnya dan perhatian. Justru aku nggak pernah berharap sama Mas Deva, karena tampaknya Mas Deva itu lebih cocok sama Teh Uchi. Mereka tuh gemesin. Coba kalo mereka punya fanbase shipper, aku daftar deh jadi anggotanya.
"Kamu kerjanya di mana, Mel?"
"Di Erlangga, Mas."
"Deket juga, ya. Naik apa ke sana?"
"Naik motor sendiri. Kenapa? Mau nganterin, Mas? Duh, nggak usah, Mas."
"Siapa pula yang mau nganterin. Geer kamu!"
Kami terkekeh bersamaan, mendengar candaan kami sendiri.
Ah, seandainya boleh selingkuh. Mas Deva jadi orang pertama kandidat selingkuhanku.
Eh, jangan ding. Nggak. Nggak boleh selingkuh. Baru aja kemarin julidin seorang pelakor yang baru-baru ini viral, masa aku malah buka lowongan buat pebinor. No. No. Jangan sampe aku begitu juga.
Eh, tapi … gimana sih rasanya selingkuh?
***
"Lo beneran bikin ini kue apa beli ya, Mel?"
Aku langsung memelototi Cindy yang bertanya seperti itu. "Ya bikin sendiri lah. Menurut ngana?"
"Kirain. Abisnya enak banget kek di toko-toko itu," katanya lagi seraya terkekeh, sambil terus mengunyah kue nastar buatanku.
"Bener. Lo kalo bikin bisnis kue, kayaknya bakalan laris manis dah." Kini gantian Dinda yang berbicara.
Aku pun hanya manggut-manggut. Baru aja tadi pagi Mas Adam mengusulkan hal yang sama, sekarang temen sekantor juga bilang begitu. Hm. Boleh juga sih kayaknya kalau aku bikin bisnis kue.
"Eh, eh … kalian udah tahu nggak, ada penyanyi religi yang jadi pelakor?" Tiba-tiba saja Arini bertanya, mengundang bahan pergosipan untuk dibahas.
"Tauuu. Nanas Saraswati, kan? Ih, nggak nyangka dia bisa segitunya. Tega banget!" Dinda ikut nimbrung dengan wajahnya yang berapi-api, lantaran ikut kesal dengan berita panas baru-baru ini.
Siapa sih yang nggak tahu berita menghebohkan itu? Bahkan berita tentang pelakor itu selalu masuk trending di twitter dan youtube.
"Sama ih. Nggak nyangka dia bisa setega itu," sambung Arini lagi.
"Bukan cuma Nanas yang tegaan, lakiknya tuh yang nggak tahu diri. Udah punya istri cantik, masiiiih aja mau ngambil dua," ujar Dinda.
"Si lakik udah bikin video klarifikasi, katanya dia khilaf. Dih. Apaan khilaf sampe dua tahun?" Aku sendiripun ikut berkomentar. Kurang asik kalo nggak ikutan nimbrung.
"Padahal si Bagus biasa aja tuh mukanya, nggak ganteng juga," kata Cindy.
"Menurut gue sih, Nanas ini orangnya gampang baperan. Nah, karena si Bagus nih orangnya mungkin orangnya perhatian banget, terus Nanas jadi kebawa perasaan gitu. Mungkin loh ini, mungkin." Aku mengutarakan pendapatku.
"Halah. Si Nanas juga kecentilan itu. Lo liat aja video-video centilnya dia. Gak mau nggak suka gelaaaaayyy."
Kami berempat sontak ketawa bersamaan mendengar Cindy menirukan suara Nanas yang kedengarannya mirip banget.
"Gelaaaay~" Dinda ikut menirukan kamus baru itu, dengan ekspresi menjengkelkan.
"Gelay tuh artinya apaan coba?" tanya Arini.
"Geli sih keknya." Aku menanggapi pertanyaan Arini.
"Gitu tuh. Kalo bahasa indonesia di-inggris-inggriskan. Jatohnya alay."
Kami lagi-lagi tertawa mendengar ucapan Cindy. Benar-benar heran sama orang yang suka selingkuh. Mungkin awalnya cuma coba-coba, eh malah keterusan. Dih. Amit-amit dah tadi sempat mikirin gimana enaknya selingkuh.
Bersambung….