Arsy - 21. Kamar

1259 Kata
Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa karena ia telah menyia-nyiakan orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim. Awalnya kukira Kakek dan Nenek melibatkan kami dalam masalah mereka. Kenyataannya, mereka sengaja masuk untuk memberi sedikit nasehat kepada kami berdua dengan cara berpisah tadi. Untukku sendiri nasehat dari Nenek sungguh mengena. "Mana yang akan kamu pilih. Berbulan madu di Bali, seminggu bersama kami atau menuruti janji suamimu?" tanya Nenek kembali menunggu jawabanku. "Arsy ingin jadi istri salihah, Nek," jawabku yakin, tapi sedikit bimbang juga. Benar itu tujuanku, tapi rasanya masih belum rela dengan keputusan sepihak yang Daffa cetuskan tanpa persetujuanku sebelumnya. "Kalau kalian pergi seminggu bersama kami, seminggu kemudian saat kembali kamu akan kehilangannya selama dua minggu. Sepertiku dulu. Tapi kalau kamu mau bersabar di siang hari tanpanya, malam hari kalian bisa menghabiskan waktu berdua," jelas Nenek baik hati. Mataku mungkin saja berbinar. Tak terpikirkan sebelumnya olehku. Benar. Ayah - Bunda pergi. Nenek - Kakek juga pergi. Rumah hanya akan ditinggali aku dan Daffa, apa bedanya tempat kami berada kalau yang kuinginkan hanya sosoknya. "Aku lebih suka melihatnya setiap hari, Nek. Memandang suami itu berpahala," balasku malu. "Ehm..." Sebuah suara muncul dari arah belakang kami. Ada dua orang yang datang, Kakek dan suamiku dengan wajah meronanya itu di sini, bersama kami. "Jadi enak Aa kalo dipandang Arsy kayak gitu," katanya. Aku berbalik lagi dan memunggunginya karena malu. Nenek menepuk pundakku sambil tersenyum usil, "Kan, kamu bilang berpahala?" Kudengar mereka bertiga menertawaiku. Entah sejak kapan Daffa dan Kakek bersama kami, yang pasti aku sama sekali tidak menyangka mereka akan menyusul. Beginilah harusnya keluarga, seperti kata Nenek, selalu menyelesaikan masalah dengan berbicara, bukan dengan menggurui. Aku yakin Kakek juga sudah memberikan nasehat terbaiknya pada Daffa. "Sejak kapan Aa dan Kakek di sini?" tanyaku kecil sambil menunduk. Daffa kini menekuk kaki dan menatapku, "Hm, baru saja." "Aa dengar?" tanyaku memastikan. Tangannya terangkat menangkup wajahku dan membimbingku untuk menatapnya. Kulihat mata hitamnya tersenyum dan kepalanya pun mengangguk. Makin terasa panas wajahku oleh perasaan malu. "Aa juga, pengen sama-sama terus sama Arsy." Rasaku melambung. Kuyakin surah Ar-Ruum : 21 sudah jelaskan degup gugup yang kini kualami. Kuyakin aku jatuh cinta. "Ehm!" Kakek berdeham. "Aku mau bertemu sahabatku dulu. Maksudku, selingkuhan istriku." "Aku akan jadi penonton pertengkaran kalian yang memperebutkan aku," kata Nenek dengan wajah tersenyum berdiri, lalu mengejar Kakek yang sepertinya sengaja memelankan langkah. "Terima kasih, Kek, Nek," kata Daffa kepada kedua sosok pengertian tersebut. "Pulang nanti kami tunggu di sini." Nenek mengancungkan jempol ke udara. Mereka pergi dengan tangan Nenek melingkar di lengan Kakek. "Kamu membaca suratku?" suara Nenek masih terdengar. "Ya." "Kamu nggak peluk aku?" "Kita belum pulang, ini tempat umum." "Oh. Oke. Liburan ke Bali besok," Nenek terdengar merajuk. "Bukannya lusa?" Jeda singkat. "Oh. Oke." Kulihat senyum geli terukir di wajah suamiku. "Mereka sangat serasi." "Keduanya memang sangat luar biasa. Mereka pasangan yang saling mengerti dan menerima. Sangat berbeda dengan Ayah yang lebih setia dan Bunda yang selalu sabar menerima." Aku teringat Umi Abi. "Semua sesuai kebutuhan. Allah pasangkan untuk saling melengkapi." "Pernikahan seperti apa yang akan kita miliki?" tanya Daffa sambil mengulurkan tangan, mengajakku bangkit. Kugapai jemari kuatnya. "Seperti pernikahan pada umumnya, tapi bertahan hingga tua dan kekal.” Daffa mengangguk. "Kita berkeliling, mau?" "Boleh." "Aa minta maaf, ya. Aa hanya nggak mau mengecewakan Ayah dan Bunda. Selama ini mereka berdua kurang banyak menghabiskan waktu bersama. Bunda seringkali kesepian. Mungkin ini kesempatan mereka." "Maafin Arsy juga, Aa." "Aa sudah berjanji sama Ayah. Tapi Aa akan pulang lebih awal, jam tiga sore selama bulan puasa." "Iya Aa, Arsy akan mendukung Aa." "Terima kasih, sayang." Marah, malu, takut, khawatir, bingung, ragu dan gelisah. Semuanya itu sirna seketika saat tangannya bersentuhan dengan kulitku. Rasanya memang tentram, dan membicarakan ini secara terbuka melapangkan beban yang semulanya berat. Sekarang, kami melihat berbagai binatang. Daffa dengan pengetahuannya menjelaskan beberapa ilmu baru tentang hewan kepadaku. Juga ia mulai bercerita tentang karir entertaiment-nya. "Aa suka bekerja seperti itu?" "Ya, itu hobi Aa." Aku teringat pertemuan pertama kami di Perpustakaan. "Ada hobi yang lain?" Daffa tampak berpikir. "Melakukan sesuatu yang menyenangkan, mungkin." "Ish, pasti hal menyenangkan, Aa. Nama kegiatannya yang Arsy tanya," jelasku gemas. Dia tersenyum seperti biasa. "Aa punya hobi baru, godain kamu." "Ih...." "Nggak mau digoda Aa? Berpahala loh." Aku menunduk, "Tapi jangan sering-sering, Aa. Arsy masih belum terbiasa." Dia tiba-tiba mencubit pipiku, "Makanya Aa biasain dari sekarang. Enak ya, nikah sama kamu." Aduh. Ini mungkin yang disebut sanjungan. "Kata-kata Aa v****r. Puasa, Aa." Daffa tertawa, "Kamu ngegemesin banget." Terserahlah. Istri salihah itu adalah... jika kamu memandangnya menyejukan hati, jika kamu memerintahnya dia menururti dan... aku lupa, mungkin aku perlu membacanya lagi hadis satu ini. "Arsy mau nggak kalo Aa ajak ngabuburit keliling selama Ramadhan?" Aku menatapnya heran. "Maksudnya, Aa?" Dia melepas tanganku, mungkin dia ingin menjelaskannya secara gamblang, lengkap dengan gestur tubuh seperti ketika dia melamarku dulu. "Maksud Aa gini. Kalo siang, kan, Aa bakalan di kantor. Gimana kalo sorenya kita jalan-jalan dan buka di masjid yang kebetulan kita temui?" "Tarawihnya?" Daffa menggaruk kepala, "Sepertinya nggak bisa, ya. Padahal Aa pikir itu bakalan romantis." Aku tersenyum melihat usahanya itu. "Jadi mau romantis-romantisan sama Arsy?" Daffa bergerak kikuk. "Arsy, jangan godain Aa kayak gini. Lagi serius tahu." Aku berdeham dan mengajukan saran serius. "Bagaimana kalau kita buka puasanya tetap di rumah. Setelah itu kita jalan-jalan?" "Tarawihnya?" Aku sedikit geregetan. "Arsy belum selesai ngomong Aa, dengerin dulu ya." "Oh, oke. Maaf, sayang." "Kita jalan-jalan, cari masjid dan tarawih di sana. Pulangnya kita bisa cari makan." "Ide bagus!" Daffa memotong pembicaraanku lagi. "Oh, maaf. Lanjutkan, sayang." "Arsy berharapnya kita akan mencoba masjid lain juga, tiap malam dengan masjid berbeda. Tapi mungkin ini akan melelahkan buat Aa. Ini sekedar saran Arsy sih." Matanya berbinar menatapku. "Aku cinta kamu." Aku tidak bisa bereaksi. Entah mengapa, ini aneh sekali. Tiba-tiba ada pernyataan cinta di depan kandang hewan dengan bau yang sedikit menyengat. Sebenarnya ini bukan adegan romantis tapi sukses membuat jantungku gelisah berdetak. "Aa dengerin Arsy nggak sih. Kok balesannya aneh gitu." Daffa tersenyum sambil mengamit tanganku. "Yah..." "Arsy lagi ngomong serius sama Aa, tapi yang lebih nyimak malah mereka." Aku menunjuk ke arah binatang terdekat, dan sayangnya binatang tersebut sedang memadu kasih ditengah siang teriknya hari puasa ini. "Ups!" "Aa nyimak kok. Puasa gini cuma bisa umbar kata-kata romantis, nggak kayak mereka. Dan usaha romantis Aa gagal lagi," celotehnya kepada pasangan beradegan v****r. "Iyalah gagal, bilangnya di tempat kayak gini," gumamku juga kepada mahluk hidup yang tak bisa bicara di depan kami. "Maunya di tempat kayak gimana?" Aku langsung memandanginya. Daffa sungguh-sungguh. Seolah dirinya sudah sangat berjuang untuk menciptakan suasana romantis dan kehabisan cara. "Bisa katakan kalimat itu di surga?" Daffa secepat kilat beralih mata dari hewan itu kepadaku. "Maaf." Tiba-tiba rasanya canggung. "Permintaan Arsy memang berlebihan. Pastinya akan disediakan bidadari di sana untuk Aa, jadi mungkin Arsy..." "Arsyila Farzana bin Abdu Ariqin Halim, insyaallah. Semoga Allah mengabulkan keinginan kita." Aku tergagap, "Aamiin." "Tapi itu bagian nanti, Arsy. Di sini, di bumi Allah ini, biarkan mereka jadi saksi untuk ikut mengingatkan aku nanti. Andai aku lupa mengatakan hal itu padamu di sana," ungkap Daffa sangat-sangat-sangat serius. "Semoga Allah tidak menghapus ingatan ini," balasku sepenuhnya yakin. "Aamiin." Bahkan diceritakan bahwa kulit kita akan berbicara menjadi bukti atas semua yang kita perbuat. Jika mereka bisa mengadukan jemari yang berzina, maka Allah juga akan mendengarkan aduan mereka bahwa kami, dua insan yang menjalankan syariat-Nya kini sedang bermesra, menggugurkan dosa, dan merencanakan sesuatu yang baik tentang ketaatan anak kepada orangtuanya. Sungguh, Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN