Part 3

1140 Kata
 “Maafkan aku, Ronald. Aku melakukan kesalahan.” “Apa maksudmu, Nathalie?” “Dia ... dia menciumku dan aku menamparnya.” “Apa?! Dia menciummu?” geram Ronald. “Bagaimana itu bisa terjadi?” Natt hanya menggeleng-gelengkan kepala dan membekap mulut dengan telapak tangannya. Menguras kantung air matanya tumpah ke pipi. “Ronald? Ronald?” Natt memanggil. Tak ada sahutan dari seberang. Sepertinya Ronald sudah mengakhiri panggilannya beberapa saat yang lalu. Apa pria itu marah? Karena ia mengaku telah dicium oleh pria lain selain Ronald? Tubuh Natt yang sudah lemas semakin melemah. Isakan tangisannya semakin mengencang. ‘Apa Ronald akan meninggalkannya?’   ***   “Apa yang kau lakukan padanya?” sembur Ronald begitu panggilan telponnya tersambung dengan Darren. “Jadi, kau mengakui wanita itu sebagai pionmu?” Ronald diam. “Aku tak tahu siapa yang lebih bodoh di antara kalian. Dia yang dengan tololnya menuruti perintahmu atau kau yang menyuruhnya menjual tubuhnya padaku. Sepertinya sulit menentukan siapa yang paling bodoh di antara kalian.” “Berengsek kau, Darren.” “Lain kali, kirim wanita yang lebih bisa membuatku b*******h. Rasa ciumannya benar-benar hambar.” Darren memutus panggilan tersebut dan langsung melempar ponselnya ke meja. Untuk pertama kalinya ia bersikap munafik. Kelembutan bibir wanita itu terlalu sulit untuk disangkal, tapi tidak akan sesulit berbohong pada pria semacam Ronald Ercoss, kan? Seringai di sudut bibir Darren semakin tinggi. Jika ciuman wanita itu tidak semanis melebihi yang ia pikirkan, bagaimana mungkin seorang Darren membiarkan pipinya tertampar begitu saja. Tetapi, ia tetap tak bisa membiarkan tamparan itu berlalu begitu saja. Wanita itu harus membayarnya. Ketukan pintu dari luar terdengar, dan Darren menyuruh Will masuk. “Ada apa, Tuan?” “Kirim seseorang untuk mengawasinya. Sepertinya aku ingin sedikit bermain-main dengan mereka.”   ***     Natt akhirnya berhasil melewati hari ini dan keluar dari gedung Ellard Group dengan selamat. Sepanjang sisa hari setelah kejadian di ruangan bos besar, jantungnya tak berhenti berdegup dengan kencang. Menunggu detik-detik nyawanya melayang secara tiba-tiba jika Darren Ario Ellard muncul di depan bilik mejanya dan menggantung lehernya. Berkali-kali ia sudah berdiri dan ingin bergegas meninggalkan gedung ini, tapi semua niat itu tertahan saat teringat hutangnya yang menggunung pada perusahaan ini. Sejak awal, niatnya datang ke perusahaan ini adalah demi Ronald. Tanpa pernah menyangka akan memiliki hutang dengan jumlah sebesar itu yang menjerat lehernya. Apa yang akan dilakukannya sekarang? Kedoknya sudah terbongkar, tapi ia tetap tak bisa melarikan diri begitu saja. “Ronald?” Natt terkejut menemukan pria itu berdiri bersandar di mobil yang terparkir di halaman gedung. Kepalanya langsung berputar kembali ke pintu putar gedung, memastikan tidak ada siapapun -atau Darren- melihat keberadaan Ronald atau dirinya di tempat yang sama. Ronald bergegas mendekati Natt dan menarik tangan wanita itu lalu membawanya masuk ke mobil. Dan dalam sekejap, mobil melaju cepat ke arah jalanan. “Kau harus berhenti bekerja mulai besok,” geram Ronald dengan suara bergetar oleh amarah. “A-apa?” Natt terkejut. “K-kau tidak marah padaku?” Natt mengamati wajah Ronald dari samping. Garis wajah pria itu mengeras, oleh amarah yang begitu besar yang Natt tak yakin alasannya. Mengenal Ronald selama beberapa bulan terakhir, Ronald bukan tipe pria yang pecemburu. Pikiran pria itu bebas dan memberinya kebebasan yang tanpa batas untuknya. Ia bisa mempunyai teman pria sebanyak yang Natt ingin, tapi tetap dalam batasan yang Ronald maklumi. Lagipula ia tak punya teman pria yang lebih dekat dari hubungannya dengan Ronald. Jika mendadak pria itu terdengar marah karena Darren telah menciumnya, itu menunjukkan kecemburuan yang mengartikan sebagai tanda cinta. Natt tersenyum tipis. Dengan kadar cinta Ronald yang semakin meningkat. “Dia sudah tahu kau bekerja di sana atas intruksiku. Aku yakin dia tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja.” Natt tak terlalu mendengarkan kalimat Ronald. Wanita itu masih tersenyum dan tenggelam dalam pikirannya yang dipenuhi kebahagiaan sederhana. “Nathalie?!” Ronald mengayunkan tangannya di depan wajah Natt. “Apa kau mendengarku?” Natt mengerjapkan mata, tersadar dari lamunannya dan mengangguk dengan cepat meskipun ia tak sungguh mendengarkan. “Selama beberapa hari, kau tetap di rumah dan jangan keluar. Aku akan menemuimu minggu depan. Aku harus pergi ke luar kota selama beberapa hari ini.” Kali ini Natt mengangguk dengan ragu. Ia tak yakin harus melakukan perintah Ronald dengan patuh atau mengatakan pada pria itu bahwa ia tak mungkin bisa melakukan apa yang Ronald suruh. Ia belum menceritakan oada Ronald tentang hutangnya, dan ia pun tak mungkin meminta bantuan Ronald. Dua puluh menit kemudian mereka sampai di ujung gang. Mobil Ronald tak bisa masuk untuk sampai di depan rumahnya, dan untuk pertama kalinya Ronald turun. Natt mengerutkan kening, sejenak tertegun melihat Ronald menutup pintu lalu memutari mobil membukakan pintu untuknya. “Kau tidak turun?” Ronald memecah Natt yang masih tercengang menatap dirinya. Natt mengerjap, lalu melompat turun karena gugup menyadari rasa hangat yang mendadak menyebar memenuhi wajahnya.   “Aku akan mengantarmu sampai di depan rumah.” Natt menggeleng dengan keras. Kening Ronald berkerut, menyipit mengoreksi ekspresi penolakan Natt. Natt membuka dan menutup mulut sebelum menjawab dengan canggung. “Aku ... mungkin di rumahku sedang ada ayahku. Dia ... dia ... beri aku waktu untuk mengenalkan dirimu padamu.” Natt tahu ia tak akan memiliki waktu untuk itu. Ayahnya akan menyambut kedatangan Ronald dengan rakus begitu melihat mobil yang ditumpangi oleh pria itu. Dan akan membuat Natt tak sanggup mengangkat wajah di hadapan Ronald lagi. Ronald diam, mempertimbangkan jawaban Natt selama beberapa detik lalu mengangguk setuju. “Kalau begitu aku akan melihatmu dari sini.” Natt mengangguk pelan. Berjalan pergi sambil sesekali menengok ke belakang untuk melihat Ronald. Pria itu masih menunggu, melambaikan tangan setiap ia menengok dan melemparkan satu senyum. Natt membalasnya, memperlambat langkahnya untuk menikmati momen indah ini. Melupakan saat-saat menyedihkan yang beberapa jam lalu membuatnya terpuruk.   ***   Selama dua hari, Natt menuruti kata-kata Ronald untuk tidak kembali ke kantor. Beberapa kali mengabaikan panggilan telpon Roy yang menanyakan keadaannya, sampai akhirnya ia tak mampu menolak panggilan pria itu karena pesan yang dikirim oleh Roy. ‘Aku melihat sekretarsi tuan Darren menanyakanmu pada Bu Ana.’  Tak lama Natt langsung mendapat panggilan dari Bu Ana, managernya. Dan terpaksa Natt harus memalsukan tentang kecelakaan yang menimpanya. Beruntung Bu Ana memahami dan memastikannya kembali ke kantor secepat mungkin. Mungkin ia memang harus kembali ke kantor, ia masih punya beberapa hari untuk membicarakan hal ini dengan Ronald dan menjelaskan semuanya. Hari sudah menjelang malam, Natt beranjak dari kasurnya dan mulai menutup jendela-jendela di seluruh rumah yang hanya ada empat buah yang harusnya sudah ia lakukan satu jam yang lalu. Mengunci pintu belakang dan terakhir mengunci pagar dan pintu depan. Tepat ketika ia melintasi ruang tamu hendak ke dapur untuk membuat makan malam, suara pagar yang digeser membuat Natt kembali berjalan ke pintu. Ayahnya tak mungkin pulang sesore ini. Lalu suara pintu yang diketuk meyakinkan Natt bahwa itu jelas bukan ayahnya. Ayahnya selalu datang dengan gedoran yang hampir merobohkan seluruh rumah tua mereka. Natt membuka pintu, tapi kembali menutupnya dengan dorongan yang kuat melihat sosok yang berdiri di depannya. Usahanya gagal, karena sepatu pria itu terselip lebih cepat di antara pintu dan ia terhuyung ke belakang ketika pintu didorong dengan paksa dan pria itu menerobos masuk. Mimpi buruk Natt muncul lebih awal daripada seharusnya. Darren Ario Ellard. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN