Part 36: Kesal

1955 Kata
"Saya tidak menyangka Anda Bapak datang di acara ulang tahun saya, terima kasih Pak Asher. Padahal Anda baru saja tiba di Indonesia dan langsung menuju ke rumah saya." Seorang pria paruh baya, mengenakan jas berwarna putih dam berkaca mata menatap sosok atasan kerjanya yang tengah tersenyum sambil menjabat tangannya. "Karena kegigihan Anda selama bekerja di perusahaan saya, saya sangat bersyukur sekali mempunyai karyawan yang sangat patuh dan selalu disiplin itulah yang membuat saya ingin datang ke acara Anda. Sekali lagi saya ucapkan selamat bertambahnya usia, bahagia selalu dan sehat sekeluarganya." "Aamiin, Pak. Terima kasih saya ucapkan, saya benar-benar bahagia sekali Bapak datang kemari." "Tapi Dika, saya tidak bisa berlama-lama disini." "Oh tidak apa, Pak. Saya mengerti kesibukkan bapak selama ini, Anda datang saja sudah bersyukur sekali. Saya juga mau mengajak Bapak melihat aneka kuliner yang sudah saya sediakan disini." "Wah kamu memilih makanan dari dagangan kaki lima ya." "Sebenernya ini usulan dari istri saya, Pak. Tapi semua makanan dan minuman ini langganan saya. Saya anter buat mencoba makanan dan minuman mereka satu per satu." Dika adalah seorang salah satu karyawan Asher, walau masih baru bekerja di perusahaan Abraham sudah membuktikan kinerja yang cukup bagus kepada Asher. Dika sendiri bekerja keras terus supaya mendapat posisi yang lebih tinggi lagi dan ia terus mencari perhatian pada Asher. Dika jarang melakukan kesalahan terhadap pekerjaannya ditambah lagi masih lumayan banyak posisi kosong di perusahaan Asher dan Asher masih memilih secara selektif sekali salah satu karyawannya yang akan dinaikkan pangkatnya. "Enak-enak juga makanannya, kamu sangat pintar sekali memilih makanan seenak ini dan konsep acara ulang tahunmu ini sungguh terlihat unik menurutku." Asher tak berhenti memuji pesta acara ulang tahun salah satu karyawannya yang bekerja dibagian administrasi. "Ah saya jadi malu, dipuji terus oleh bapak dan terima kasih Pak. Memang langganan saya itu tidak ada duanya." Saat mereka meneruskan berkelilingnya, Asher dan Dika menghentikan langkahnya setiba di salah satu stand makanan yakni bakso. "Ini bakso, langganan saya sudah lama Pak." Dika menyapa Seno ialah kang bakso langganannya sejak lama. Seno tersenyum ramah ke arah mereka berdua dan tatapannya juga sempat bertemu dengan mata Asher. Namun Seno tak terlalu berlama-lama menatap pria yang umurnya juga sama sepertinya. "Silakan dinikmati, Pak." Seno melayani mereka lalu orang-prang berjas juga mendekati stand makanannya dan memang tak asing lagi makanan ini. Seno melirik putranya yang juga membantunya melayani beberapa orang yang ingin mencicipi bakso buatan Seno. "Itu anakmu kah?" tanya Dika penasaran sambil menunjuk sosok laki-laki remaja yang baru saja berdiri dan membantu Seno. "Iya, anak saya Pak." Seno mengangguk. Abra mengabaikan Asher dan Dika. Ia terus menundukkan kepalanya dan mengenakan masker, menutupi sebagian wajahnya. Itupun Seno tadi sempat meminta ke panitia penyelenggara dan syukurlah ada yang mau memberikan masker kepadanya untuk Abra. "Mengapa dia mengenakan masker? Apakah lagi sakit?" tanya Dika yang salah fokus menatap Abra. Abra berusaha untuk tetap fokus melakukan pekerjaannya dan tak mau terlalu mendengarkan obrolan mereka. 'Gue lupa gak bawa heandset'--ucap Abra kesal di dalam hatinya.. "Enggak, putraku sehat hanya saja suka mengenakan masker dimana pun dia pergi." "Dia tidak menyapa kita?" Asher membuka suaranya saat dirasa dirinya tidak dihargai oleh seorang anak dari penjual bakso. Seno merasa bingung karena kejadian ini sangat mendadak sekali dan benar-benar tidak tau bahwa Dika adalah seorang karyawan dari perusahaan Abraham. Jika ia tau pasti melarang putranya datang ke tempat ini namun namanya takdir tidak ada yang tau kedepannya seperti apa. Hal yang ditakuti Abra telah terjadi sekarang dimana Abra dipertemukan lagi oleh ayah kandungnya sendiri walau di situasi dan kondisi yang tidak terduga. Abra yang merasa disindir oleh Asher pun perlahan dengan sekuat tenaganya melawan rasa takutnya, mendongakkan kepalanya lalu menatap Asher. Ia tak bisa menatap terlalu lama dan membuang pandangannya ke arah lain. "Sangat tidak sopan bukan?" Asher tersenyum miring dan meletakkan mangkuk bakso yang belum sepenuhnya habis kembali di atas meja. Ia merasa direndahkan melihat sikap anak dari penjual bakso itu menatapnya dengan raut wajahnya yang begitu datar dan bisa-bisanya membuang muka ke arah lain padahal masih ditatap tajam oleh Asher. "Maafkan putra saya, dia lagi dalam kondisi suasana hati yang tidak bagus." Seno menundukkan kepalanya lalu ia berbisik di sisi telinga Abra dan menyuruh laki-laki itu pulang saja lalu menenangkan suasana hatinya di rumah akan jauh lebih baik. "Walau begitu tetaplah harus sopan pada orang yang lebih tua, apakah kau tidak mengajarinya?" tanya Dika pada Seno yang mendadak merubah ekspresi wajahnya menjadi tidak suka sebab mengetahui respon yang diberikan dari anaknya. "Iya, Pak. Nanti saya akan menegurnya. Maafkan anak saya." Seno mengusap pundak Abra. Abra memang ingin pergi dari tempat ini sejak ada ayah kandungnya disini namun ia tak tega meninggalkan ayahnya yang melayani para tamu undangan ulang tahun sendirian pasti Seno akan kewalahan. Sekuat tenaganya Abra menahan diri untuk tidak emosi meski hatinya tersakiti setiap melihat ayah kandungnya disini sekaligus teringat kenangan buruk di masa kecilnya. Rasa takut, sakit hati, kecewa, marah melebur menjadi satu dan terus membekas sampai sekarang. Asher menatap laki-laki remaja itu dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kita ke yang lain aja, Pak." Saran Dika pada Asher karena ia tidak mau membuat suasana hati bosnya itu memburuk setelah mendapat perlakuan tak mengenakan dari orang lain. "Lepas maskermu, aku ingin melihat wajahnya dan berharap tidak akan bertemu lagi." Asher tetap berdiri disini sehingga Dika hanya bisa menurut saja. Seno menoleh, menatap putranya dan pasti Abra mendengar perintah dari Asher. Namun Abra tidak kunjung membuka maskernya membuat Asher merasa kesal. "Disini aku merasa seperti menjadi bawahan seorang anak dari pedagang bakso ya." Asher tertawa dan menatap remeh ke mereka semua. "Tidak, Pak. Anda adalah orang yang saya hormati disini, ini salah saya seharusnya memerintahkan mereka semuanya untuk menghormati tamu penting saya di acara saya." "Konsep acara ulang tahunmu ini perlu dikoreksi." Asher menegur Dika lalu Asher membalikkan badannya beranjak pergi dari tempat ini sedangkan Dika tetap berdiri disini sambil berkacak pinggang. 'Dia tidak berubah dan selalu angkuh kepada siapapun'--batin Abra yang tidak kaget lagi dengan sikap Asher. "Mengapa anakmu ini sangat tidak sopan kepada orang yang lebih tua? Kalau tau anakmu tidak sopan begini, aku tidak akan menyewa makananmu disini." Dika memarahi Seno habis-habisan setelah Asher sudah tidak ada lagi di tempat ini dan Asher diarahkan masuk ke dalam rumahnya Dika. "Maaf, Pak. Tapi memang anak saya--" "Marahi saya saja jangan bapak saya!" Abra membuka suaranya karena sudah merasa sangat kesal sekali melihat Seno dimarahi oleh Dika padahal yang salah adalah dirinya bukan Seno dan seharusnya dirinyalah yang dimarahi. "Oh berani kamu ya, apa orang rendahan sepertimu ini tidak punya sikap yang baik kepada orang yang lebih tua?" Abra melepaskan maskernya dan berkata, "Rendahan Anda bilang? Kejam sekali mulut Anda itu. Mengatakan orang lain rendahan dengan seenak jidatnya, mentang-mentang bapak ini orang berada. Saya diam bukan berarti saya tidak sopan, justru saya sudah berusaha menghormati atasan Anda dengan menundukkan kepala. Masalah sekecil itu saja disepelekan." Tentu apa yang diucapkan oleh Abra ini menarik perhatian semua orang yang ada di acara ulang tahunnya Dika terutama orang-orang yang jualannya disewa seperti Seno. "Abra, sudah Nak." Seno merangkul putranya yang sedang melupakan emosinya dan rasa tidak terimanya dipandang rendah oleh Dika. "Oh berani melawan saya anak ini, saya hanya membayar separuh harga saja." Dika merasa dipermalukan mendengar ucapan Abra menurutnya kurang ajar kepadanya. "Maksud Anda apa membayar separuh harga, kok malah menyangkut ke pembayaran. Bapak beli ya wajib bayar, ini tidak adil sekali. Sama saja yang untung bapak bukan kita." Napas Abra terdengar memburu dan makin tak terima mengetahui dibayar separuh harga. "Karena kamu, saya itu merugi. Kamu tidak bisa menghormati tamu penting saya dan ini akibatnya kamu bersikap tidak sopan. Lain kali jaga sikapmu itu, anak muda sok mendidik saya." Dika meninggalkan stand makanan Seno setelah mengatakan kalimat terakhirnya. "Ini gak bisa dibiarkan begitu saja." "Tidak apa, Abra. Jangan dilawan, rasanya percuma melawan orang seperti Dika dan biarkan saja apa yang dilakukannya." "Tapi bapak rugi bapak jadinya." "Jangan terlalu dipikirkan." Abra juga kesal pada Seno yang terlalu baik kepada orang yang telah merugikannya. "Ayo kita pulang saja!" ajak Abra pada ayahnya. "Ini acara belum selesai." "Pulang saja, kita tidak usah berlama-lama di sebuah tempat yang tidak menghargai kehadiran kita disini. Lagian makanan di meja ini juga sudah pada habis dimakan mereka. Jangan siapin makanan lagi karena bayarnya yang separuh." Abra kekeuh mengajak Seno supaya segera pulang saja ketika mangkuk-mangkuk bakso yang sebelumnya dinikmati sekarang sudah kembali ke mejanya lagi dan juga sudah dibersihkan oleh Abra dan Seno. "Oke, bapak juga ikut pulang dan membereskan semua ini asal kamu harus pergi kemana dulu untuk menenangkan pikiranmu dan suasana hatimu yang memburuk." "Iya, Pak." Abra mengangguk. Mereka pulang lebih dulu dibanding stand makanan dan minuman yang lain sebab Abra sudah tidak tahan lagi berada di tempat ini. Sedangkan disisi lain... Asher tengah mengobrol bersama rekan kerjanya dan ada beberapa karyawannya di ruang tamu rumahnya Dika. Tak lama terdengar ponselnya berbunyi nyaring bertanda ada seseorang yang meneleponnya. Asher melihat siapa yang meneleponnya dan ternyata dari putranya. Awalnya