Arsy - 20. Delusi

1127 Kata
Jika seorang istri menyakiti suaminya di dunia, maka calon istrinya di akhirat dari kalangan bidadari akan berkata: “Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah mencelakakanmu sebab ia hanya sementara berkumpul denganmu. Sebentar lagi ia akan berpisah dan akan kembali kepada kami. HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Di tempat lain, entah apa yang sedang suamiku dan sang Kakek lakukan. Mungkin mereka menghadapi macet? Mungkin sudah sampai TMII? Atau mungkin mereka disini mengawasi kami diam-diam? "Maafin Nenek, ya," ucap beliau tiba-tiba. Aku sedikit terkejut. Urung kualihkan mata dari mencari sosok suamiku kepada Nenek. Aku tersenyum dari balik cadar lalu lekas menggeleng. "Gak apa-apa, Nek. Mau liat binatang apa kita, Nek?" Aku mengikuti langkah beliau, beriring di sisinya sembari mengingat baik-baik pesan Kakek untuk menjauhi kandang reptil. Bagaimanapun bagiku, terlihat sekali bahwa Kakek sangat perhatian dengan Nenek, tapi Nenek sepertinya memang butuh perhatian lebih. "Rusa. Kakek sangat suka rusa." "Hm. Mungkin Kakek sebenarnya lebih ingin ke sini," timpalku menyuarakan pendapat. "Di sana juga ada mantan kekasih Nenek, biasanya bertugas." Mengejutkan. Aku mengerti. Mungkin alasan sebenarnya Kakek tak mengalah memang seperti yang bisa diduga. Nenek tersenyum menatapku. "Ah, aku memang paling cocok untuk peran jahat, ya, kan?" Aku menunduk saja. Kira-kira menyakiti hati suami bukanlah contoh istri salihah, begitu yang aku tahu. Langkah kami terus menapak sampai tiba di sana, kami lalu disambut seorang Kakek dengan seragam petugas. "Assalamualaikum, kekasihku." "Waalaikumsalam." Sambutan hangat darinya. "Apa kabar? Mana suamimu?" "Alhamdulillah. Oh, aku hanya berdua dengan cucuku. Biasa, suamiku itu, dia masih sering cemburu." "Maa sya Allah. Sepertinya kalian memang berjodoh, cocok sekali." Aku hanya menjadi pendengar dan pendamping sementara melihat rusa-rusa. Di sisiku mereka berbincang akrab, seolah melupakan aku yang masih setia di sini. "Hm, mana yang kupesan?" tanya Nenek kemudian. Kali ini aku melihat mereka bertransaksi. Hanya sebuah kotak kecil dan amplop. Nenek menerima kotak itu dengan mata berbinar. Aku tidak ingin curiga tapi rasanya sangat membingungkan. Apa pemandangan ini yang biasa orang sebut sebagai perselingkuhan? "Terima kasih." Kakek itu menggeleng. "Kalian berdua sahabatku." "Apa kalian sering berhubungan di belakangku?" Si kakek tersenyum sebelum menjawab. "Kamu tahu, kami para lelaki punya cara berbeda menyimpan rahasia." Nenek menatap kotak itu sesaat. "Ah, jadi ini bukan sebuah kejutan lagi." Mendengar nada kecewa itu sang petugas kebun binatang tertawa. "Sudah kubilang, lelaki punya cara berbeda menyimpan rahasia." "Aku nggak yakin," tolak Nenek kukuh. "Kuharap bisa bertemu dengannya juga." "Hm, kami akan ke Bali besok atau lusa. Nanti akan kusampaikan salammu untuknya. Sekali lagi, terima kasih ya." "Wah, kalian masih seromantis dulu, ya. Apa dia saat ini sedang di TMII? Mencari surat aneh darimu?" Kakek petugas itu menyelidik. Kulihat Nenek merona. Pikiranku sesaat melayang pada sosok Daffa. Seolah punya ikatan batin tiba-tiba ponselku berbunyi, dan benar ada pesan dari suamiku. "Nah, itu isyarat kamu harus pulang," Kakek penjaga kebun binatang itu tersenyum lagi. Nenek mengalihkan perhatian padaku. "Balas..." Aku hanya mengetik, tapi Nenek kemudian merebut ponselku, dan mengetikkan sendiri beberapa kata lalu menyerahkan kepadaku. Aku ragu. "Nek..." "Kirim saja begitu!" perintahnya. Kemudian fokus beliau kembali pada petugas. Aku menatap beliau intens. Pesan ini akan diterima suamiku dan kalimat yang terbaca menurutku sedikit kasar. Ini mungkin akan menjauhkan kami lagi atau menghasilkan kesalahpahaman baru. "Nek..." Nenek tampak kesal, lalu Kakek itu tersenyum padaku. "Turuti saja, Cu. Kakekmu akan mengerti." Dan meski ragu aku mengirimkan