“Aku akan menikah lagi,” kata Mas Bram, datar dan tanpa emosi. Mengisyaratkan, betapa tak ada sedikit pun beban di hati suamiku itu untuk mengatakannya. Baik itu rasa bersalah, segan, apalagi takut. Apa dia lupa, bahwa aku ini perempuan biasa yang punya perasaan? Bahwa hatiku ini tetaplah sebongkah daging lunak dan bukan pualam yang tak bisa terkoyak?
Aku menelan ludah dan menatapnya lekat, sedang dia tetap geming dengan kertas-kertas di tangan. Jangankan melihat, melirikku saja tidak. Seolah, sedikit pun tak merasa terganggu dengan tatapanku itu. Kuremas ujung baju dasterku kuat-kuat.
Yonana dan Jasmin, dua orang temanku di group arisan, suaminya juga memiliki istri muda. Menurut mereka berdua, suaminya tiba-tiba berubah sangat baik, beberapa bulan sebelum menyampaikan niatannya untuk menikah lagi. Lebih hangat dan lebih mesra. Bahkan, perhatian-perhatian kecil yang sebelumnya tidak pernah diberikan suami, tiba-tiba mereka dapatkan. Tujuannya sudah pasti, agar Yonana dan Jasmin memberikan izin.
Alangkah berbedanya suami dua temanku itu dengan Mas Bram. Lihatlah, bahkan untuk mengatakan hal seserius itu pun, suamiku tak melakukannya dengan cara yang manis. Tanpa membujuk, apalagi merayu terlebih dahulu, agar aku, perempuan yang dinikahinya secara sah memberinya izin.
Izin? Ah, apa ia butuh izin dariku? Kurasa tidak! Persetujuanku tidaklah punya arti apa-apa baginya. Kuizinkan atau tidak, Mas Bram tetap akan melakukannya. Terlebih, selama ini, rumah tangga kami tak berjalan seperti seharusnya. ‘Menikah’ hanyalah status yang tertulis pada kartu identitas dan kelengkapan administrasi belaka. Namun pada hakikatnya, kami tak ubahnya dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap. Ritual di atas ranjang pun terjadi cuma karena desakan kebutuhan biologis dua orang dewasa yang tidak boleh tak tersalurkan. Hanya pertemuan dua raga, tetapi tidak dengan jiwa.
Hambar? Tentu! Bagaimana tidak? Dalam rentang lima kali berganti kalender pasca akad nikah, suamiku belum menunjukan tanda-tanda bahwa dia telah ridha, meski aku telah berusaha sedemikian rupa untuk mengambil hatinya. Jatuh-bangun dan jungkir-balik telah kujalani. Segala pintu sudah kumasuki, demi menemukan peluang agar bisa diterima olehnya. Pendek kata, apa pun telah kulakukan untuk mengambil hatinya. Namun ternyata, hasilnya nihil. Malah sekarang, dengan entengnya dia mengatakan hendak menikah lagi.
Terluka? Tentu! Sumpah mati, ingin rasanya aku menjerit dan meraung-raung. Seperti apa pun rumah tangga yang kami jalani selama lima tahun ini, dia tetaplah suami yang sangat kucintai. Lelaki yang sangat kupuja dan kudambakan jiwa-raganya. Meski mungkin, tak ada sedikit pun cinta di hatinya untukku.
Tetapi tidak! Aku tidak boleh menangis, apalagi menghiba. Sudah cukup dulu, di malam pengantin, aku pernah memohon-mohon, layaknya pengemis di hadapannya. Sekarang tidak boleh terulang lagi. Sebab, itu hanya akan membuat nilaiku semakin jatuh di matanya. Harga diriku harus kuselamatkan kali ini!
Tak perlu kulakukan manuver apa pun untuk membuat rencananya urung. Karena, ibarat mengharap bunga tumbuh di atas batu, itu akan sia-sia belaka! Sampai kapan pun tidak akan pernah terjadi. Mas Bram tak akan mundur, meski aku menangis darah sekalipun. Bisa jadi, jika dia anggap menghalangi, justru aku yang akan ditendangnya menuju Pengadilan Agama. Sebab, bercerai dariku bukanlah hal yang berat baginya. Aku jamin, dia tak akan merasa sedih, apalagi kehilangan. Tetapi bagiku, itu artinya kiamat!
Aku tidak hanya akan kehilangan status sosial, jika sampai diceraikannya. Orang-orang akan mencemooh dan menudingku sebagai perempuan yang tak becus menjaga rumah tangganya dengan baik. Di keningku akan terstempel status janda, yang akan dipandang buruk di mana pun aku berada. Padahal, aku terlahir dari keluarga baik-baik yang cukup terpandang di masyarakat. Orangtuaku akan menanggung malu. Ya Tuhan, itu tidak boleh terjadi!
"Si—siapa dia?” tanyaku dengan suara gemetar. Padahal, sudah mati-matian kuusahakan untuk kuat.
Mas Bram menghentikan kesibukannya. Dia mengangkat pandangan, beranjak dari kertas-kertas kerja di tangannya dan menatapku.
“Arimbi, aku jatuh cinta,” tukasnya, tanpa ada keraguan sedikit pun.
Deg!
Aku terkesiap. Dadaku bagai dihantam martil. Rasanya, ngilu berdenyut-denyut. Selaput kaca-kaca di mataku pun pecah berderaian. Berulang kali, kutarik napas panjang, agar tak kian terbawa emosi, apalagi sampai histeris. Mungkin aku memang bukan orang yang kuat, namun sungguh, aku tak ingin terlihat rapuh di hadapannya.
Mas Bram meletakkan kertas-kertas kerjaannya di atas meja, lalu membenahi posisi duduk, sehingga gestur tubuhnya terlihat lebih santai. Dia merapatkan punggungnya ke sandaran sofa, sedang kedua tangannya bersedekap di depan d**a. Sementara aku yang duduk berseberangan dengannya, sibuk menyeka air mata. Berlembar-lembar kertas tissue kurenggut secara asal dari wadahnya, kupakai untuk menyusut air mata, lalu kuremas dan kubuang begitu saja ke lantai.
Seketika senyap. Mulut kami berdua sama-sama terkunci rapat. Mungkin Mas Bram pun sama sepertiku, tak tahu harus berkata apa. Atau barangkali juga, dia sedang menyusun kata-kata untuk melanjutkan pembicaraan.
“Namanya Kartika.” Tiba-tiba, terdengar suara bass-nya, memecah kesunyian. Aku menahan napas, agar tidak ada satu pun dari kata-katanya yang terlewat dari pendengaran, karena suara hembusan napasku. “Dia janda dengan dua orang anak,” lanjutnya. Kugigit bibirku yang mulai gemetar, kuat-kuat. Di dalam dadaku, sesuatu bergolak.
Mas Bram menghela napas berat sebelum melanjutkan, “Kartika perempuan yang baik. Sangat baik, malah. Kami bertemu setahun yang lalu. Motornya tertabrak mobilku di Jalan Semeru.”
Kembali hening. Sorot mata Mas Bram tampak melunak. Begitu pun mimik wajahnya. Meski matanya seolah sedang melihatku, namun pandangannya menerawang jauh. Tak perlu diperjelas lagi, aku bisa melihatnya, lelakiku itu sedang kasmaran. Bukan padaku, perempuan yang telah hidup bersamanya. Tetapi pada perempuan itu, seseorang yang sedang diceritakannya.
“La—lalu?” tanyaku kemudian, memberanikan diri.
Mas Bram tersentak, lalu pandangannya kembali padaku. Tentu saja tak selembut sesaat lalu, ketika pikirannya melayang pada perempuan itu.
“Anaknya terpental dari boncengan.”
“Lalu?”
“Aku membawanya ke Rumah Sakit Umum Syaiful Anwar.”
"Lalu?” Suaraku kembali parau.
“Selama anaknya menjalani perawatan di rumah sakit, aku menjenguknya setiap hari. Sebagai wujud tanggung jawab, aku juga meng-cover seluruh biaya dan kebutuhannya selama di rumah sakit.”
"Lalu?”
Mas Bram tak lagi menjawab. Mendengar intonasiku yang meninggi, dia menatap lebih serius. Bahkan, kedua alis lebatnya nyaris bertautan. Membuatku tersadar, telah terbawa emosi.
“Arimbi, kita sudah sepakat!” tukasnya, mengingatkan.
Aku tercenung, tak kuasa mulut ini berkata iya atau sekadar menganggukkan kepala. Aku hanya bisa mengutuki diri sendiri. Andai saja tak ada kesalahan fatal itu, tentu akan lain ceritanya. Kalaupun terjadi juga, dia mau menikah lagi, minimal, aku punya keberanian untuk menolak atau menyampaikan keberatan. Sayangnya, inilah yang terjadi. Aku kehilangan hak untuk itu. Aku tak berdaya!