17

1904 Kata
Aku syok cover bukuku berubah wkwkwk.. kupikir buku orang lain nyasar di akunku ternyata diganti sama Dreame. Kembali ke laptop! >>> Berpikir bahwa gadis itu kesepian selama tiga hari terakhir karena harus tinggal sendirian di apartemen, ternyata Raja terlalu memandang sebelah mata sang Nenek. Alih-alih kesepian, dia justru menjadi sangat bebas. Yang awalnya butuh Raja untuk kemana-mana malah sudah bisa sendiri karena tidak ada yang mengawasinya. Akhirnya ponsel Raja kembali bergetar setelah lima belas menit menunggu. Pria yang duduk berpangku tangan itu meraih ponselnya, dan mendapati pesan berisi kebohongan. Nenek: Udah pulang aku. Nenek: Maaf telat, baru selesai boker Nenek. Jam sepuluh malam belum pulang, berarti kemaren anak ini juga pulang tengah malam dong. Ada apa-apa sama Jana, Papa pasti minta tanggung jawabnya sama Raja. Kalau cewek ini tidak ada hubungan dengan Nenek, Raja dengan senang hati akan bertanggung jawab untuk perkara apapun. Makanya detik itu juga, Raja menghubungi Abi. Sama seperti Abi yang tidak ingin terjadi apa-apa dengan adiknya itu, Raja juga tidak ingin hal buruk menimpa Jana. Pria itu meminta Abi untuk memberikan saja apa yang Sabine mau. Bukannya selama ini Sabine memang punya banyak salah para Abi. Hidup Abi tidak pernah tenang tiap kali orang tua Sabine menitipkan anak mereka untuk diajak main bersama. Mengangguk yakin, Raja tau bahwa lebih baik dirinya menghadapi Sabine daripada dia tidak bisa mengontrol Jana dan sepasang kakinya yang suka kemana-mana itu. >>> Selama tiga hari belakangan saat ia tidak perlu alasan untuk keluar, Jana sengaja sekali tidak mengikuti list prioritas miliknya. Gadis itu mengunjungi semua teman sekolah Ayahnya yang alamatnya paling dekat dengan tempat dia berada. Al hasil, Jana sudah mendatangi dua puluh sembilan rumah meskipun masih tanpa hasil. Yang penting tiga hari ini dimanfaatkan dengan maksimal. Malam ini, meski masih mendapatkan jalan buntu, setidaknya Jana bisa makan malam gratis bersama keluarga teman Ayah. “Mana di antar pulang,” kikik Jana sambil memasuki apartemen baru tersebut. Senyum anak sulungnya Fateh itu hilang seketika saat mendapati punggung tegap seseorang yang ia hapal mati. Bagaimana tidak hapal mati, cucu Jana satu-satunya itu. Jana meneguk ludahnya kasar kemudian mendekat pada Raja. Pria itu duduk bersila di atas sofa dengan berpangku tangan serta kedua mata tertutup. Dengan tidak membuat banyak suara, Jana duduk di karpet di depan Raja kemudian duduk dengan cara yang sama. Bedanya Jana menyatukan kedua telapak tangannya di depan d**a. ‘Sialan, bohongnya ketahuan banget berarti, ya,” pikir Jana. Di sisi Raja, pria itu sudah mendengar kikikan senang Jana beberapa saat yang lalu. Normalnya Jana pasti bisa melihat Raja karena pria itu masih dalam bentuk manusia, tidak dalam bentuk ruh gentayangan. Tapi kenapa tidak ada suara apa-apa? Membuka matanya, Raja mendapati Jana satu meter di depannya. dengan posisi yang anehnya semakin membuat pria itu emosi. Apa-apaan itu? pikirnya. “Ngapain lo begitu?” tanya Raja. “Ini namanya aku lagi dalam posisi minta maaf.” Raja menatap Jana seperti gadis itu berasal dari planet lain. ‘Posisi meminta maaf katanya?’ “Den susun jari nan jo kapalo, duduak basimpuah di kaki Mandeh~ ga tau lagu ini?” tanya Jana setelah menyanyikan dua bait pertama lagu “Ampun Mandeh” yang semua orang Minangkabau pasti tau. Karena makin mendapati kerutan di jidat Raja, Jana kemudian kembali berucap, “Ini jari sepuluh, tambah kepalaku satu. Orang Minang bilang Sabaleh jo kapalo. Orang kalo udah minta maaf sabaleh jo kapalo berarti dia tau kesalahan yang dia perbuat, bener-bener merasa bersalah, dan janji ga akan diulangi lagi.” Dalam hati Jana bersyukur Makdang Ramdan tidak ada disekitarnya sehingga kalaupun salah menjelaskan, tidak ada yang akan menegur Jana. “Coba sebut salah lo!” “Bohong sama cucu sendiri. Ngajarin yang ga baik. Bikin kamu khawatir. Ya, ‘kan?” Raja mencibir karenanya. “Mana ada gue khawatir. Gue cuma ga pengen ditonjok ponakan lo kalo lo kenapa-napa,” kilah Raja. “Sama aja. Gimana, udah dimaafin? Cuma ini Nenek-nenek yang mohon ampun sama cucunya loh, Ja.” “Karena cuma lo doang Nenek-nenek yang kelayapan sampai tengah malam.” “Belum jam dua belas ini..” “Masih aja ya lo..” ucap Raja melotot. Hari ini Raja seperti menjadi Papa. Ternyata begini rasanya memarahi orang yang jelas-jelas salah tapi masih mencari pembbenaran. Tau begini Raja akan mengurang-ngurangi membantah Papanya. “Eh, aku dikirimin video sama Sabine, besok siap-siap ketemu calon istri lagi, ya,” ucap Jana yang sengaja mengalihkan topik. Tidak tau saja dia bahwa gara-gara Raja lah Abi mau menerima permintaan maaf yang sampai sekarang masih menjadi misteri bagi Abi karena harus direkam. “Ehem, gimana perubahan apartemen kamu sejak terakhir kali ditinggal?” tanya Jana lagi karena Raja masih menaikkankan sebelah bibirnya sambil menatap Jana. Raja melirik sekeliling padahal dari pertama masuk pria itu sudah mendapati bahwa apartemen tersebut tidak kosong seperti tiga hari lalu saat dia meninggalkkannya. Tiga hari lalu, Raja hanya memastikan Jana punya barang-barang yang memang diperlukan untuk tinggal di sana seperti makanan dan tempat tidur. Tapi hari ini, Raja bahkan bisa melihat tivi yang lebarnya lebih lebar dari rentangan kedua tangan Raja. Sofa yang saat ini pria duduki juga tidak berasal dari dirinya. “Gimana caranya orang kabur dari rumah bisa beli barang-barang segini banyak? Lo yakin lo kabur dari rumah?” “’Kan, ada Papa Denis,” ucap Jana mengingatkan. ATM miliknya juga bukan yang pemberian Papa Deni langsung sehingga beliau bisa mengetahui apa saja yang Jana beli. Raja memonyongkan bibirnya dan mengangguk paham. Sempat lupa padahal Jana sudah pernah cerita sebelumnya. “Udah jam setengah dua belas, kamu ga pulang?” Cepat-cepat Jana menyambung kalimatnya karena tidak ingin Raja berpikir bahwa Jana canggung bersamanya. Tidak mungkin Jana merasa canggung dengan cucunya sekalipun mereka harus terkurung di dalam tempat yang sama berdua. Jana sudah menganggap pria ini sebagai darah dagingnya sendiri. “Maksud Nenek, Om Bilal nanti nyariin. Papamu sensitif sekali kalo anak semata wayangnya ga tidur di rumah.” “..” “Kalo ga bohong aja sama Om Bilal, bilang kamu nginap di rumah Bang Abi atau di mana pun yang beliau pasti percaya.” Raja memutar bola matanya sebelum bangkit dan membelakangi Jana. “Eh kamu mau kemana?” “Ke rumah Abang kesayangan lo. Atau gue harus panggil dia Kakek?” “Eh! Maksud aku, kamu disini aja. Ga ada yang ngusir kamu dari tempatmu sendiri. Ngapain kamu ke rumah Abangku yang semua orang di rumah itu pasti udah tidur? Di sini aja.” Raja baru berbalik saat pria itu sudah berada di depan pintu. “Demi Om gue yang belum lahir, yang emaknya lagi sibuk keliling dunia nyariin gue Kakek, gue ga ada niat sama sekali buat menginap di sini.” Setelah mengingatkan sekali lagi bahwa mulai besok Jana sudah harus pulang, Raja pergi begitu saja meski Jana masih mencoba membuat cucunya itu tetap tinggal. “Sekarang boleh kamu sok ga mau dekat sama aku, besok di depan Sabine pasti langsung nyari ketek Neneknya,” cibir Jana sebelum masuk ke dalam kamar dan mandi. >>> Jangan sebut Jana jahat karena semalam sempat bicara soal sikap Raja. Jana bukan mendoakan hal yang cucunya tidak sukai melainkan dia sudah kenal sekali dengan pria tersebut. “Buruan pesan.” “Sabine belum datang,” ucap Jana dengan seringai setannya. “Ga apa-apa. Dia kalo lapar bisa pesan sendiri nanti.” Raja mengangkat tangannya ke udara, memanggil pramusaji restoran dan memesan makanan untuk dirinya dan Jana. Kalau bisa, Raja ingin mereka sudah selesai makan saat Sabine nanti datang sehingga ia bisa mendesak Jana untuk segera pulang. Sial bagi Raja karena Sabine datang sebelum makan siang mereka disajikan. Raja mendengus melihat gadis itu sedangkan Sabine mendekat dengan malu-malu. “Eh, ada Raja juga. Jan, lo ga ngomong kalo Raja juga bakal gabung lunch sama kita.” “Lupa,” ucap Jana sambil menyengir pada Sabine. Di saat yang sama Raja berceletuk, “Elo yang gabung sama kami. Ga liat siapa yang duluan dan siapa yang baru datang?” Jana yang lebih dekat dengan Raja tentu bisa mendengar gumaman tersebut. Gadis itu memukul lengan sang cucu dengan punggung tangannya. “Diam!” ucapnya dengan kedua rahang tertutup. “Iya nih. Raja ga bisa jauh-jauh dari Neneknya.” ucap Jana pada Sabine kemudian menoleh pada Raja. “Ya, ‘kan, Ja?” Hanya saja Jana tidak mendapat respon apa-apa selain tatapan datar pria itu. Tertawa canggung, Jana kemudian kembali berucap. “Kita makan bareng Sabine, ya, Ja!” “Kamu ga apa-apa kalo ada Raja? Atau kita suruh pulang aja cucuku ini?” Kali ini Jana yakin dia akan mendapat respons. “Justru lebih rame lebih asik,” ucap Sabine tersenyum lebar pada Jana seolah Puti Sumatera itu bukan musuhnya. Sabine tidak perlu menunggu dipersilahkan duduk terlebih dahulu. Basa-basinya cukup sampai di sana saja. Yang penting saat ini adalah menatap Raja sampai puas. Sabine membuka buku menu kemudian memanggil Jana, meminta pendapat Jana tentang beberapa menu. Saat Jana sudah mendekat, barulah gadis itu melancarkan aksinya. “Lo kenapa masih disini?” bisik Sabine. “Aku harus pergi?” tanya Jana yang juga ingin makan. Bukan Raja dan Sabine saja yang kosong perutnya siang ini. “Terus lo mau obat nyamuk, nungguin cucu sama cucu menantu lo kencan?” tanya Sabine balik dengan kesal. Pertama, kesal karena menyadari Jana benar-benar bisa mengontrol Raja. Buktinya selama tiga hari terakhir Sabine tidak bisa bertemu Raja hanya karena Jana tidak mengizinkannya. Dan kedua karena Jana sangat tidak peka padahal Sabine ingin berduaan saja dengan calon suaminya. “Oke!” gerutu Jana. “Minta duit!” ucapnya pada Sabine. “Maksud lo?” “Aku lapar banget Sabine. Kami udah pesan makanan tapi kamu mau aku pergi. Kamu mau berduaan sama Raja, ‘kan? Ikutin aja rencanaku.” Sabine mendengus kesal. Masih dengan berpura-pura membicarakan beberapa menu dengan Jana, gadis itu meraih dompetnya kemudian memberikannya pada Jana. Jana tersenyum licik saat beberapa lembar udang seratus ribuan berpindah tangan padanya. Dia sudah berdiri dan hendak mencari tempat makan lain ketika cucu semata wayangnya itu menggenggam pergelangan tangan kirinya dan menarik Jana untuk duduk kembali. “Mau kemana, Nek?” “Mau ke kamar mandi,” ucap Jana yang berhasil menyembunyikan uang tadi dari Raja dengan mulus. “Bener?” tanya Raja sangsi. Jana mengangguk dan beralasan tiba-tiba perutnya terasa tidak enak. Setelah meyakinkan Raja bahwa dia tidak akan lama sehingga Raja tidak akan punya kesempatan untuk merampok makan siangnya, Jana bisa pergi dengan mulus. Gadis itu sengaja meninggalkan dompet dan ponselnya bersama mereka sehingga sekalipun Jana tidak kembali setelah dua jam, Raja tidak akan pergi begitu saja. Itu artinya Sabine bisa mendapatkan apa yang dia mau. Saat Raja berpikir Neneknya sedang mengejan Om cilik karena gadis itu tidak kunjung kembali sembari harus menghadapi Sabine sendirian, Jana justru sedang menikmati makan siangnya. “Sabine!” ucap Raja pada gadis yang berpikir Raja tidak tau bahwa dia sedang memotret diam-diam. Sabine gugup setengah mati tapi tetap harus berlagak santai. “Ya?” “Nenek gue, kenapa belum balik, ya? Ponselnya ditinggal jadi gue ga bisa telfon dia. Lo bisa bantu cek ke toilet cewek?” pinta Raja pada Sabine yang bahkan sudah hampir menghabiskan separuh dari makan siangnya. Disitulah Sabine paham rencana yang Jana maksud. Dengan terlalu riang, Sabine setuju untuk membantu Raja. Sampai di toilet cewek, tempat yang Sabine yakin sekali bahwa dia tidak akan menemukan Jana disana, dia justru memperbaiki riasannya. Setelah dirasa tampilannya sudah sempurna, Sabine kembali pada Raja dan mengatakan bahwa Jana sembelit dan mereka hanya bisa menunggu sampai Jana selesai dengan panggilan alamnya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN