Siapa Zahra?

815 Kata
"Anak itu! Nggak ada bosan-bosannya keluar masuk rumah sakit." Mas Andre menggerutu saat menjalankan mobilnya menuju rumah sakit tempat di mana adiknya dirawat. Isak tangis mamanya yang duduk di jok belakang tak membuat suamiku bersimpati barang sedikit pun. Sesering itu kah Gerald keluar masuk rumah sakit? Sampai di rumah sakit, kami langsung menuju IGD tempat Gerald mendapatkan penanganan pasca mengalami kecelakaan. "Anak nakal! Sudah berapa kali gue bilang sama elu! Jauhi balap liar! Udah bosen idup lu?" Melihat Gerald yang terbaring dengan penuh luka di atas brankar IGD tak memantik rasa iba di hati Mas Andre. Mata elangnya menatap sang adik dengan sorot mata tajam dan tanpa belas kasihan. Gerald terdiam. Mulutnya terkunci rapat mendapat makian lelaki 29 tahun ini. Mungkin, memang sudah sesering itu adik iparku berulah sehingga apa yang menimpanya sekarang justru membuatnya terlihat bersalah. "Rald, kamu gak pa-pa, kan, Nak? Bagian mana yang sakit?" Raut penuh kekhawatiran tak juga lepas dari wajah cantik wanita paruh baya yang baru dua hari ini resmi menjadi mertuaku. "Nggak apa-apa, Ma. Cuma lecet-lecet aja," balas Gerald yang tangan dan kakinya dibalut perban. Mas Andre menghela napas lantas berdecak sebal entah untuk alasan apa. "Ya udah, Ma, Andre mau ngurus ke bagian admin dulu. Katanya anak ini harus nginep di rumah sakit seenggaknya untuk malam ini." Mama mertua mengangguk. Sementara Gerald—adik iparku yang usianya setahun di atasku hanya tertunduk kaku mendengar penuturan sang kakak. Sebagai istri, rasanya lebih baik jika aku mendampingi kemana pun suamiku pergi. Termasuk ke bagian administrasi. "Mas Andre …." Sesosok wanita cantik berjilbab lebar menyebut nama suamiku dengan ekspresi terkejut yang susah kudefinisikan artinya, kala tatapannya beradu dengan Mas Andre yang tengah mengurus administrasi perawatan Gerald. "Zahra?" Mas Andre menoleh, mukanya tampak menunjukkan perubahan ketika mengucap nama gadis itu. Aku yang berdiri di samping suamiku hanya mampu menjadi pemerhati saat ini. Tampak wajah wanita berjilbab lebar ini berbinar saat Mas Andre menyebut namanya. Ada hubungan apa diantara mereka sebelumnya? Kenapa feeling-ku mengatakan ada sesuatu yang spesial, ya? Apa mereka pernah menjalin hubungan asmara sebelum ini? Ah, yang benar saja! Bukankah suamiku itu seorang badboy sebelumnya? Masa iya wanita sealim ini pernah menjadi kekasihnya? Batinku masih bertanya-tanya memprotes asumsi yang tertanam di pikiranku sendiri. "Suamimu apa kabar?" Tak lama berselang, setelah menyelesaikan urusan administrasi, Mas Andre mengalihkan pembicaraan dengan suara berat. Wajah wanita berjilbab lebar yang berdiri tak jauh dari tempatku dan Mas Andre berdiri dari loket pendaftaran rawat inap, berubah pias dalam seketika. "Dia … dia sudah meninggal, Mas." Air muka wanita yang kuketahui bernama Zahra berubah keruh. Ada duka mendalam yang tergambar dari pancaran wajahnya. Membuat hatiku ikut merasakan nyeri. "Apa?" Mas Andre menatap tak percaya pada wanita bernama Zahra yang masa lalunya bersama Mas Andre masih menjadi tanda tanya besar untukku. "I-iya, Mas, Mas Rendi meninggal karena kecelakaan." Wanita cantik bernama Zahra itu berucap sambil terbata-bata. "Turut berduka cita, ya." Mas Andre berucap tanpa memandang Zahra yang wajahnya berubah pucat setelah suamiku menanyakan tentang suaminya. Tampak Zahra mengangguk kaku. "Oh, iya, kenalin, ini Indri. Istri aku." Mas Andre mengenalkanku sebagai istri di hadapan wanita cantik yang sepertinya masih berkubang dalam suasana duka. Aku mengulas senyum tipis saat Zahra mengangsurkan tangannya padaku. "Zahra." "Indri." Aku menyalami tangan lembut wanita cantik berwajah teduh ini. "Ngomong-ngomong, siapa yang sakit? Kenapa kamu bisa ada di sini malam-malam begini?" Sepertinya Mas Andre kini tertarik membahas hal lain ketimbang membahas pasal suami Zahra yang telah tiada. "Ayah terkena serangan jantung, Mas," ungkap Zahra dengan menunjukkan wajah sendu. "Oh." Ya ampun, apa rasa simpati dalam diri suamiku telah mati? Kenapa setiap kabar duka dia tanggapi dengan ekspresi datar saja? "Ya sudah, semoga cepat sembuh." Mas Andre berucap dengan nada dingin. Lagi, Zahra mengangguk dengan kaku. Seperti ada beban berat dalam hatinya saat suamiku bersuara. Makin membuatku yakin kalau memang sebelum ini mereka punya hubungan apa-apa. "Maafin Ayah, ya, Mas." Zahra berucap dengan mata berkaca. "Ah, sudahlah. Itu cuma bagian dari masa lalu. Ya udah, duluan, ya." Lagi-lagi, suamiku berekspresi datar menanggapi ucapan Zahra yang terdengar serius. "Ayo, Sayang." Mas Andre menarik tanganku dari hadapan wanita yang kuyakini punya masa lalu bersama Mas Andre. Kenapa aku bisa begitu yakin? Kalau tidak punya hubungan apa-apa, kenapa juga Zahra harus meminta maaf atas nama ayahnya pada Mas Andre? *** Pesan masuk beruntun yang masuk ke ponsel Mas Andre pagi ini, entah kenapa membuatku tertarik untuk kepo tentang siapa pengirimnya. Sebagai istri, aku rasa perlu tahu tentang kehidupan dan pergaulannya di luaran sana. Mas Andre yang tampak kelelahan setelah menjaga sang adik di rumah sakit semalaman, membuatku leluasa untuk menguasai ponselnya. Mataku terbuka lebar saat melihat siapa pengirimnya. "Semoga pernikahanmu bahagia, ya, Mas. Aku menyesal karena dulu tidak berusaha memperjuangkan cinta kita." "Jujur, melihatmu dengan wanita lain yang kamu sebut sebagai istri, itu membuatku sakit." Dadaku bergemuruh hebat saat membaca dua pesan masuk darinya. Apa maksudnya dia berkirim pesan seperti itu pada suami orang? Apa dia sedang ingin mencari simpati?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN