Part 39: Lomba Minggu Depan

2131 Kata
Setelah kumpul di lapangan basket outdoor sekolah, seluruh murid memasuki kelasnya masing-masing saat terdengar suara perintah dari kepala sekolah dan gemuruh suara seluruh murid juga menggema di lapangan sampai ke dalam kelas mereka masing-masing. Bagaimana tidak heboh di hari ini? Ada pengumuman yang banyak dinanti-nantikan yaitu perlombaan antar kelas. Perlombaan antar kelas ini selalu di adakan setiap satu tahun sekali tepat di tengah semester satu. Hanya saja dilakukan selama seminggu berturut-turut dan murid juga wajib masuk sebab perlombaan ini bukan untuk ajang bagi murid yang suka tidak masuk sekolah tanpa alasan yang tidak jelas. "Baru kali ini di sekolah ada acara lomba, biasa lomba agustusan yang kayak makan krupuk, masukin paku dan lainnya." Gumam Balder saat membaca apa saja lomba yang diadakan minggu depan. "Lo ikut basket Bal?" tanya Jessi yang baru saja duduk dibangkunya dan melihat Balder masih berdiri di depan kelas sambil membawa kertas HVS. "Iya dong." Balder mengangguk semangat dan menyuruh sang ketua kelas untuk segera mencatat namanya. "Gue juga." Jessi ikut tersenyum lebar lalu menoleh, menatap Abra yang bersikap biasa saja sambil membaca buku sejarah. "Abra gak ada niat ikut lomba?" tanya Jessi penasaran. Abra melirik Jessi sekilas dan kembali lagi membaca materi sejarah yang baru. "Diam mulu mesti." Jessi menghembuskan napasnya kasar seraya beranjak berdiri dan ikut bergerombol untuk mendaftarkan diri. "Permisi, minggir-minggir gantian dulu!" Seru Jessi pada mereka yang tak ingin bergantian sehingga Jessi bersusah payah menerebos gerombolan di bangkunya ketua kelas. "Yah kok udah penuh, tahun kemarin kan gue ikut lomba basket." Jessi mendesah kecewa dan tak terima dirinya tidak diikutsertakan lomba basket. "Gantian Jes, lagian banyak cewek yang jago basket di kelas dan ini biar seimbang aja buay yang gak bisa basket tapi pengen ikut basket. Lo ikut lomba yang lain kan masih banyak tuh pilihannya," ujar temannya. Jessi merasa kesal sekali sebab ia sangat menyukai olahraga itu dan kini terpaksa mengalah karena banyak yang memilih ikut lomba basket. Lantas Jessi keluar dari kelasnya dan wajahnya pula berubah menjadi datar. Dipaksa untuk mengalah itu sangat menyakiti hatinya padahal Jessi tidak sabar mengikuti lomba ini dan memenangkan lomba basket minggu depan. "Eh tapi Jessi itu kapten basket sekolah kita, masak dia gak ikut?" "Ya harus gantian lah." Tanpa mereka ketahui, Abra memperhatikan Jessi sedari tadi dan ia juga ikut keluar kelas lalu menyusul langkah Jessi yang begitu cepat. Tentu pergerakannya yang tiba-tiba itu menimbulkan perhatian murid lain dan ada yang berbisik-bisik. "Itu temen lo keluar kelas, mau bolos." Seseorang menyenggol lengan Balder dan Balder pun sempat menatap punggung Abra sekilas. "Napa?" "Lo gak ikut bolos?" "Dia gak bolos kali." Balder menatap sekitar kelasnya sambil manggut-manggut seolah sudah paham mengapa temannya keluar kelas begitu saja. "Lha terus kalau gak bolos apa coba sebutannya? Kalau keluar kelas kan harus izin dulu." "Ya biarin lah, terserah dia mau bolos atau enggak." Balder mengedikkan bahunya acuh. "Ya maksud gue, lo gak ikut dia bolos kan dia temen lo." "Apapun yang dia lakukan, ada alasannya. Sudah deh lebih baik lo diam Arif Abdullah." "Nama gue Arif Abdian." Teman sebangku Balder itu melototi Balder karena namanya salah disebutkan. "Oh affah iyah?" "Males gue ngomong sama lo." Arif pun beranjak berdiri dan memilih bergabung bersama anak lain. Balder bersedekap d**a dan tersenyum lebar. Balder menatap ke arah pintu lagi, "Ngapain ya tuh bocah keluar? Sama Jessi juga kah?" Balder celingukan dan penasaran alasan temannya itu tiba-tiba keluar dari kelas. Jika membolos pasti Abra akan mengajaknya. Sedangkan disisi lain... Jessi menghembuskan napasnya begitu berat, beginilah jika ia merasa emosi tapi ia menahannya karena tak mau membuat hubungan pertemanan dengan teman sekelasnya rusak. "Ngeselin banget sih mereka." Jessi meremas sisi roknya. Gadis itu melangkah gontai menuju sebuah koridor yang mengarah ke rooftop. "Semoga gak dikunci deh." Jessi makin mempercepat langkah kakinya ketika akan sampai di pintu masuk menuju rooftop namun Jessi harus memeriksanya terlebih dahulu. Apakah pintu itu bisa dibuka atau tidak. "Syukurlah gak dikunci." Jessi tersenyum lebar mengetahui pintu tidak dalam keadaan terkunci kemudian Jessi masuk ke dalam dan tak lupa menutup pintu itu kembali. Jessi tersenyum lebar sambil merentangkan kedua tangannya. Rasanya menenangkan sekali jika dilanda emosi datang ke tempat ini. Meski cuaca hari ini sangat menyengat kulitnya, tak membuat Jessi ingin segera mencari tempat teduh dan Jessi berdiri di dinding pembatas. "Gue disini kayak mau goreng tubuh gue sendiri deh. Panas banget." Jessi merenggangkan otot-otot tangannya dan lehernya yang terasa kaku sekali. "Cari tempat teduh, jangan disini." Suara derap langkah kaki seseorang mendekat ke arahnya dan orang itu menyarankan Jessi supaya mencari tempat untuk berteduh. Tubuh Jessi menegang mengetahui siapa si pemilik suara itu dan langsung membalikkan tubuhnya ke belakang. "Lho kok lo kesini? Gue gak lagi menghalu kan?" Jessi menangkup wajahnya sendiri dan masih melongo menatap seseorang yang sudah berdiri di hadapannya. "Abra, ih malah ninggalin gue!" teriak Jessi kesal sambil berjalan di belakang Abra. Abra duduk di atas bangku dan kebetulan di tempat yang didudukinya ini ada atap jadi untuk mereka berteduh. Jessi ikut duduk di samping Abra. "Masih ada perlombaan lain, tidak harus fokus ke satu saja." "Lo denger ya tadi?" Jessi terkejut mendengar ucapan Abra yang membahas apa yang Jessi bicarakan dengan teman-temannya. Abra mengangguk. "Ya habisnya gue pengen banget ikut lomba basket." "Terkadang apa yang kita harapkan tak sesuai kenyataan. Tak perlu berkecil hati masih ada banyak hal yang harus dicoba selain apa yang lo inginkan itu. Ada sisi baiknya ketika lo gak ditakdirkan ikut lomba basket dan mungkin kali ini lo disuruh pilih lomba yang lain. Cobalah sesuatu yang baru itu menyenangkan," ujar Abra menjelaskan panjang lebar pada Jessi. Jessi melongo lagi mendengar ucapan Abra yang panjang dan jelas. Biasanya laki-laki itu sering mengucapkan kalimat singkat dan terkadang juga tak bisa dirinya pahami. "Sulit." "Lo belum mencobanya." "Jujur sih masih sakit hati gue sebenernya dan gak terima kalau harus mengalah. Tapi semuanya rata-rata tadi pada setuju kalau gue gak ikut basket dengan embel-embel harus gantian. Padahal kelas kita biar menang kalau gue ikut." Abra beranjak berdiri dan menghadapkan tubuhnya di depan Jessi. Jessi memundurkan tubuhnya dan perasaan malah menjadi gugup lagi. "Berikan kesempatan murid lain yang ingin merasakan lomba itu. Lo kan sudah ikut eskul basket dan sering tanding juga kan? Lagian lomba itu hanya lomba biasa saja." "Iya bener juga sih. Cuman rasanya gatel aja gitu kalau gak ikutan lomba basket juga." "Masih ada pilihan lomba lain, coba yang baru itu lebih seru." "Lomba apaan juga, gue bisanya cuman basket doang." Jessi mencebikkan bibirnya kesal dan raut wajahnya berubah dratis, tak seceria tadi pagi. Abra tak ingin ekspresi itu muncul di wajah Jessi terlalu lama dan ia yakin akan mengembalikan suasana hati Jessi menjadi lebih baik dari ini. "Nih." Abra memberikan sebuah lembar kertas pada Jessi. "Lha lo punya?" "OSIS kasih empat lembar dan gue minta satu." "Pantesan lo santai amat ternyata punya kertasnya juga." Jessi menggeleng kepalanya tatkala baru tau kalau Abra juga memiliki lembar kertas yang bertuliskan pilihan lomba antar kelas yang akan diadakan minggu depan. "Baca gih!" Abra pun melangkahkan kakinya entah kemana, ia hanya ingin melihat-lihat rooftop sekolah yang baru diketahuinya. Sedangkan Jessi masih sibuk membaca pilihan lomba selain lomba basket. Jessi mengerucutkan bibirnya karena lomba-lomba khusus siswi tidak ada yang disukainya selain basket. "Haduh sulit semua, gue gak bisa voli entar tangan gue memar, gue gak bisa sepak bola, gue gak bisa renang ah sulit sekali." "Selain olahraga kan ada," ujar Abra merespon ucapan Jessi tanpa menatap gadis itu dan kini Abra sedang memandang lapangan basket dari tempat ini. Jessi mendengus sebal dan melanjutkan bacaannya lagi karena sebelumnya ia hanya fokus pada bagian olahraga. "Gue gak mau kalau akademik dan pilihan terakhir itu lomba dance. Gue gak bisa semua hue." Jessi berlari kecil menghampiri Abra sambil merengek. "Lomba dance? Keren itu, coba aja." Abra meraih kertas informasi perlombaan ditangan Jessi dan membaca aturan lomba dance. "Dibilang gue gak bisa." Jessi masih merengek sambil menggelengkan kepalanya. "Lo belum mencobanya." "Gue udah pernah nyoba, tetep gak bisa. Badan gue kaku semua." "Gue pengen lihat lo ngedance." Kalimat yang diucapkan oleh Abra baru saja mampu membuat Jessi tak bisa berkata-kata apa lagi. Beberapa menit Jessi terdiam disadarkan oleh Abra yang menepuk pundaknya. "Bel istirahat berbunyi." "Eh? Eh iya." Jessi terlonjak kaget dan agak menjauh dari Abra. Jessi tersenyum malu sambil merapikan rambutnya untuk menimalisir rasa gugupnya yang makin menjadi-jadi rasanya kali ini. Abra melengos pergi dari hadapan Jessi dan Jessi masih mematunh di tempatnya berdiri. "Sumpah bingung gue sama sifatnya dia, argh membingungkan." Jessi menggigit kuku jarinya dan perasaannya bercampur aduk gegara sifat Abra yang tiba-tiba sepeduli itu kepadnya tadi padahal biasanya lelaki acuh kepadany. Kejadian inj tidak hanya sekali saja melainkan berulang kali. "Emm apa mungkin dia itu gengsinya gede ya? Cuek tapi perhatian aw rasanya nano nano sih." Jessi senyum-senyum sendiri dan mulai melangkah pergi dari tempat ini. ... "Niat banget lo bawa laptop segala." Anya geleng-geleng kepala melihat Dipta mengeluarkan laptopnya dari dalam tas dan kini mereka berdua tengah berjalan bersama menuju ke sebuah tempat yang menurut mereka paling aman untuk membahas seseorang. "Namanya juga cari tau ya niat lah." "Iya bagus sih ntar gue bisa pinjam buat main game." "Jangan lupa dilihat batrenya juga." "Siap!" Anya tersenyum lebar dan tak sabar nanti sewaktu istirahat kedua dirinya akan meminjam laptop milik Dipta untuk bermain game. Sesampainya di tempat tujuan mereka, Dipta dan Anya masuk ke dalam ruangan tersebut setelah melepaskan alas kaki mereka. Anya san Dipta berada di perpustakan yang tak terlalu ramai dan suasananya sangat begitu menenangkan. Tak salah mereka memilih tempat ini demi bisa membahas perihal lanjutan yang kemarin. Ketika sudah menemukan tempat yang tepat, Dipta mulai menyalakan laptopnya sedangkan Anya mengambil asal n****+ supaya tidak dicurigai oleh penjaga perpus kalau mereka disini hanya numpang duduk saja. Perpustakaan di sekolah ini memiliki beberapa aturan dan salah satunya adalah dilarang nongkrong di perpustakaan jika tidak ada tujuan yang jelas. "Bentar mindahin file foto dulu." "Kirim ke gue juga dong, penasaran sama wajahnya tante Naura. Agak-agak lupa gue karena udah lama banget gak ketemu dan orangnya juga gak pernah kelihatan di tv." "Iya ya sabar." Selanjutnya, Dipta mulai menyusun keempat foto dijadikan menjadi satu layar. Dimana di atas ada foto Faisal dan Asher lalu di bawahnya ada foto Naura dan Abra. "a***y jelas banget." Jikalau Anya tidak sadar sekarang berada di perpustakaan pasti sudah berteriak heboh sendiri. "Jelas dan lebih jelas lagi wajah tante Naura sama om Asher lama-lama kalau gue bayangin foto mereka gabung menjadi satu mirip sama wajahnya Abra." "Bener, kalau mereka jadi orang tua itu cocok banget karen miripnya banyak nah kalau si Faisal gak terlalu mirip sama bokapnya dan cuman beberapa saja doang sih. Abra lebih mirip dan cocok jadi wnak mereka." Anya sangat serius mengamati foto dari ketiga orang tersebut dengan telitinya. "Dilihat-lihat memang bener banget. Abra mirip sama mereka." "Eh kita juga lupa sesuatu." "Lupa apa?" "Bandingin juga sama orang tuanya Abra." "Astaga kenapa gak dari kemarin sih baru ada pikiran itu?" Dipta menepuk jidatnya setelah mendengar saran dari Anya. "Gue baru kepikiran, hadeh. Eh tapi kita dapatnya darimana coba? Abra aja gak main sosmed." Anya menggaruk kepalanya, beginilah jiwa-jiwa stalker jika sudah kambuh dan rasanya kurang kalau tidak mencari tau lebih dalam. "Itu masalahnya, gue gak tau foto istrinya Pak Seno." "Masak lo gak tau sama sekali?" "Sejak gue waktu kecil dulu, gue gak pernah lihat Pak Seno sama istrinya dan tiba-tiba aja ada rumor istri Pak Seno sudah meninggal dari lama kemungkinan waktu kita masih bayi." "Duh gimana ya nyarinya? Gue belum puas kalau gue gak tau foto istri Pak Seno juga dan kalau wajah Abra mirip ibunya berarti Abra cuman kebetulan mirip sama Om Asher dan Tante Naura. Tapi kalau wajah istrinya Pak Seno gak ada kemiripan sama sekali dengan wajahnya Abra, itu udah tanda-tanda sih kalau dugaan kita memang benar." "Emm gue ingat, Felix itu murid paling cerdas, pendiam, jarang pasang wajah happy, deketnya sama Jessi saja dan kebetulan pula Abra mirip banget sama sikap Felix dulu ditambah lagi Jessi yang mudah nyaman sama Abra padahal masih baru dikenal. Itulah alasan besar gue pengen cari Felix, lihat Jessi sedih dari dulu karena kehilangan Felix itu juga buat sedih." "Berarti lo sudah ikhlas kalau Jessi bahagia sama cowok lain?" tanya Anya hati-hati dan takut melukai hatinya Dipta jikalau pertanyaannya ini menyinggung perasaannya. "Cinta gak boleh dipaksa kan?" "Bener, cinta itu tidak boleh dipaksa." Anya tersenyum sambil mengangguk. Ucapannya itu juga menyadarkannya bahwa dirinya tsk boleh memaksakan diri agar bisa dicintai oleh Dipta yang diketahuinya Dipta menyukai Jessi sejak lama dan juga Dipta benar-benar menganggapnya sebagai sebatas teman saja. "Gue sudah siapin semuanya terutama hati gue. Ini salah gue sendiri yang suka sama temen yang jelas-jelas gue dimatanya cuman berteman saja dan gak lebih dari itu." Anya mengusap pundak Dipta dan berusaha menahan bibirnya yang selalu ingin menyatakan perasannya kepada Dipta. Anya dan Dipta sama-sama merasa takut hubungan pertemanan mereka menjadi rusak jikalau ada rasa lebih di antara keduanya. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN