10. Saya Bisa Hamili kamu, paham?

1652 Kata
Suasana mendadak sunyi karena saran yang Rian lontarkan tadi. Bahkan Tania yang kini sudah berada di samping Amel pun jadi mematung dan Amel malah senyum-senyum sendiri. Ia menatap Tania. Ia tak menyangka sama sekali jika kepulangan Tania ke Indonesia justru untuk Bian, bukan Rian. Ia benar-benar merasa lucu. Bian juga mengarahkan pandangannya pada Tania. Reaksi Tania yang terdiam membuat Bian sangat ingin tertawa. "Heh! Bengong dia." Ucap Amel sembari mendorong lengan Tania. "Gimana itu yang tadi Rian bilang?" Tanyanya. "Ha? Apanya?" "Lah pura-pura budeg ini anak. Itu yang Rian bilang tadi. Omnya cocok itu sama lo. Nggak nyerah aja nyari Rian. Beda satu huruf depan doang itu." Ucap Amel yang membuat Tania semakin salah tingkah. "Saya sudah ajak pacaran, tapi dianya nggak mau." Pernyataan Bian kali ini bukan hanya mengagetkan Tania saja, tetapi juga Amel dan Rian. Bahkan Amel dan juga Rian kompak menatap Tania dengan tatapan tak percaya. Dan di waktu bersamaan isi kepala Amel dan Rian itu sama yaitu sekelas Bian ditolak oleh Tania?. "Lo seriusan Tania? Kok lo tolak? Bukannya itu yang lo bilang tadi di kamar.?" Bisik Amel. "Apaan sih Amel berisik banget." "Kok berisik. Bukannya tadi lo bilang ya lo itu pasti bakalan senang kalau lo bisa jadian sama Bian. Nah itu ditembak lo malah nolak." "Ck! Berisik Amel." Bisik-bisik dua sahabat itu hanya membuat Rian dan Bian bengong. Pasalnya mereka tak bisa mendengar sama sekali apa yang Tania dan Amel bisikan. "Om beneran ngajak Tania pacaran?" Tanya Amel mengambil alih. Bian mengangguk. "Tadi saya ajak tapi dianya nggak mau. Katanya masih mau cari Rian." "What? Ih Tania, Lo seriusan? Padahal tadi lo bilang pas masih di kamar Kalaummmmmmm..." Suara Amel seketika bergumam karena Tania dengan cepat membekap mulut Amel menggunakan telapak tangannya. Rian yang berada cukup jauh dari mereka langsung dengan semangat berlari mendekati kedua gadis tersebut. Ia terlihat seperti emak-emak rempong yang begitu Ingin tahu apa yang sedang digosipkan. "Apa? Apaan? Tania bilang apa tadi di kamar?" Tanya Rian antusias. Bahkan Rian ikut membantu Amel untuk melepaskan bekapan Tania dari mulut Amel. Saat mulut Amel terbebas, Rian langsung membawa Amel kabur menjauhi Tania. "Tania tadi bilang apa?" Tanya Rian sedikit berbisik namun masih bisa didengar oleh Tania dan Bian. "Amel, awas ya kalau kamu bilang. Kita nggak temenan lagi!" "Dih? Ancamannya ngeri banget. Yakin nggak mau temenan sama Amel lagi? Nanti Amel nya aku ambil ya." Gertak Rian. Tania tak menjawab. Gadis itu hanya cemberut. Bahkan Bian melihat Reaksi Tania yang terlihat tak terlalu suka dicandai seperti itu. Amel ingin buka suara Namun ucapan Bian langsung menghentikan Amel. "Kalau Tania nggak mau Jangan dipaksa. Tujuan dia ke Indonesia untuk mencari Rian bukan saya. Mending kita senang-senang di sini. Soalnya besok sudah harus balik." Ucap Bian. Tatapan Rian langsung tertuju pada om nya itu. Jika ia diberi izin untuk berkata jujur, mungkin ia sudah memberitahukan yang sebenarnya pada Tania siapa Om Bian. Rian menghela nafas panjang. Tak hanya Rian, Tania pun ikut melirik ke arah Bian. Entah kenapa kalimat yang Bian ucapkan membuat hatinya tak suka. Ia tak suka mendengar itu keluar dari mulut Bian. Ia tak ada rasa dengan Bian namun kalimat Bian juga tak membuatnya suka. "Kamu mau sama saya lagi atau sama Amel?" Tanya Bian pada Tania. "Ih nggak mau om. Amel nggak terlalu mahir bawanya. Tadi aja hampir nyungsep. Nggak percaya, coba om tanya Rian." "Iya lho Om. Padahal tadi udah Rian tawarin kan untuk sama Rian aja, dianya nggak mau. Ujung-ujungnya di sana tadi hampir nyungsep dia. Untung nggak nyungsep beneran. Kalau jadi kan berabe. Cukup bahaya deh kalau Amel boncengin Tania. Nanti malah beneran kebalik ATV, ATV rusak bisa diperbaiki, nah kalau dia patah-patah tulang gimana om." Ucap Rian meyakinkan. "Kalau saya sih terserah Tania. Kalau mau diboncengin lagi ya sini." Bian menepuk kursi bagian belakangnya. Amel menatap ke arah Tania, "udah buruan sana. kalau lo sama gue, Gue nggak berani tanggung jawab ya kalau terjadi apa-apa. Masalahnya gue sendiri hampir kejengklang tadi di ujung. Jadi Lo serius mau boncengan sama gue? Kalau mau mati muda ya iya ayuk!" Ucap Amel. "Nggak mau lah. Aku belum nikah, belum punya anak, belum bahagia sama keluarga kecil aku." "Nah itu lo tahu. Buruan sama Om Bian aja. Lagian perjalanan kita itu masih jauh ke atas. Gue juga berhenti di sini buat foto-foto doang." Tania mendengus kesal, "Ya udah iya." Tania melangkahkan kakinya dengan sedikit berat ke arah Bian. tanpa bicara patah kata pun tanya langsung naik ke atas ATV. Dan sepanjang perjalanan, Bian tak lagi mengajaknya bicara. Tania bahkan sudah memancing Bian dengan tak mau memeluk pria tersebut, namun berbeda seperti tadi, kali ini Bian tak memintanya untuk memeluk pinggang pria itu. "Kamu nggak minta aku buat pegangan gitu?" Tanya Tania yang akhirnya menyerah dengan kebisuan Bian. Lagi-lagi Bian nyaris tertawa lepas. Tania benar-benar polos. Dan ia tak akan membiarkan gadis polos ini lepas ke tangan orang lain. "Om, kenapa diam Om? Aku nanya loh." "Ya kamu mau saya jawab apa?" "Ya kayak biasanya kek." "Kayak biasa maksudnya? saya sama kamu ke puncak barengnya itu baru kali ini." "Ya kayak tadi Om." "Saya bukan Om kamu." "Ya udah iya kayak tadi ya Bian." ucapnya kesal. Bian mengulum senyumnya. perutnya benar-benar terasa geli. Untung ia saat ini menghadap ke depan dan Tania di belakangnya. Jadi senyumnya ini tak bisa dilihat oleh Tania secara langsung. "Kayak tadi gimana?" Ulangnya. "Ya kayak tadi. waktu aku hampir jatuh, kamu suruh aku buat pegangan sama kamu." "Ooo, Ya udah pegangan." Ucapan Bian membuat Tania semakin kesal. Ia memukul pundak Bian cukup kuat membuat pria itu meringis seketika. "Sakit Tania!" "Au ah bodo." Dan kali ini Bian benar-benar tak bisa lagi menyembunyikan tawanya. Perutnya yang sedari tadi geli semakin bertambah geli yang membuatnya langsung tertawa terbahak-bahak. Tentu saja tawa Bian yang cukup keras membuat Tania bingung. "Ngapain ketawa?" tanyanya Bian menggeleng, namun pria itu tetap tersenyum geli. ia mencoba mengulum bibirnya untuk tak mengeluarkan suara tawa lagi. "Jadi gimana nih? pegangan nggak nih?" "Udah nggak mau. udah nggak mood aku." "Oo ya udah. Tapi kalau jatuh saya nggak tanggung jawab ya." "Iiihhh, apaan sih. Nggak banget deh jadi cowok." "Lah salah lagi. Salah saya apa lagi? Emang bener ya Kalau cowok itu selalu salah di mata cewek." "Kalau cowoknya kayak kamu iya." "Terus mau cowoknya kayak apa? Saya ini sudah paket komplit lho. Ganteng iya, baik iya, kaya raya iya, apalagi?" "Diihh.. pede banget muji diri sendiri." "Ya harus dong. kalau bukan saya yang muji siapa lagi?" "Dasar narsis." Celetuk Tania. Bian kesusahan menahan tawanya. Apalagi saat ia tetap mendengar Tania mendumal namun lengan gadis itu perlahan melingkar di perutnya. Jika semuanya berpikir Bian akan cemburu karena Tania memilih untuk mencari Rian-nya, kalian semua salah. Bian justru tak menaruh cemburu sedikitpun, karena memang Rian yang Tania cari adalah dirinya. jadi sampai kapanpun Tania tidak akan bisa menemukan Rian-nya karena Rian-nya saat ini ada di depannya, hanya saja Tania tidak mengetahui itu. "Ngomong-ngomong bicara soal Rian kamu saat kecil itu, ciri-cirinya seperti apa sih? Ya siapa tahu saya pernah lihat kan." Tania melonggarkan sedikit jaraknya dengan Bian. Ia menatap kepala Bian bagian belakang, lalu kembali memeluk pria itu lagi. "Yang jelas dia lebih ganteng dari kamu." Jawab Tania ketus. "Eiitsss, jawaban apa itu. Saya ini udah paling ganteng loh." "Dih mulai lagi pedenya." "Saya serius. Banyak lho cewek-cewek yang naksir sama saya, sayanya aja nggak mau sama mereka." "Kenapa? kamu gay?" Kyaaaaa... Tania menjerit saat ia terdorong ke depan ketika t Bian tiba-tiba menekan rem kuat. "Ih! Kamu mau bikin aku mati? Kamu dengarkan tadi kalau aku itu belum nikah, belum punya anak, belum ngerasain gimana rasanya bahagianya punya keluarga kecil. Kamu mau bunuh aku juga??" Cerocos Tania tanpa gadis itu sadari Bian sedang menahan emosi. Bian menepikan ATV nya menuju ke salah satu labirin kebun teh agar tak mengganggu jalan utama orang-orang yang ingin menelusuri kebun tersebut. Setelahnya Bian memberhentikan ATV-nya di sana mengunci motor tersebut agar tak mundur. Setelahnya Bian memutar arah duduknya ke arah Tania. Tentu saja apa yang dia lakukan ini membuat jantung Tania kembali berdetak tak karuan. Antara malu dan berdebar kali ini ia rasakan. Bahkan Amel dan Rian yang melewati mereka ikut berteriak menggoda. "Ka...kamu mau apa?" tanya Tania gugup. Bukannya menjawab, Bian justru menatap Tania dengan tatapan yang sedikit tajam. Tatapan itu membuat Tania seketika salah tingkah. "O...om!" Bian menghela nafas kasar. "Saya nggak tahu apa yang saat ini ada di kepala kamu sampai mulut kamu ini bisa dengan mudahnya bilang saya seorang gay." Ucap Bian. Dan seketika Tania merasa bersalah dengan ucapannya tadi. Ia benar-benar tak bermaksud berbicara seperti itu. "Kamu pernah lihat saya punya pacar laki-laki? Kamu pernah lihat saya ngamar sama laki-laki? Laki-laki yang dekat sama saya cuma Rian, itu pun dia keponakan saya dan tinggal sama saya. Terus ada angin dari mana kamu bisa sebut saya sebagai seorang gay?" Bibir Tania mendadak kelu. Ia kehabisan kata-katanya. Tak tahu lagi harus berkata seperti apa. "Kenapa kamu diam? Kamu merasa kalau kamu itu cantik?" Tania menggeleng ketakutan. Hatinya benar-benar cemas dan ia merasa sebentar lagi akan diamuk oleh Bian. "Kamu cantik?" Ulang Bian dengan nada bicara yang sedikit jutek. "Ng...nggak." jawabnya takut sembari menggeleng. "Lalu Kamu punya keberanian apa sampai-sampai kamu dengan mudahnya bilang kalau saya ini gay?" Tania menunduk. Air matanya seketika terjatuh. Dan Bian bisa melihat itu. Ia bisa melihat dengan jelas air mata Tania yang menetes di pipi nya. Bian menghela nafas panjang. Ia menyentuh dagu Tania lalu mendongakkan kepada Tania untuk menatap padanya. 'Saya nggak suka lihat kamu nangis." ucapnya sembari mengusap lembut air mata Tania dengan jemarinya. Tentu saja perlakuan Bian itu membuat otak Tania mendadak kosong. Ia menatap lekat mata Bian, "Bian?" "Saya lagi nunggu seseorang. Seorang gadis yang sudah lama mengisi hati saya dan sulit saya keluarkan. Dan saya lagi nunggu dia. Itulah alasan kenapa saya nggak pernah dekat sama siapapun, sama perempuan manapun. Jadi berhenti bilang saya seorang gay. Saya laki-laki normal. Bahkan untuk hamilin kamu saja saya bisa. Kamu paham?" *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN