PART 2
PART-2
“Silakan, kalian duduk di bangku yang kosong di belakang sana. Itu kebetulan ada dua kursi,” jelas Pak Danar pada mereka berdua.
Jessi yang memang duduk sendirian lalu tangannya terangkat ke atas. Pak Danar yang melihat Jessi, menyuruh gadis itu mengatakan maksud mengangkat tangannya sebab Pak Danar akan keluar kelas segera.
“Abra sama saya aja, Pak.” Jessi menyunggingkan senyumannya lebar dan maniknya tampak berbinar-binar.
“Ya terserah saja. kamu bilang ke dia mau apa enggak. Bapak pergi dulu ya anak-anak.” Pamit Pak Danar lalu pergi keluar dari kelas 11 IPS 1.
“Weh Jessi gercep banget!” teriak Erma dan kawan-kawannya menyorakki Jessi. Sebab, mereka sudah tahu kalau Jessi suka centil dan genit ketika ada cowok tampan.
“Tau aja kalian ini ha ha ha.” Jessi tertawa renyah dan kembali menatap sosok murid baru yang sudah menarik perhatiannya.
Tidak disangka, Abra benar datang ke bangkunya. Jessi memekik kegirangan bahkan sempat menjulurkan lidahnya ke arah teman-temanya yang juga mencari perhatian pada salah satu murid baru tersebut.
Sebelum Abra duduk, Jessi buru-buru membersihkan perkakasnya yang hampir satu bangku dikuasainya karenya duduk sendirian dan temannya yang pernah sebangku dengannya pula sudah pindah sekolah.
“Nah sekarang sudah bisa duduk,” kata Jessi seraya menyelinapkan untaian rambutnya ke belakang daun telinganya. Baru pertama kalinya Jessi merasakan gugup melihat lelaki berparas rupawan sampai rambutnya yang terkuncir rapi kembali berantakkan.
Tapi lelaki itu justru cuek kepadanya dan hanya menoleh sekilas ke arahnya. Bibir Jessi cemberut lalu seberapa detik mengembang lagi saat lelaki itu meminjam pulpen kepadanya.
“Gue pinjam pulpen.”
“Oh ya, sebentar.” Jessi mengeluarkan kotak pensilnya yang berwarna merah muda dan bergambar beruang berwarna cokelat muda.
“Warna yang bikin gue sakit mata.” Abra berkomentar ketika menerima pulpen dari Jessi.
“Hih ngeselin.” Jessi geregetan disertai suara tawanya dan ia merasa tidak marah karena wajar dia itu laki-laki yang rata-ratanya tidak menyukai warna cerah seperti merah muda.
Jessi memandang lelaki itu dari samping, Abra mulai mengerjakan tugas. Meski murid baru, dia dan temannya itu masih mengenakan searagam sekolah lamanya.
“Seragam lagi habis ya? Kok masih pakai seragam yang lama.” Lagi-lagi Jessi merasa penasaran. Gadis itu juga memegang pulpen namun tak kunjung membuka buku LKS-nya, melihat saja malas walau ia suka olahraga tapi untuk mengerjakan soal-soal ini rasanya malas saja.
“Hmm.” Abra berdehem saja dan tatapan tertuju pada soal-soal yang sedang dikerjakannya.
“Oo, gue boleh contek nggak?”
“Asal gak cerewet.”
“Iya ya deh.”
Jessi tentu senang diperbolehkan mencontek dan sepertinya Abra bukan tipe cowok yang cerewet seperti Dipta dan papanya.
Di saat sedang mengerjakan, Jessi mencuri kesempatan. Kursinya didekatkan lagi sampai menempel ke kursi yang diduduki Abra. Anehnya lagi tidak mendapat respon dari lelaki itu, Jessi mendengus sebal lalu menopang dagu dilipatan tangannya. Gadis itu mengurungkan niatnya mengerjakan tugas dari Pak Danar. Tanpa disadari Jessi, Abra memandangnya setelah selesai mengerjakan tugasnya.
“Bahkan sifatnya juga sama, gue masih ingat,” gumam Abra. Abra tau dari raut wajah Jessi menandakan gadis itu tengah mencari perhatian kepadanya.
Matahari menanjak semakin tinggi. Cahaya keemasannya semakin jelas menyalak di sisi timur, mulai menyengat kulit beberapa murid yang duduk di sebelah jendela, termasuk Jessi. Silauan dari cahaya itu mengenai wajah Jessi, reflek gadis itu memejamkan matanya dan menunggu salah satu temannya menutup tirai jendela. Tapi dahi Jessi berkerut, merasa cepat sekali silauan dari cahaya matahari menghilang dan perlahan mata Jessi kembali terbuka.
Pertama kali yang dilihat adalah tangan yang memegang buku gambar berukuran A3 dan buku gambar itu miliknya. Jessi menoleh dan terkesiap kala wajah Abra begitu dekat dengan wajahnya. Jessi langsung menjauhkan wajahnya, dadanya begitu berdebar tak karuan dan apa yang dilakukan Abra kepadanya baru saja sampai tak bisa berkata-kata lagi.
‘Dia manis sekali dan tidak secuek itu rupaya’—Jessi menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
...
“Jessi, lo kenapa dah? Dari tadi senyum-senyum gak jelas.” Seorang gadis yang tengah menguncir rambut itu mengernyitkan dahinya menatap temannya yang duduk di sebarangnya itu seperti sedang memikirkan sesuatu yang menyenangkan. Dialah Anya Revana bisa dipanggil Anya, teman Jessi pula di TK sebelum Jessi pindah ke gedung lain meski masih satu sekolahan dulu. Anya satu kelas bersama Dipta.
“Lo gak tau ada murid baru di kelas gue?” tanya Jessi heran seraya menyuruput minuman jusnya.
“Oh gara-gara cowok ternyata, iye gue tau.”
“Lo gak tertarik nih? Ada dua kan bisa salah satu.” Jessi menaik turunkan alisnya, mengode temannya.
“Enggak, mereka kayaknya berandalan deh. Tuh lihat tampilan murid baru tapi enggak rapi banget sekarang.” Anya menunjuk dua murid baru yang melangkah bak seorang model saat datang ke kantin dan beberapa siswi juga mencoba mendekatkan diri dengan menawari bergabung bersama mereka. Jessi melihat itu merasa kesal dan melahap tempe mendoannya.
“Btw, mereka gak berandalan kok.” Jessi baru ingat ucapan Anya tadi.
“Kan lo baru kenal.”
“Lo juga baru lihat, sudah bilang dia berandalan.”
“Ya cuman dilihat dari tampilan.” Anya mengaduk-aduk minumannya asal. Bertepatan dengan itu Dipta datang dan ikut gabung bersama mereka.
“Habis dari mana lo, Dip?” tanya Jessi dan Anya kompak.
“Kumpul sama anak olimpiade.”
“Sok pintar lo.” Anya tertawa dan menepuk pundak Dipta berulang kali. Dipta hanya mengulas senyumnya.
“Kapan itu lombanya, Dip?” tanya Jessi kepo.
“Minggu depan.”
“Gue doain menang meski gak mungkin sih.”
“Lo mah sama saja kayak Anya, suka banget bikin gue kesal.” Dipta menepuk puncuk rambut Jessi.
“Eh masak?” Jessi cekikian dan tangannya mencolek dagu Dipta. Jika tak benar kenal mereka berdua, pasti pada mengira mereka itu berpacaran.
“Kenapa kalian gak jadian aja?” tanya Anya dan menatap mereka berdua secara bergantian.
“Jessi sayang Dipta kok emm...”
Sontak Dipta menoleh ke Jessi begitu juga dengan Anya.
“Sebagai sahabat dan gak lebih dari itu. Eh bentar ya, gue mau ke tuh tuh!” pekik Jessi saat tatapannya jatuh pada pesona murid baru itu yang berusaha mengusir para siswi yang menggerombolinya.
Tanpa Jessi ketahui, hati Dipta mencelos mendengar penuturan Jessi dan seolah tidak ada harapan lebih dari kata sahabat. Jessi sudah pergi dan Anya yang tahu apa yang dirasakan Dipta itu mengusap bahunya pelan.
Dipta menatap Anya yang tersenyum lebar ke arahnya.
“Lo gak lagi ngejek gue kan?”
“Hemm, menurut lo?” Raut wajah gadis itu datar sembari menghela napasnya pelan.
“Jutek banget mukanya.”
“Ya gue kan emang gini, Dipta.”
“Iya sih.”
“Bilang saja kalau lo suka sama Jessi, keburu semuanya terlambat.”
“Benar juga, tapi secara gak langsung, gue sudah ditolak.” Dipta mengedikkan bahunya acuh.
“Yaelah, mudah banget nyerahnya. Berjuang dong!” Anya mencoba menyemangati Dipta.
Dipta membalas dengan senyuman saja. Setelah itu tatapannya mengarah ke Jessi sedang bersama sosok orang terlihat tak asing lagi baginya.
“Dia murid baru kah? Kayak pernah lihat.”
“Oh itu, memang. Di kelasnya Jessi, biasalah Jessi suka centil dan genit kalau lihat cowok cakep.”
“Ah iya, tapi gue kayaknya pernah lihat. Oh ya, kemarin waktu di bengkel dan swalayan.” Dipta menjetikkan jarinya tatkala baru saja teringat sosok murid baru itu.
...
“Eh kalian sudah dong, mereka gak nyaman sama kalian,” tegur Jessi kepada segerombolan siswi yang berkerumun di bangku kantin yang di tempati oleh Abra dan Balder.
“Kenapa sih, Jes? Bilang saja lo juga mau minta nomor HP-nya juga.” Salah satu dari mereka mendengus sebal dan tidak menyukai kedatangan Jessi di sini.
“Bukan begitu, mereka mau makan dan kalian harusnya mengerti waktu.”
“Akhirnya ada yang peka.” Balder membuka suaranya dan menghembuskan napasnya berat. Ia juga merasa senang ada gadis itu telah menyelamatkannya dari kerumunan siswi tersebut.
“Ck! Ya deh, kuy cabut!” mereka pun mau pergi sebab Balder ikut menimpali ucapan Jessi.
Mengetahui mereka sudah pergi kemudian Jessi duduk di sebelah Abra yang sedang melahap makan siangnya.
“Lo enggak ada niat berterima kasih ke gue? Gue sudah nolongin lo, btw.” Jessi mencebikkan bibirnya melihat Abra yang malah diam saja.
“Thank’s.” Bukan Abra yang mengucapkan kalimat itu melainkan Balder, cowok itu juga merasa heran melihat fokus pandangan Jessi tertuju pada Abra seorang.
Jessi tersenyum lebar sampai menunjukkan deretan giginya yang rapih. Tapi bibir mungilnya cemberut kembali sebab Abra tak kunjung meresponnya sedari tadi.
“Nama lo bener Jessi kan?” tanya Balder penasaran.
“Iya. Aih bilang ke teman lo ini, gue lagi ngambek. Beneran deh, awas pokoknya awas saja!” nada ancaman dari Jessi bukan terdengar menyeramkan justru membuat Balder tertawa sedangkan Abra, tanpa diketahui Jessi tengah menahan bibirnya supaya tidak tersenyum.
Jessi menggebrak meja tersebut sebelum akhirnya meninggalkan mereka.
“Ish sifatnya, tidak bisa ditebak.” Jessi menghentakan kedua kakinya setelah keluar dari kantin.
Di sisi lain pula Balder menghentikan tawanya lalu menatap Abra dengan wajah yang serius.
“Felix....”Balder memelankan suaranya.
Sosok yang duduk di seberangnya, menghentikan kunyahan makanannya sebentar dan tangannya diletakan di atas meja.
“Apa benar dia Jessi yang lo maksud?”
Lelaki itu hanya tersenyum simpul dan melanjutkan makanannya yang sebentar lagi habis.
...
“Siapa yang bikin lo marah? Apa cowok baru yang tadi lo dekati?”tanya Dipta begitu melihat Jessi sedang mengamuk di hadapannya setiba menghampirinya di taman hijau. Taman hijau di SMA Bangsal itu mampu membuat para murid merasa rileks pikirannya di waktu istirahat dan terdapat gazebo yang digunakan untuk nongkrong.
Dipta yang sebelumnya tengah bersama teman-temannya lantas undur diri dan tepat saat itu juga Jessi berjalan menghampirinya. Jessi memeluknya sambil mulutnya tak berhenti menyumpah serapahi seseorang. Ketika pelukan perlahan terlepas, Dipta menangkup pipi Jessi.
“Hey ditanya kenapa juga?” Dipta merapikan rambut Jessi yang saat ini tergerai dan dalam kondisi berantakkan.
“Iya.”
“Iya, apa nih?” tanya Dipta lagi, Jessi terlalu singkat menjawab ucapannya.
“Murid baru itu menyebalkan.”
“Tidak biasanya lo mudah kesal ketika berkenalan dengan laki-laki yang lo anggap ganteng.”
“Ah iya ya, kenapa gue jadi begini? Tapi gue itu bisa kesal sama cowok itu.” Jessi mendesah kesal.
“Apa lo mulai menyukainya?” tanya Dipta merasa cemas dan tak rela kehilangan Jessi kalau nantinya Jessi sudah memiliki seorang kekasih dihatinya. Melihat Jessi suka centil ke laki-laki lain saja, sudah menahan rasa cemburu walau paham sifat Jessi yang juga tak mudah kebawa perasaan dan gadis itu hanya senang-senang saja bersikap centil.
“Kita aja baru kenal, Dipta. Masak langsung bisa suka sih? Gue cuman suka wajahnya yang menurut gue bikin gereget gitu lho dan kayak beda dari yang lain. Gak bosen natap dia.” Jessi memanyunkan bibirnya, Dipta merangkul pundak sosok gadis yang telah membuatnya jatuh hati itu dan mengajak berjalan, entah kemana.
“Oh begitu.” Respon Dipta agak acuh.
“Ah jadi males ngomong sama lo deh.” Jessi mulai jengkel dan tak suka dicuekin. Ia melepas rangkulan tangan Dipta dipundaknya.
“Jessi.” Dipta langsung memegang lengan Jessi, ia lupa kalau Jessi tidak suka dicuekin.
“Gue----”
“Gue ingin sendiri deh.”
“Jessi!” Dipta memandang punggung gadis itu menjauh dan menghilang saat Jessi membelokkan badannya ke kanan. Mulai memasukki koridor kelas IPS.
“Maafkan gue, Jessi. Gue gak bisa nahan cemburu. Benar kata Anya, gue harus berjuang dapetin hati Jessi, sebelum semuanya terlambat.”
...
Dipta baru saja keluar dari koperasi langsung digeret paksa oleh para adik kelasnya yang terkenal dengan kenakalannya dan suka menindas murid lemah yaitu meminta uang bahkan sampai disuruh mengerjakan tugas-tugas sekolahnya.
Dipta tidak bisa melawan mereka karena kalah jumlah, ia selalu diam saat mereka berusaha mengambil uang dari saku celananya. Sebab kalau dia melawan mereka pastinya mereka akan memberikan bogeman mentah, tentu ia juga tak mau membuat Jessi khawatir kepadanya kalau tau ia sebenarnya secara tidak langsung terkena bullying dari adik kelasnya dan Dipta tak mau pula tidak masuk sekolah hanya demi menghindari Jessi menanyakan dirinya. Lebih baik yang dilakukan Dipta itu diam saat ini, selagi mereka hanya meminta uang saja.
“Lo cuman punya uang segini doang? Miskin banget dilihatnya.”
“Ya salah sendiri minta ke gue, gue gak punya apa-apa. Padahal kalian orang kaya, ya minta sana sama orang tua kalian masing-masing.” Dipta menarik napasnya menatap mereka yang sedang melihat isi dompetnya yang hanya berisi puluhan ribu saja.
“Sialan.” Mereka mengumpat.
Dipta membiarkannya dan merebut kembali dompetnya.
Koridor hanya berisikan koperasi dan jalan menuju halaman belakang sekolah saja. Suasananya juga semakin sepi karena di jam-jam siang ini kebanyakan murid memilih berteduh atau duduk-duduk di depan kelas masing-masing dan juga tak jarang di kantin. Kelihatan semakin menyeramkan jika berada di sini di waktu malam hari.
“Sudah kan? Gue mau ke kelas kalau gitu.” Dipta akan pergi namun dihadang oleh mereka.
“Eits, besok dua kali lipat!”
Dipta merasakan pundaknya ditarik kuat, sontak ditepis kasar olehnya. Ia melirik seragamnya menjadi kusut.
“Berani banget deh lo!” Salah satu dari mereka mendorong Dipta hingga terjatuh. Dialah ketuanya dari geng tersebut, Faisal Fachreza. Faisal suka sekali semena-mena di sekolah ini dan berulang kali membuat masalah. Kalau saja ayahnya bukan seorang donatur terbesar di SMA Bangsal sudah dipastikan di DO dari sekolah ini.
Ketika Faisal akan memukul Dipta, seseorang menahan lengannya dan mendorong Faisal, reflek teman-temannya yang di belakangnya menahan tubuhnya supaya tidak terjungkal ke belakang.
“Kalian itu adik kelas, kurang ajar sekali.”
“Lo siapa?” sentak Faisal berserta antek-anteknya.
Dipta membulatkan matanya melihat orang yang membuat Jessi kesal tadi yang baru saja menolongnya dari cengkeramanya mereka..
“Lo murid baru sok jadi jagoan, maju sini!” Faisal menarik lengan seragamnya ke atas, meski teman-temannya melarang karena menganggap sosok di hadapannya sekarang bukan selemah Dipta.
“Yakin?” Abra tersenyum miring dan merasa santai saja.
“Hentikan!” Dipta memberi kode ke Abra dengan gelengan kepala. Menurutnya, Abra masih murid baru di sekolah ini. Akan tetapi, Abra tak mengindahkan ucapan Dipta.