Asher membiarkan saja bahkan mematikan teleponnya namun lama-kelamaan merasa risih juga. Mau dimatikan ponselnya tapi ia butuh kabar penting soal pekerjaan dari sekretarisnya. Akhirnya Asher pamit pulang kepada mereka semuanya terutama kepada pemilik acara hari ini. "Maafkan atas ketidaknyamanannya kejadian tadi ya, Pak." "Tidak apa, saya sudah melupakan kejadian tadi." Asher menghembuskan napasnya pelan dan tersenyum tipis sembari membalas jabatan tangan dari Dika. Asher memasuki mobil yang sudah disiapkan oleh asisten pribadinya dan sopirnya. Sewaktu keluar dari area perumahan, ia tak sengaja melihat seseorang yang baru saja dikenalinya tadi tengah menghentikan motornya di pinggir jalan. "Itu orang tadi kan?" tanya Asher pada asistennya. "Iya, Pak. Dua orang itu anak dan ayah." "Pelankan mobilnya." Entah mengapa Asher merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya sendiri setelah melihat samar-samar wajah Abra dari kejauhan. Mobil melaju makin mendekat dan disana Abra sibuk mengaitkan tali pada motornya. "Nama dia siapa?" "Abra nama anaknya sedangkan ayahnya namanya Seno." Asher mengangguk dan tatapannya masih tertuju pada laki-laki itu. "Dia mirip kakakku," ucap Asher tak sadar dan membuat asistennya terkejut. "Benarkah, Pak?" "Iya, aku tidak salah lihat lagi. Dia hampir mirip sama kakakku." Asher menyuruh sang sopir melajukan motornya dengan kecepatan strandar setelah melihat dengan jelas wajah Abra dari dekat. "Kok bisa mirip ya?" Asher merogoh dompetnya dan melihat dua buah foto masa kecilnya dengan sang kakak, kembarannya. "Di dunia ini memang banyak orang mirip meski tidak satu keluarga. Manusia punya 7 kembaran, itu yang saya ketahui." "Iya, aku tidak asing dengan kata-kata itu," balas Asher dan masih menatap foto kakaknya yang berusia sekitar 12 tahunan. Sekilas lagi Asher mengingat sikap Abra saat bertemu dengannya tadi. Asher merasa Abra tidak menyukai kehadirannya dan ia juga merasa keheranan Abra mengenakan masker sedangkan tadi dirinya lihat Abra tidak mengenakan masker. "Tapi mengapa dia tidak pakai masker saat di luar sedangkan di acara tadi memakai masker? Aneh. Terus sifat dan sikapnya yang sangat tidak sopan sekali. Dia menatap tajam kepadaku dan membuang mukanya ke arah lain." "Saya juga melihatnya, Pak." "Betul ka apa yang aku katakan tadi?" "Betul, Pak." Asistennya itu mengangguk mengerti. "Berharap aku tidak bertemu dia lagi, cukup putraku saja yang menatapku seperti tadi bukan anak orang lain." ... Abra merasa ada yang memperhatikannya, ia pun mendongakkan wajahnya melihat keadaan sekitar dan posisi tubuhnya masih membungkuk karena sedang memasangkan tali yang biasanya dikaitkan ke belakang motornya. 'Mobil itu berjalan pelan waktu jalan ke arah ini lalu melaju kencang'--batin Abra sembari menatap sebuah mobil berwarna hitam yang melintas di hadapannya dengan kecepatan melambat padahal jalanan di sekitar ini sungguh sepi dan toko-toko di pinggir jalan banyak yang tutup. "Abra, sudah selesai kah?" tanya Seno yang baru saja membereskan barang-barang yang diletakkan di atas gerobaknya. "Belum, Pak." Abra kembali melakukan pekerjaannya tersebut walau pikirannya tertuju pada sebuah mobil mewah tadi. Abra tak bisa melihat seseorang di balik kaca mobil tersebut sebab bukan kaca jendela tembus pandang. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN