Part 28: Curhatan Jessi

3003 Kata
"Tangan lo banyak uratnya." Jessi meraih tangan Abra dan menepuk lengan tangan laki-laki itu. Setelah mencari bungkus makanan ringan milik Jessi di samping rumah, belakang dapur kotor lalu selesai memilah mana yang bisa untuk dibuat kerajinan tangan. "Cowok ya gini," jawab Abra dan melanjutkan mengelinting bungkus makanan ringan yang sudah digunting sesuai pola yang ia gariskan sendiri. "Tangan gue juga ada uratnya tapi gak kelihatan jelas." Jessi menunjukkan lengannya ke Abra dan Abra hanya menanggapi dengan anggukan saja. "Kan mulai cuek lagi." "Tugasnya segera diselesaikan." "Halah." Jessi mendengus sebal, ia merasa jenuh sekali karena belum juga beres pekerjaannya. Jessi bertugas menggunting pola yang sudah digambar oleh Abra sedangkan Abra mengerjakan dua kerjaan yaitu menggambar pola dan mengelinting bungkus makanan ringan yang sudah digunting oleh Jessi. Bentuk polanya yaitu segitiga, sisi kanan kirinya yang lebih panjang ukurannya dibanding sisi yang lain. Tak lupa setelah selesai mengelinting bungkus makanan ringan yang sudah terpotong itu dimasukkan ke dalam kaleng dan ketika semuanya sudah selesai serta target terpenuhi barulah tahap akhirnya yaitu memasukkan satu persatu gulungan hasil dari mengelinting tersebut dirangkai menjadi satu di benang wol. "Sudah setengah kaleng, lo gak capek?" tanya Jessi heran pada Abra yang bekerja tanpa ada jedanya sama sekali sedari tadi. Jessi bahkan sudah menyerah karena tangannya terasa linu. "Enggak, lo istirahat aja kalau capek," jawab Abra tanpa menatap Jessi yang duduk di depannya. Jessi tiduran di gazebo yang dilapisi karpet, gadis itu juga membawa boneka berbentuk buah semangka sebagai bantalannya karena memang ia sering rebahan di tempat ini bersama boneka kesayangannya itu. "Tidur." Abra menatap Jessi setelah setengah jam membiarkan gadis itu rebahan sambil memainkan ponselnya. "Emang gue boleh tidur?" tanya Jessi seraya meletakkan ponselnya di samping tubuhnya. Abra mengangguk dan matanya tetap fokus pasa pekerjaannya. "Jadi semuanya lo yang ngerjain dong? Gak adil deh." "Gak masalah." "Entar lo ngadu ke guru prakarya itu." "Enggak." "Bohong, pasti ngadu." Jessi malah memiringkan tubuhnya agar bisa melihat jelas Abra saat ini. Salah satu tangannya berada di bawah bantal. Abra memilih diam daripada memperdebatkan hal yang tidak jelas menurutnya. Jessi tersenyum memandangi laki-laki itu yang sangat serius sekali mengerjakan tugas prakarya mereka dan satu hal yang selalu membuat gadis itu terheran-heran pada Abra ialah lelaki itu tak pernah sekali mengeluh merasa letih atau capeknya mengerjakan tugas. Abra sangat rajin sekali dan mampu menguasai seluruu mata pelajaran hanya sekali saja dijelaskan langsung paham dan Jessi menebak pula Abra yang akan menggeser peringkat paralel Dipta nantinya. Sebelumnya Dipta yang seringkali mendapatkan ranking satu paralel jurusan IPS di sekolahan mereka. "Nih, coba pakai kaca mata gue." Jessi memberikan kaca mata miliknya pada Abra. "Enggak, gue gak minus." "Ini bukan kaca mata minus sih, cobalah pakai." Jessi tetap menjulurkan tangannya yang membawa kaca mata miliknya di depan Abra. Abra menghembuskan napasnya pelan lalu melirik Jessi dan kaca mata milik gadis itu secara bergantian. "Hmm oke." Abra meraih kaca mata yang diberikan oleh Jessi lalu mengenakannya di atas pangkal hidungnya dan wow! Betapa tampannya Abra sekarang. "Ya ampun." Jessi syok sembari duduk bersila lagi dan menutup mulutnya yang membentuk huruf O sekarang. "Emang kenapa?" Abra makin kebingungan dan akan melepaskan kaca mata milik Jessi. "Aduh gak usah dilepas, sumpah ya tambah ganteng maksimal ternyata." Jessi mengacungkan jempolnya dan berdecak kagum. Menganggumi ketampanan Abra yang sedang mengenakan kaca matanya dan Jessi mau tidak yakin itu Abra tapi Jessi melihat tepat di mata kepalanya sendiri kalau di depannya ini benar-benar Abra. "Ganteng? Biasa saja." Abra menggelengkan kepalanya pelan lalu melanjutkan lagi mengerjakan tugasnya yang kurang beberapa lagi akan selesai. "Kenapa sih lo gak mengakui kalau diri lo ini ganteng? Apa gue harus kasih lo cermin ah iya cermin." Jessi beranjak berdiri dan kembali masuk ke dalam rumah sambil berlari menuju kamarnya demi mengambil cermin kecilnya untuk Abra. "Ngapain itu bocah lari-larian cuman mau ngambil cermin. Padahal gue bawa sendiri." Abra menggelengkan kepalanya melihat Jessi yang sudah pergi dari hadapannya bahkan berlari begitu kencang sekali. Abra yang akan memanggil Jessi juga gadis itu sudah menghilang. Abra merogoh saku celananya dan mengambil sesuatu yakni sebuah cermin mini berbentuk persegi dam cukup tebal pula. Abra mulai menatap dirinya sendiri melalui cerminnya dan tersenyum saat tangannya menyentuh kaca mata milik Jessi. "Ada aja kelakuannya." Gumamnya dan ketika sudah selesai bercemin, tepat saat itu juga Jessi kembali ke halaman belakang rumahnya. "Ini cermin gu--" Seketika raut wajah Jessi berubah mengetahui ada cermin lain yang tengah digenggam oleh Abra. Jessi berdecak kesal tanpa suara dan kedua tangannya direntangkan ke atas llau mengusap wajahnya pelan. Ingin rasanya berteriak tapi tidak bisa dan ia pun memaksa bibirnya tersenyum. "Kenapa lo gak bilang kalau lo bawa cermin?" tanya Jessi yang terdengar tengah menahan rasa sesalnya. "Gue mau bilang tapi lo keburu lari gitu." "Ingin rasanya berteriak tapi energi sudah habis." Jessi mengatur napasnya yang masih ngos-ngosan dan ia pun naik ke gazebo. "Gereget gue sama lo." Jessi ingin meremas Abra yang sekarang tengah menahan mulutnya supaya tidak menertawakannya. Abra memasukkan kembali cerminnya ke dalam sakunya lalu mulai membereskan beberapa peralatan yang tidak digunakan lagi. "Sudah selesai kah?" tanya Jessi, mengetahui apa sedang Abra lakukan saat ini. "Hanpir selesai, gue yang bawa tugas ini. Gue lanjutin di rumah bjat rangkainya." "Emang di sekolah gak bisa kah? Cuman rangkai doang aja." "Gue gak suka mendadak." Abra menggeleng. "Oke lah, gue nurut kata lo aja deh." "Oh ya, lo mau ikut gue beli jajan?" Abra melihat jam di ponselnya yang sudah menunjukkan jam 12 siang. "Makan dulu baru makan jajan." "Mager makan nasi, gue tadi cuman minum s**u sama makan roti doang." "Kalau lo gak mau makan nasi, gue langsung pulang aja." Ancam Abra. "Eh jangan dong, ya sudah makan pakai nasi tapi lo juga ikut makan." Jessi menahan Abra yang akan pergi setelah membereskan semua barang-barangnya dan ia sangat ingin ditemani oleh Abra. "Iya," jawab Abra sambil mengangguk pasrah. Selanjutnya mereka makan siang di ruang makan yang hanya mereka saja disana. "Mana orang tua lo sama adik lo?" tanya Abra yang merasa tidak enak saja karena hanya berdua yang makan siang disini. Mereka berdua tengah menunggu makanan mereka di waktu siang hari ini dan para pembantu masih sibuk memasak di dapur kotor. "Mungkin mereka keluar sih." "Lo gak diajak?" "Gue kan lagi ngerjain tugas dan gue bosen juga liburan sama keluarga. Gue dari dulu pengen banget liburan sama temen di puncak atau suasana yang ada alamnya gitu tapi bokap gak setujuin malah bilangnya nanti bisa diterkam hewan buas." Jessi mencurahkan hatinya, alasan dirinha tidak ikut keluar bersama keluarga dan keinginannya yang sampai sekarang tidak mendapat restu dari sang papa. "Ouh jadi gitu." "Kalau lo pernah gak liburan tapi temannya tentang alam gitu?" "Pernah, waktu di tempat rumah bokap gue yang dulu. Gue liburan sama Balder itu mendaki, ke puncak, pohon pinus resto dan masih banyak lagi. Seingat gue." "Wah enak dong, gue pengen deh bisa ngerasain semuanya." Ekspresi Jessi menunjukan betapa inginnya bisa berlibur bertema alam. "Biasanya ada acara perkemahan." "Gue gak disetujui waktu SMP dulu, entah SMA ada apa enggak atau kalau ada pun gue tetap gak disetujuin juga." "Iya pasti harus ada persetujuan dari orang tua." Abra merasa ada yang aneh mendengar suara napasnya Jessi dan benar dugaannya, Jessi sedang menangis tanpa suara dan sepertinya tangisannya berusaha ditahan tapi tidak bisa dibendung lagi. Abra menggeser kursinya dengan satu tangannya agar lebih dekat duduknya di samping Jessi dan yang lainnya meraih tempat tisu. Ia memberikan beberapa lembar tisu pada Jessi. Jessi menatap sebentar sebelum diterima lalu melanjutkan mengusapkan pipinya yang dibasahi oleh air matanya. Abra merenung, ia sama halnya seperti Jessi dulu walau dalam kondisi yang berbeda. Jessi masih bisa membantah dan melanggar aturan yang diberikan oleh papanya sedangkan Felix kecil, tidak bisa berbuat apa-apa dan membantah rasanya juga percuma. "Sorry, gue jadi nangis." Abra menoleh, menatap Jessi yang tampaknya sudah selesai menangis. "Tidak masalah." Abra beranjak berdiri dan membersihkan beberapa tisu yang berada di meja makan dan ada juga yang jatuh di atas lantai kemudian dibuang ke tempat sampah. 'Mengapa dia punya sikap yang manis begini? Bikin hati gue langsung hangat begini'--batin Jessi saat memperhatikan Abra yang membersihkan sampah tisunya yang berserakan di sekitarnya. Abra juga menghargainya ketika Jessi menangis, Abra tidak melihatnya sehingga Jessi tidak merasa malu dan bisa melanjutkan tangisannya sampai benar-benar lega. "Minumlah." Tak disangka Jessi, Abra memberikan gelas yang sudah berisikan air mineral diletakkan di depannya. Lantas Jessi meneguk air putih itu hingga setengahnya saja. "Sudah lega?" Jessi mengangguk dan sedikit menundukkan wajahnya, ia merasa malu pasti wajahnya memerah sekarang karena baru saja menangis. Telapak tangan Abra tiba-tiba berada diatas kepala Jessi dan tubuh Jessi seketika menegang. Jessi menatap laki-laki itu yang kini membelai rambutnya. "Jangan kebanyakan menangis, muka lo jelek." Jessi kembali tersenyum dan menepuk tangan Abra yang sedang membelai rambutnya. Begitu pula dengan Abra yang ikut tersenyum lebar tanpa Jessi ketahui. ... Abra dan Jessi memasuki supermarket. Abra langsung mengambil troli sedangkan Jessi berjalan cepat menuju rak berisikan banyaknya makanan ringan berjejer rapih disana. Abra mengikuti jalannya Jessi dan Jessi mengambil tanpa melihat harga asal dirinya suka saja. "Kali ini jangan dibeliin, gue ada uang jatah buat jajan. Soalnya jajan gue banyak." Jessi sudah ada firasat kalau Abra nanti akan membayari makanan, ia merasa tidak enak saja dan takutnya uang Abra habis. Abra diam saja, ia juga tidak mengangguk dan menggeleng. "Lo denger kan apa yang gue bilang tadi?" Abra hanya mengangkat kedua alisnya saja lalu menoleh ke samping, ia juga memilih makanan yang akan dibelinya dan Abra merasa ini pertama kalinya berada di supermarket besar yang sering diringa lewati. Jika berbelanja Abra seringnya beli ke toko-toko kecil saja di dekat rumahnya dan tidak sampai pergi ke supermarket sebesar ini. "Lo nanti gue beliin." Jessi memeluk banyaknya makanan ringan ditangannya lalu dimasukkan ke dalam troli dan Abra sendiri tidak kaget karena sudah menebak Jessi makanannya banyak kalau soal cemilan begini. "Ke minuman-minuman sana!" Jessi menepuk troli yang dibawa oleh Abra. Abra mengangguk dan terus mengikuti langkah kaki Jessi dari belakang. Jessi memasukkan banyaknya botol minuman ke dalam troli. "Ambil troli lagi deh kayaknya." Jessi menggaruk kepalanya yang tidak gatal saat dirasa belanjaannya begitu banyak sekali. "Dilanjut besok lagi aja, nanti kesulitan bawanya." Saran Abra karena ia sendiri bingung nanti akan diletakkan dimana apalagi Abra mengendarai sepeda motor. "Ah iya, gue bisa telpon suruhan papa sih dan gue suruh kesini buat bawa belanjaan." Jessi mengetik sesuatu diponselnya lalu mulai menelepon seseorang. Abra menggelengkan kepalanya melihat Jessi yang tidak menyerah begitu saja demi jajan yang dibelinya. "Kok gak diangkat-angkat sih?" Jessi menggerutu kesal. "Kan sudah gue bilang, dilanjut besok saja." "Kalau besok, lo kerja." "Lo tau darimana gue mulai kerja lagi besok?" tanya Abra seraya mengernyitkan dahinya heran. "Dari Balder," jawab Jessi dengan raut wajahnya yang polos sekali. "Lo sering hubungin dia?" tanya Abra lagi. "Cuman soal lo doang." "Bicara ke gue langsung, jangan ke orang lain." "Kan dia teman lo." "iya tapi alangkah lebih baiknya bicara sama gue langsung." Abra menunjuk dirinya sendiri. "Kalau lo cuek ke gue gimana? Lo biasanya sering cuekin gue." "Emang Sekarang gue cuekin lo?" "Enggak sih." Jessi menggeleng. Abra menghembuskan napasnya kasar tapi ia tak bisa marah pada gadis itu dan melanjutkan jalannya sedangkan Jessi membuntutinya dari belakang. "Dibilang jangan bayari gue, banyak lho belanjaan gue." Jessi menahan tangan Abra yang akan mengeluarkan dompetnya dari saku celananya. "Sudah diam." Abra menarik tangan Jessi supaya tidak menahannya ketika ia sudah berada di depan kasir. Abra meraih belanjaannya satu demi per satu diletakkan di atas meja kasir dan pegawai kasir tersebut segera melakukan pekerjaannya. "Lain kali gue belanja sendiri deh, tiap gue pengen ini itu selalu lo yang bayarin. Nanti uang lo habis gimana?" Jessi bersedekap d**a di sampingnya dan mengerucutkan bibirnya. Abra tersenyum tanpa diketahui oleh Jessi. Selesai membayar semua belanjaan, Jessi buru-buru meraih salah satu kantung plastik berwarna biru dan dibawanya ditangannya. "Berat, biar gue aja." "Enggak, ini ringan. Lo malah bawa dua kantung plastik ukuran besar. Berat lo lah." Jessi menggeleng ketika diminta Abra kantung plastik yang dibawanya. "Tangan lo nanti sakit." "Engga papa." Jessi menggeleng lagi. ... "Bagaimana keadaanmu sekarang, Dipta?" "Aku baik- baik saja om cuman luka kecil aja, ini terlalu berlebihan." Dipta menatap Delmon yang baru saja tiba di ruangannya dan ada dua pengawal yang berjaga di balik pintu ruang inapnya. "Tetap saja, om mengkhawatirkan kondisimu. Om juga sudah mengurus para preman yang merampokmu kemarin." "Mereka bukan utusan orang kan?" "Bukan, mereka hanya preman biasa. Tombol keamanan milikmu sedang diperbaiki dan motormu juga diganti lebih baru lagi." "Kalau motor, aku gak mau diganti. Itu motor kesayanganku." "Berulang kali kamu hampir celaka karena motormu itu." "Baiklah aku bisa menunggu motorku selesai diperbaiki dalam jangka waktu yang lama." "Yakin? Kamu selalu mengambil motormu itu tanpa izin dariku terlebih dahulu." "Iya om ya, aku paham." "Ini kaca mata barumu, kemarin kaca matamu pecah." Delmon memberikan sebuah benda berbentuk melonjong dan di dalamnya berisi kaca mata baru yang minusnya juga sesuai seperti biasa Dipta pakai. Ko "Terima kasih, Om dan aku mohon yang bawa tante Freya ke sini. Bilang saja yang apa adanya, aku hanya luka kecil saja." "Iya nanti om urus itu." "Lalu pulangku kapan, Om?" tanya Dipta yang sudah sangat merindukan kamarnya. Ia lebih nyaman tiduran di kamarnya dibanding di ruang inapnya ini meski bukan ruangan inap biasa. "Besok pulangnya, kamu banyakin istirahat. Besok om yang urus sendiri juga izinmu di sekolah." "Terus bocah yang om suruh jaga aku, pulang hari ini kan?" "Iya," jawab Delmon sambil tersenyum. "Syukurlah kalau begitu." Dipta bernapas lega karena tidak ada keributan nantinya dan ia bisa tenang berada disini tanpa ada kebisingan suara Balder. "Kalau begitu, om mau balik kerja." Delmon melirik arlojinya yang melingkar indah dipergelangan tangannya. "Iya, Om. Hati-hati." Setelah Delmon keluar barulah Balder masuk ke dalam ruangan yang memang sebelumnya Balder diperintahkan keluar lebih dulu karena ada perbincangan penting antara Delmon dan Dipta. "Buset pengawalnya banyak banget." Balder berdecak kagum melihat beberapa pengawal mulai pergi meninggalkan ruangan ini. "Tutup kembali pintu itu!" Suruh Dipta pada Balder yang masih betah berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan para pengawal Delmon. "Oke-oke." Balder mengangguk paham dan tangannya bergerak menutup kembali pintu ruangan ini. "Nanti lo diantar pulang, bersiaplah." "Padahal gue masih ingin main game lo lagi." Balder memandang sendu sebuah laptop yang sempat dipinjami oleh Dipta sedang dicharger. "Beli lah." "Enak sih lo ngomong langsung ada yang nurutin, beda sama gue yang harus kerja dan nabung dulu biar bisa beli apa yang gur inginkan itupun kadang uang beberapa terpaksa diambil buat kebutuhan hidup." "Terus lo menyerah gitu aja?" "Enggaklah, gue tetep semangat kerja sambil nabung buat beli barang yang gue impikan." "Emang lo kerja apa?" tanya Dipta yang mendadak penasaran. "Mesin, kan kita pernah ketemu kalau gak salah di bengkel. Lo sama Jessi." "Oh ya gue baru ingat." Dipta mengangguk saja dan menyuruh Balder tetap berada di kamar tidurnya sendiri. Baru saja Dipta akan merebahkan tubuhnya, pintu ruang inapnya terbuka dan disana terlihat dua orang berbeda gender tersebut. "Dipta, gimana kondisimu?" Jessi tersenyum seraya mengambjl kuris dan duduk di samping kasur brangkarnya Dipta. "Abra!" Pekik Balder yang langsung heboh mengetahui temannya ada disini. "Ini rumah sakit." Tegur Abra pada temannya itu yang seperti bocah. "Lo bawa charger gak? Baterai gue habis, tuh orang gak mau minjemin chargernya." Balder mengadu pada Abra sambil menunjuk Dipta yang menatapnya datar. "Gak bawa gue." Abra menggeleng sembari meletakkan buah-buahan yang katanya kesukaan Jessi. Abra membeli buah-buahan itu sewaktu di tengah perjalanan menuju rumah sakit. "Gue bawa." Jessi mengeluarkan chargernya dari dalam tasnya. "Bukannya gak mau minjemin, rusak charger gue ntar. Charger hp sambil dipakai." Dipta menahan rasa sesalnya karena ada Jessi disini. Ia tidak ingin menunjukkan emosinya dan berusaha sabar sebisanya. "Terima kasih cantik." Balder tersenyum lebar menerima charger yang diberikan oleh Jessi dan Jessi membalas juga dengan senyuman lebarnya. "Iya sama-sama ganteng." Dipta dan Abra sama-sama menatap sinis ke arah Balder yang dipanggil ganteng oleh Jessi. Balder melambaikan tangannya lalu rebahan di sofa yang kebetulan di sebelahnya ada meja kecil sekaligus ada stop kontak. "Besok sekolah?" tanya Jessi pada Dipta. "Besok lusa gue sekolahnya kayaknya sih." Dipta seketika suasana hatinya membaik karena ada Jessi namun ia tetap ada rasa tidak sukanya melihat Abra ada disini juga. Abra duduk di samping Balder yang sedang asyik sendiri dengan ponselnya. Sedangkan Abra sesekali melihat ponselnya dan melihat Jessi. "Semoga cepat sembuh lukanya. Pasti sakit banget." Jessi melihat wajah Dipta yang masih ada lukanya. "Iya Jes, tapi sekarang sudah mendingan daripada kemarin." "Syukurlah kalau begitu, nanti jangan coba-coba lewat jalan yang gelap dan sepi. Bahaya." "Iya mungkin gak lagi deh, gue gak bisa lawan." "Makanya belajar bela diri, jangan lemah jadi cowok." Balder tiba-tiba menyinyiri Dipta yang tidak bisa menjaga dirinya sendiri dan hanya bisa pasrah ketika dipukuli oleh orang. Dipta mendelik sejenak ucapan berupa sindiran Balder kepadanya. "Nah benar apa yang dikatakan Balder. Dipta belajar bela diri gih." Jessi menyetujui ucapan Balder membuat Dipta "Emm ya gue pengen aja tapi itu butuh waktu yang lama," ujar Dipta dan tersenyum menatap Jessi. Walau ia tidak yakin bisa melawan orang atau tidak karena merasa kekuatannya itu tidak ada untuk melawan. "Kan bisa diajarin sama Abra. Ya kan Abra?" Jessi menoleh, menatap Abra yang terkejut dirinya kena juga. "Enggak. Si Balder ini yang lebih paham daripada gue." Abra menunjuk Balder dan Balder memasang raut wajah tak terima. "Kok jadi gue juga sih?" "Yahh kalian gak mau ya ngajarin temen gue supaya bisa berantem?" Jessi memasang wajah sedihnya mengetahui mereka berdua secara tidak langsung menolak. "Bukan gue yang jago, tapi Balder yang paling jago kalau soal ini. Gue juga gak bisa ngajarin orang lagian sampai sekarang Balder masih belajar dipadepokan dan kakek dia, guru disana." Abra pun menjelaskan alasan dirinya tidak ingin jadi gurunya Dipta karena temannya yang lebih paham dan yakin bisa mengajari Dipta. Balder reflek menepuk pundak Abra. "Maksud lo?!" Balder memekik tanpa suara tapi memang benar ucapan Abra tadi sehingga Balder tidak bisa mengelaknya. "Wah keren dong, ayolah Balder ajarin Dipta biar dia bisa berantem dan lawan orang yang suka bully dia juga." Pinta Jessi dan kini berlutut di depam Balder. "Jangan berlutut!" Balder segera berdiri dan menyuruh Jessi kembali berdiri. "Iya ya gue mau tapi ada syaratnya." Balder melirik Dipta juga ketika mengatakan sebuah syarat. "Apa itu?" ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN