Lo, Hamil?

1289 Kata
Queeny duduk di meja studinya di malam yang gelap. Matanya fokus pada layar laptopnya, jari-jarinya bergerak dengan cepat mengetik. Antisipasi bersemangat terpancar dari wajahnya saat dia mengisi formulir pendaftaran universitas di Turki. Dia menggigit bibir bawahnya, mencermati setiap detail, menyadari bahwa ini adalah langkah pertama dalam mewujudkan kesempatan studinya di luar negeri. Di sampingnya, Marlina duduk dengan wajah yang terlihat gelisah. Dia merasa semakin tidak nyaman di apartemen yang mereka tinggali bersama. Akhirnya, Marlina memutuskan untuk mengatasi ketidaknyamanan ini. Dia memulai pembicaraan dengan Queeny dengan lembut, tatapannya penuh perhatian. "Queeny," katanya, "Lo kan rencananya mau kuliah di Turki nih, hmm, gue ngerasa nggak nyaman kalau gue masih tinggal di apartemen ini, ya kan ini apartemen dibeli karena lo dan dibeliin smaa Pak Yusuf. Gue mau balik ke kakak gue aja deh." Marlina menghela nafas lega, merasa terdengar oleh Queeny. "Hmm, iya juga. Lo pindahan lebih cepat lebih baik, aduh gue rasnaya frustasi kalau ngedenger namanya. Gue juga keknya udah nggak tahan kalau tinggal lama-lama di sini. Mar, lo liburan bareng gue yu ke Bandung, gimana?" "Oke oke, seru tuh, gue mau. Oke besok kita mulai beres-beres barang-barang gue ya," kata Marlina bersemangat. Hari berikutnya, Marlina memulai proses pindahan dengan dibantu oleh Queeny. Mereka membongkar barang-barang Marlina, dari buku-buku hingga pakaian, di antara tumpukan kenangan. Terdengar tawa dan sedikit rasa getir di udara, mencerminkan campuran perasaan yang melanda. Ketika truk pindahan tiba, Queeny melihat Marlina bercucuran keringat. "Hahah, beneran ini pindahan sat set banget!" Marlina tertawa, "Lo sih make acara kuliah di Turki." "Yaelah, baru juga rencana Mar, belum tentu juga gue diterima, tapi gue berharapnya diterima. Itung-itung gue ngobatin luka aja," terang Queeny seraya mereka berjalan ke apartemen. "Iya iya, gue doain deh. Kasian banget sih kisah percintaan lo!" Marlina merangkul pundak Queeny. Segera, mereka menyelesaikan proses pindahan. Marlina mengembalikan kunci apartemen kepada Yusuf. Di depan apartemen Yusuf. "Ayo, cepetan biar kita cepet pergi," titah Queeny. "Lo aja sana yang ngasiin kuncinya!" "Ah lo, gue udah nggak mau liat mukanya lagi, gue ngerasa sakit banget liat mukanya," alasan Queeny. "Oke oke." Marlina mengetuk pintu apartemen dan memencet bell. Kemudian Yusuf keluar dan melihat Marlina dan Queeny yang tidak memperlihatkan wajahnya. "Ada apa, Marlina?" tanya Yusuf. Marlina menyodorkan kunci apartemen. "Pak, saya eh Queeny mau ngasih kunci ini ke bapak, kan ini apartemen punya bapak, lagian kami udah beres-beres barang kok, kami mau pindahan dari sini," jelas Marlina. "Oh, oke. Makasih ya." Yusuf mengambil kunci tersebut dan kembali masuk ke dalam. "Wah, dia kembali ke setelan pabrik, gitu doang? Nggak ada sanggahan dan apapun itu? Gue nggak nyangka!" cemooh Marlina. "Udah, ayo kita ke rumah kakak lo," ajak Queeny yang tidak ingin berkomentar tentang Yusuf. Setelah mereka sampai di rumah kakak Marlina, mereka disambut dengan baik. "Mar, ini apa-apa barang-barang kamu kenapa dibawa semua ke sini? Kamu mau pindahan apa?" tanya kakaknya Marlina. "Iya, kak. Mulai sekarang aku tinggal di sini lagi," jawab Marlina. "Bukannya kalian itu satu apartemen?" "Hmm, Queeny mau pindah kuliah, kak. Jadi nggak enaklah kan itu apartemen dia," selanya. "Oh gitu, mau pindah kemana emang?" "Masih rencana sih kak. Doain aja ya mau ke Turki," ucap Queeny seraya tersenyum. Kakaknya Marlina memberikan minuman dan di simpan di atas meja. Queeny dan Marlina yang duduk di sofa segera mengambil gelas minuman itu. "Masya Allah, ke Turki? Beneran? Ya kakak doain biar keterima di sana." "Oh iya kak, besok aku mau ke Bandung anter Queen, sekalian mau liburan juga di sana, bolehkan?" "Iya iya. Senang-senang selagi masih muda dan belum nikah!" Marlina dan Queeny seketika terkejut mendengar ucapan kakaknya itu. "Mar, gue mau ke mertua gue dulu ya. Nanti habis magrib gue balik lagi ke sini," kata Queeny seraya berbisik. "Oke, lo hati-hati ya. Cie masih anggap mertua ya," cibir Marlina. "Ah lo sukanya gitu bae dah!" Queeny memutuskan untuk menemui Rido dan Inayah. Sesampainya di sana, Rido dan Inayah menyambut Queeny dengan campuran kesedihan dan pengertian. Mereka selalu menganggapnya sebagai bagian dari keluarga mereka, bahkan setelah kejadian di pemakaman Caca dengan putra mereka, Yusuf. Air mata mulai mengalir di mata Queeny saat dia mulai berbicara, "Umi, Abi, Queeny sungguh-sungguh meminta maaf atas kesalahan yang Queeny buat. Queeny tidak pernah bermaksud semua ini terjadi, dan Queeny berharap umi dan abi masih mau Queen panggil umi dan abi." Inayah mengangguk dengan senyum lembut, "Kami tahu, Queeny. Kadang-kadang hidup mengambil arah yang tidak terduga, dan kita semua melakukan kesalahan." Rido menambahkan, "Kami percaya bahwa Yusuf hanya perlu waktu untuk menemukan dirinya sendiri dan sembuh. Kami berharap suatu hari nanti, kalian berdua bisa menemukan jalan kembali satu sama lain." Suara Queeny gemetar saat dia menjawab, "Terima kasih atas pengertian umi dan abi. Queeny akan selalu menghargai cinta dan dukungan yang telah umi dan abi tunjukkan sama aku." Inayah mengulurkan tangannya dan meletakkannya di bahu Queeny dengan penuh penghiburan. "Kamu akan selalu menjadi anak perempuan kami, Queeny. Keluarga adalah tentang cinta dan memaafkan, dan kami memiliki banyak keduanya untukmu." "Tolong maafkan Yusuf ya, Queeny," kata Rido. Dengan air mata rasa syukur, Queeny memeluk erat mertuanya. Meskipun jalannya masih belum pasti, cinta dan penerimaan yang dia temukan di Rido dan Inayah memberikannya harapan. Setelah kunjungan mereka ke Rido dan Inayah, Queeny kembali ke rumah kakaknya Marlina. Ini adalah malam yang tenang, dan Marlina, yang lelah setelah peristiwa hari itu, terlelap dalam tidurnya. Namun, sesuatu mengganjal di pikiran Queeny. Keesokan harinya, Queeny dan Marlina pergi ke Bandung. Baru setengah perjalanan mereka memutuskan untuk bersantai di kafe. Saat duduk di sebuah kafe kecil masih daerah Jakarta. Mereka pesan kopi dan beberapa cemilan. "Mar, gue ke kamar mandi dulu ya." Marlina hanya menganggukkan kepalanya. Di dalam lorong yang redup menuju toilet, Queeny masuk ke kamar mandi. Namun, pada saat dia keluar di depan cermin panjang westafel, di sana, tanpa disangka, Windy ada di depannya. Windy menatap Queeny dengan mata yang penuh kemarahan, suaranya gemetar saat dia menghadapinya. "Kau telah menghancurkan hidup kami, Queeny! Kau menghancurkan keluargaku, dan sekarang Rangga dan suamiku, berada di balik jeruji karena dirimu!" Hatinya berdebar kencang, tetapi Queeny mencoba untuk tetap tenang. Dia mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan dirinya. "Tante, saya mengerti tante marah, tetapi apa yang mereka lakukan adalah salah. Mereka harus menghadapi konsekuensinya." Windy semakin marah, suaranya meninggi, "Konsekuensi? Kau pikir ini adil? Mereka menderita karena ini!" Queeny mencoba untuk menjelaskan, suaranya lebih lembut, "Saya sungguh-sungguh menyesal tapi semua tidak akan bisa kembali. Tante hanya berdoa semoga mereka bisa menjadi lebih baik. Aku minta maaf Tante." Windy masih penuh kebencian, tetapi ada kelembutan yang menyelinap ke matanya. "Sudah terlambat untuk minta maaf, Queeny. Keluargaku hancur, dan saya tidak bisa memaafkanmu atas perbuatanmu." Queeny mengangguk, lalu ia cepat-cepat keluar dari kamar mandi. Queeny kembali ke Marlina, hatinya berat dengan beban pertemuan tak terduga ini. Ketika malam semakin gelap, Queeny dan Marlina akhirnya sampai di rumah Queeny. "Ya ampun, Umi kira siapa yang datang? Kenapa nggak ngabarin dulu sih?" "Masa Queen harus ngabarin? Kan ini rumah Queeny," ucap Queeny prostes. "Ayo, masuk." "Umi, Marlina boleh nginep nggak eh mau liburan di sini bareng Queeny," sela Marlina. "Ya boleh dong, masa ngga sih. Umi justru seneng jadi rame deh rumah ini." "Loh, kan emang selalu rame kan mi, kan banyak santri juga," sahut Marlina. "Ya beda atuh. Cepetan kalian masuk ke kamar mandi, terus solat magrib habis itu kita makan bareng ya," terang Sarifah. Marlina, peka terhadap ketidaknyamanan Queeny, dengan lembut menyarankan, "Queeny, mungkin sudah saatnya kita memeriksa apakah kamu mungkin sedang hamil." Mereka masuk ke kamar dan Marlina segera pergi ke kamar mandi. "Lo, punya pembalut nggak? Aduh gue haid nih," keluh Marlina. "Pembalut?" Queeny mencari ke lemari dan memberikannya ke Marlina. "Dipikir-pikir kok gue baru sadar dua bulan ini gue belum dapet ya?" "Hah? Yang bener?" Marlina melongo. "Iya? Apa karena gue stres ya?" "Lo hamil kali!" celtuk Marlina.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN