Ada perasaan rindu saat kembali ke rumah yang memiliki banyak kenangan. Rumah bagi sebagaian orang merupakan tempat untuk berteduh, merasakan kehangatan sebuah keluarga, dan rasa untuk menghilangkan rasa penat.
Dean merindukan suasana rumah seperti itu. Ia ingin sekali membuat sebuah keluarga yang saling melindungi, dan tidak ada kesedihan. Tapi semua itu apakah ada? Pengkhianatan Rosie membuatnya tersadar bahwa sebuah ikatan pernikahan tidak semudah yang terlihat. Banyak faktor yang menghalangi sebuah kebahagiaan.
Rudi merentangkan tangan menyambut putra kesayangannya kembali lagi ke Jakarta setelah hampir 8 tahun Dean tidak pernah kembali. Mereka saling berpelukkan melepaskan rasa rindu yang menggelayut di dalam hati. Hangatnya pelukkan sang ayah membuat Dean mengerti kalau laki - laki tua sangat merindukannya.
"Kamu akhirnya pulang juga, Nak," ujar Rudi dengan bahagia.
"Apa aku harusnya tidak pulang Ayah?" tanya Dean yang tersenyum menatap Ayahnya.
"Dasar anak nakal. Kenapa kamu malah berpikiran seperti itu? Ayah akan selalu ada untuk menyambutmu pulang anakku."
Dean dan Rudi tertawa rasanya begitu menyenangkan bisa berkumpul bersama. Mereka saling bercanda dan Dean menceritakan tentang karirnya yang menjadi seorang pengacara di Miami, negara bagian Florida, Amerika.
"Karirmu sudah semakin menanjak lalu bagaimana dengan kekasih? Apa kamu tidak berpikiran untuk membangun sebuah keluarga?" tanya Rudi penasaran.
"Aku sedang memikirkan hal tersebut Ayah. Aku bertemu dengan seorang wanita yang membuat aku jatuh cinta pada pandangan pertama," ujar Dean tersenyum mengingat Keira.
"Ayah penasaran siapa wanita yang berhasil membuat anakku bisa jatuh cinta. Apa orang bule?"
"Hahaha, tidak Ayah. Walau aku jauh - jauh ke Miami, tapi aku jatuh cinta pada wanita Indonesia. Wanita cantik memiliki hati yang rapuh, tapi dia tetap tegar menghadapi permasalahan hidupnya. Dia juga sangat menyayangi kedua orang tuanya Ayah hal tersebut membuat nilai plus yang tidak dimiliki kekasih - kekasih ku dulu."
"Kapan kamu akan mengenalkannya ke Ayah?"
"Mungkin besok dan aku akan segera menikahinya Ayah."
"Kamu mau menikah, tapi baru bilang sekarang? Dean, pernikahan itu bukan seperti jualan baju atau sepatu yang bisa dilakukan transaksi."
"Aku sudah mengenalnya dan orang tuanya. Aku yakin Ayah pasti akan menyukainya. Orang tuanya sangat baik."
"Hmm, kalau kamu sudah cocok dan tidak ragu lagi. Lakukanlah mana yang terbaik untukmu, Nak. Ayah hanya ingin kamu bahagia dan berdamai dengan masa lalu. Tidak semua wanita seperti Ibumu, Rosie."
"Iya Ayah. Aku yakin dia berbeda."
Dean berharap Keira memang berbeda dengan Rosie, Ibunya. Dia hanya ingin hidup bahagia bersama Keira walau baru mengenal gadis itu beberapa jam yang lalu tapi entah mengapa ia ingin sekali melindungi Keira dan tidak melihat air mata turun dari manik - manik mata indah Keira.
************
Air mata terkadang membuat orang lain menyadari bahwa hidup tak selamanya selalu bisa tertawa. Terkadang sedih dan bahagia berjalan beriringan bagaikan dua langkah kaki yang saling melengkapi menapak tanah untuk melewati setiap terjalnya kehidupan.
Mungkin inilah yang harus dilewati Keira, air matanya sudah terkuras habis untuk mengeluarkan energi yang terasa sia - sia. Mencintai pria salah dan ingin melangkahkan kaki menuju kebahagiaan malah menjadi rasa sakit di dalam hati. Entah mengapa walau sulit ia mampu menghadapinya.
Vio menatap Keira yang hanya diam tanpa suara memandangi dinding tembok berwarna putih. Pandangan matanya kosong bagaikan tak ada semangat untuk melanjutkan hidup.
"Jangan pernah sesali apa yang telah terjadi, mungkin inilah cara Tuhan membuatmu sadar bahwa dia bukanlah lelaki yang pantas untuk wanita indah sepertimu," ujar Vio memberikan semangat pada Keira.
Mendengar perkataan Vio membuat Keira tersadar bahwa dari tadi ia menatap dinding dengan pandangan kosong. Ia sendiripun bingung apa yang harus dilakukannya?
"Aku tahu hatimu sangat sakit. Aku tahu kamu ingin bahagia tapi tidak bisa kamu lakukan," ujar Vio lagi.
Tersenyum. Hanya senyuman tipis yang terukir di bibir Keira. Ingin ia mengatakan pada Vio bahwa aku hanya ingin lepas dari semua beban, tapi kenapa sulit sekali kata itu keluar dari bibirnya?
"Aku memang salah mengartikan tentang rasa cinta ini. Aku tidak bisa berharap pada manusia yang akhirnya membuat kecewa. Aku memang bukan yang terbaik untuk dia," ucap Keira dengan mata berkaca - kaca.
"Aku mengerti perasaanmu, Kei," ujar Vio mendekati Keira.
Dengan lembut Vio menyentuh rambut pirang Keira. Gadis itu sedang mengalami patah hati yang sangat menyakiti batinnya. Ia pin membelai rambut Keira dengan kasih sayang seorang sahabat.
"Menangislah ... menangislah jika memang terasa begitu berat beban dalam hidupmu. Walau air mata bukanlah penyelesaian, tapi setidaknya mampu melegakan hati dan pikiranmu."
Keira memeluk Vio dengan erat, terdengar isakan tangis yang pilu membuat Vio semakin mengeratkan pelukannya. Keira berhak bahagia bukan hanya disakiti.
"Air matamu terlalu berharga hanya untuk menangisi pria seperti dia."
"Terima kasih, Vio. Terima kasih."
Setelah Keira merasa lebih tenang, ia pun mengatakan apa yang sebenarnya terjadi saat di bandara. Sewaktu Cristo memutuskannya melalui via komunikasi datanglah Dean yang membantunya bagaikan pahlawan ke siangan dan malah membuat masalahnya semakin runyam saat Dean mengatakan akan segera menikah dengannya di depan orang tua Keira. Rencana permintaan tolongnya malah menjadi boomerang yang ia ciptakan sendiri.
"Wow, keren. Ini baru namanya laki - laki bukan kayak tikus hutan itu," ujar Vio dengan semangat.
"Cristo bukan tikus hutan tapi babi ngepet," ucap Keira dengan emosi.
"Masih mending babi ngepet bisa menghasilkan uang lah si Cristo itu tikus hutan yang merusak hasil panen petani. Beda kelas lah, Kei. Ga pantas mereka untuk di sama kan."
"Akh, sudahlah. Ini kita bahas apa sih. Mending bagaimana sekarang aku harus menyelesaikan masalah yang aku buat sendiri. Papa dan Mama pasti akan sangat sedih, Vi."
"Ini memang sudah terlanjur kering jadinya di gosok sekalian aja, Kei."
"Emangnya baju main kering gosok. Aku kan ga mungkin main nikah aja sama si Dean. Kenal juga baru kemarin."
"Non, namanya cinta itu bisa datangnya tiba - tiba tanpa batas waktu. Bisa cepat atau malah lama, tapi aku yakin si Dean itu pria yang baik."
"Tahu dari mana dia baik?"
"Yaa ampun Non. Kamu itu cantik - cantik, tapi telat mikir yaa ... udah terang - terangan dia baik, kalau ga baik ngapain juga bantuin kamu orang yang baru beberapa menit dikenalnya."
"Iya juga sih. Aku sekarang harus bagaimana dong, Vi. Berat rasa hati ini mengatakan yang sesungguhnya sama Papa dan Mama."
"Jangan katakan apapun cukup nikmati saja prosesnya biar lebih mantap."
"Vio ... aku lagi serius nih bukan saatnya kita bercanda deh."
"Ooh iya kamu ada nomor ponselnya ga?"
Keira menganggukan kepalanya. "Iya ada. Kemarin sebelum berpisah itu kami saling menukar nomor ponsel."
"Telepon Dean sekarang!"
"Ga mau. Aku takut."
"Takut kenapa? Ini menyangkut masa depan, loh. Lebih baik kamu telepon deh."
"Aku malu, Vi."
"Sudah jangan cerewet cepat telepon."
Walau berat akhirnya Keira mengambil ponselnya. Mencari nama Dean di kontak nomor, saat ia akan menghubungi Dean malah nama lelaki tersebut ada di layar ponselnya.
"Vi ... si Dean telepon. Angkat ga yaa."
"Jangan diangkat Non. Ponselmu itu bagusnya banting di lantai biar sekalian ga punya ponsel."
"Idiih kejam amat si Vi."
"Yaa sudah angkat malah ngomong melulu sih."
Dengan gugup Keira mengangkat telepon dari Dean. Vio mendekatkan telinganya di samping ponsel Keira.
"Ha–halo," ujar Keira tergagap.
"Hallo juga Keira. Kamu pasti menunggu telepon ku yaa sampai gugup seperti itu." Dean sengaja menggoda Keira.
"Siapa juga yang gugup, aku tadi cuman kaget aja," elak Keira.
"Hmm ... baiklah kalau kamu malu mengakuinya."
"Sekarang apa mau mu?"
"Mau ku bertemu denganmu membahas tentang pernikahan kita. Kamu kan calon istriku."
"Hal ini yang ingin ku bicarakan sama kamu."
"Ok deh. Besok di restoran yang kemarin yaa, aku tidak terlalu hapal Jakarta."
"Iya. Besok jam 11 kamu bisa?"
"Tentu aku bisa. Untuk kamu sang bidadari aku selalu siap sedia demi kamu."
Dengan kesal Keira memutuskan komunikasinya dengan Dean. Haruskah ia bersabar dengan kelakuan Dean yang dengan mudahnya memuji wanita lain.
"Aaakh, aku senang banget. Ini benar - benar memang seorang laki - laki yang keren begitu," ujar Vio dengan semangat perjuangan.
Keira hanya tersenyum mendengar perkataan Vio. Vio begitu antusias dengan masalahnya yang bisa membuat rambut panjangnya rontok secara perlahan.