itu segera. "Sudah, Nek." "Kami pergi ya, mungkin besok setelah dari Bali dia akan kemari untuk menemuimu," ucap Nenek pamit. "Hati-hati di jalan." "Assalamu’alaikum." "Wa’alaikumsalam." Kami menjauh dan beristirahat di salah satu bangku yang dekat dengan pohon besar, berusaha sedikit mengurangi silau teriknya matahari. Puasa memang khasnya cuaca panas. "Arsy mungkin bertanya-tanya, kenapa Nenek nggak mau ikut Kakek. Bukankah Kakek suami Nenek yang harus dituruti?" Aku menunduk malu. "Maaf, Nek." "Arsy, kudengar kalian menikah dalam waktu singkat. Itu bukan masalah besar. Daffa memilihmu karena agamamu, Nak. Nenek yakin kamu nggak akan salah menafsirkan arti dari firman Allah dalam surah Ar- Ruum :21." ‘Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. "Insyaallah, Nek." "Arsy, kita diciptakan lengkap dengan mulut untuk berbicara dan suamimu juga memiliki telinga, kamu bisa mengatakan keinginanmu dan dia akan mengerti. Masalah itu perlu diselesaikan bukan diam dan dibiarkan." "Arsy hanya berharap dia meluangkan banyak waktu untuk kami mengenal dulu, Nek." Nenek mengangguk lamat-lamat, seperti orang mengantuk. "Nenek sudah melewatinya. Kalian tidur bersama, nggak ada yang lebih saling mengenal kecuali dengan kegiatan itu. Kalian saling melepas malu dan saling menutupi aib, seperti itulah seharusnya pernikahan, suami-istri." Rasanya pembahasan ini terlalu v****r, tapi yang beliau katakan ada benarnya. "Iya, Nek." "Menjadi istri seorang pengusaha apalagi pemilik perusahaan besar memang nggaklah mudah. Namun kamu perlu menimbang keadaan. Daffa, suamimu itu pewaris tunggal. Jadikan menunggu itu seninya. Terkadang, kita harus mengalah dengan pekerjaan mereka. Sibukkanlah diri dengan amalan lain. Nenek yakin kamu ingin sekali rumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah." "Itu tujuan Arsy menikah, Nek." Nenek menepuk pelan tanganku yang tertutup manset. "Yang harus kamu lakukan hanya, harus mendukungnya. Begitulah kita diberi contoh oleh wanita-wanita pewaris surga, seperti Khadijah yang selalu mendukung Rasulullah, seperti Fatimah yang tak pernah mengeluh, dan seperti Aisyah yang selalu menunggu pulangnya Rasulullah berdakwah. Nenek yakin, Arsy mampu. Katakanlah apa pun yang Arsy rasakan. Dan buat suamimu tenang, bahwa istri salihahnya senantiasa mendoakan, mendukung, dan menunggu dirinya yang sedang berjuang." Aku tersentak. Sungguh dangkal pemikiran dan ilmu yang kumiliki sebagai bekal seorang istri. "Subhanallah. Apa Arsy mampu, Nek?" "Semua permasalahan selalu ada jalan keluarnya. Kalian pasangan baru dan sekarang bulan karomah. Jangan sampai ibadah pahala puasa berkurang karena masalah dengan suami." "Innalillahi," ucapku lirih. Kini kurasakan air mulai membuat kabur penglihatan mataku. "Aku akan minta maaf padanya, Nek." Nenek memelukku. "Kamu memang harus melakukannya. Dia suamimu. Jangan pernah menolak ajakannya, kalau nggak mau malaikat mengutukmu hingga pagi." Aku mengangguk. Kupikir beliau ini hanya seorang paruh senja yang keras kepala dan semena-mena kepada suami. Tapi ternyata prasangkaku begitu jauh berbeda. "Terima kasih, Nek." "Selalu ada cara." Beliau tersenyum lembut. "Keluarga adalah mereka yang saling membantu permasalah. Bukan dengan cara menyalahkan atau pun menggurui tapi dengan menasehati. Arsy cucu Nenek dan keluarga Nenek. Semoga rumah tangga kalian bermuara hingga Jannah-Nya." "Aamiin." Aku menghapus berapa tetes air mata yang jatuh tanpa permisi. Beliau tersenyum tua tapi lega. "Kami akan ke Bali. Kalian mau ikut?" Aku bingung. "Daffa akan menjalankan perusahaan, Nek. Dia sudah mengiyakan tanpa mau meminta pendapat Arsy lebih dulu." Nenek memamerkan ekspresi yang mrnurutku jahat, "Kamu tidak mau memutuskan ini tanpa meminta pendapatnya?" Entah mengapa ini terasa seperti sebuah godaan untuk membangkang. Padahal, beliau baru saja menasehatiku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN