Bab 8 Kalung Berlian dan Cokelat Mahal

1285 Kata
Sesampainya di depan rumah Risa, Adnan meminta maaf atas insiden hari ini. “Tidak apa-apa! Sungguh! Itu, kan, bukan salah siapa pun? Kecelakaan semacam itu bisa terjadi kepada siapa saja, kok! Jangan terlalu dipikirkan.” Risa menggerak-gerakkan tangannya di udara, menolak permintaan maaf Adnan yang tampak memasang wajah murung dan gelap. “Aku minta maaf. Kau jadi mendapat hari yang tidak menyenangkan. Harusnya ini menjadi kencan yang menakjubkan,” jelasnya dengan nada sedih. Tanpa disangka-sangka oleh Risa, pria yang kini hanya memakai kemeja putih tanpa jas itu mulai memeluknya kuat-kuat. Risa gelagapan, salah tingkah. “A-Adnan... nanti ada yang lihat...” keluhnya sembari mencoba lepas dari pelukan sang pria. “Oh, maaf,” balasnya dengan wajah malu-malu. Risa tertegun kaget melihat ekspresi wajah itu, sangat tampan dan menggemaskan. Seketika saja sosok marah-marah menakutkannya tadi hilang dalam sekejap. “Ternyata Adnan punya karakter yang unik, ya?” puji Risa yang diiringi tawa lepas, indah dan sangat menyenangkan untuk dilihat. Adnan, yang aslinya adalah seorang pemain wanita ini langsung saja bagaikan tersambar petir menyadari sesuatu muncul di hatinya setelah beberapa kali melihat ekspresi alami dari sang wanita. Dia pun tersenyum lembut, dan pembawaannya jadi tenang, “sepertinya aku tidak akan menyesali pernikahan ini.” “Eh?” Risa termenung mendengar perkataan itu. Sang pria mengelus-elus puncak kepala sang wanita, wajah begitu senang. ***   Kejadian semalam masih terbayang-bayang dalam benak Risa Abdullah. Wanita ini berjalan masuk ke kantornya dalam keadaan melamun. Hari ini, karena moodnya sangat baik, jadi dia pun berdandan sangat manis, rambut ikalnya ditata lebih baik, dan memakai dres warna peach sebatas lengan panjang dan sebatas lutut. Walaupun Adnan tiba-tiba saja membuatnya terkejut dengan sikap marah-marahnya, namun tingkah manis dan romantis pria itu membuat hatinya meleleh. Belum pernah selama ia menjalin kasih, hubungannya berjalan semulus ini. Risa kini tersenyum cengengesan dengan hati gembira, beberapa orang bahkan menatapnya dengan tatapan heran. Bodoh amat dengan tatapan mereka! Hatiku sedang senang hari ini! Adnan~ Aku mencintaimu~ batinnya girang bukan kepalang, tasnya digoyangkan sembari berjalan penuh semangat, persis anak TK yang sedang tamasya keliling kota. “Loh? Ada apa pagi-pagi begini? Kok, ramai sekali?” gumam Risa, kakinya berhenti di depan pintu melihat orang-orang di barisan mejanya sudah jadi kumpulan semut. Terdengar jelas suara Vera sedikit emosi dan mulai marah-marah. Pelan-pelan, Risa berjalan mendekat dengan hati penasaran, mata mengedip bingung. “Ada apa ini? Kenapa kalian berkumpul? Ada yang ulang tahun, ya?” tanya Risa pelan. Hening. Hah? Ada apa ini? Kenapa mereka menatapku aneh begitu? batinnya dengan wajah keringat dingin, kaget melihat orang-orang itu berbalik serempak dengan wajah curiga dan ganas. “A-ada apa, ya?” tanya Risa lagi, sedikit gugup. “RISA!!!” seru Vera penuh antusias, membelah kerumuman untuk maju ke depan sang teman kuliahannya itu. Kedua alis Risa naik dengan cepat, sangat terkejut. “Risa! Kau punya calon suami yang sangat romantis, ya?!” puji Vera dengan mata berkaca-kaca penuh haru, di tangannya sudah tergenggam sebuah kotak biru beludru, mirip sebuah kotak perhiasan. “A-apa maksudmu?” Semua orang memberikan tatapan curiga dan mata menyipit tidak percaya, seolah dirinya tengah menyembunyikan sesuatu. “Lihat ini!” Vera membuka kotak biru tadi, dan benar saja! Isinya adalah sebuah kalung berlian yang sangat indah dan mewah. Langsung saja Risa teringat kepada ucapan Adnan semalam: ‘Risa. Aku punya uang banyak, kalau hanya gelang 10 juta hilang, itu tidak masalah buatku. Kalau aku belikan kalung mahal yang harganya ratusan juta, kamu juga tidak mau pakai? Lalu, bagaimana aku bisa memanjakan wanitaku jika semua pemberianku kau tolak?’ Apakah ini hadiah dari Adnan? Jangan-jangan, yang kemarin juga adalah hadiah darinya? Kenapa tidak bilang, sih? “Ini....” Risa pura-pura tidak mengerti, tapi aslinya memang tidak mengerti karena ada sedikit keraguan di hatinya. “Ayo, sini! Sini!” ujar Vera, menarik tangan Risa penuh semangat melewati gumaman kerumuman yang terdengar takjub dan iri. Saat tiba di mejanya, Risa melihat sebuket bunga tulip merah untuknya. Ada kotak lain lagi di sana, jelas terlihat adalah sekotak cokelat mewah dengan bungkus yang elegan. “I-ini...?” Risa tersenyum canggung lagi kepadanya, tidak tahu harus bereaksi bagaimana. “Jangan pura-pura! Ini dari calon suamimu itu, kan?” sahut Vera, sengaja suaranya diperbesar untuk memberitahu semua orang yang ada di sana. Risa mengerjapkan mata tidak percaya. Bagaimana bisa dia mengumumkan hal sepenting itu dengan cara seperti ini? “Vera!” “Lihat! Ini ada kartunya!” terang Vera sambil memberi kartu yang diselipkan di bunga. Risa meraih kartu itu dengan perasaan canggung dan malu, orang-orang di sekitarnya sudah mulai menyindirnya karena sudah menyembunyikan hal baik itu. Namun, fokus Risa langsung terkunci pada kalimat di kartu itu: -------------------- Untuk Risa Tersayang. Maafkan atas kejadian kemarin. Semoga kau suka dengan permintaan maafku ini. Selalu dan selamanya, Pria yang mencintaimu dengan tulus. -------------------- Wajah Risa memerah indah, jantung berdegup cepat. Jadi, ini benar Adnan, kan? batin Risa dengan hati meluap-luap. Tapi, kenapa memberinya hadiah semahal ini hanya untuk minta maaf? “Risa! Kenapa kau tidak cerita kepada kami kalau sudah mau menikah, sih? Hal seperti itu harusnya dirayakan, kan?” “Benar! Lihatlah priamu ini. Dia mengirim hadiah mahal begini hanya untuk minta maaf? Kau bertengkar dengannya? Maafkan saja! Itu kalung berlian, loh! Harganya pasti selangit! Mana ada pria seperti itu yang minta maaf kepada wanita terang-terangan begini? Kalau tidak cinta, apa lagi namanya? Iya, kan, teman-teman?” Gumaman setuju terdengar di sekitar Risa, tubuhnya menciut kecil karena hal romantis tapi memalukan di saat yang sana. “Dia sengaja mengirim ini dengan seorang pengawal hanya untuk menjaganya, loh! Saat lihat aku sudah datang, dia langsung menitipkannya kepadaku! Aduh! Ternyata kau sudah cerita punya teman hebat sepertiku, ya?” sindir Vera, menyikutnya bahunya dengan perasaan bangga. Tiba-tiba berubah dahsyat setelah melihat hadiah permintaan maaf itu. “Vera!” “Ini kalung mahal, loh! Dia sekaya apa, sih?” tanya seorang karyawan wanita, yang diikuti wajah-wajah penasaran lainnya. “Kalian kembalikah bekerja. Aku akan mengembalikan ini!” sergahnya cepat, meraih kotak kalung dari tangan Vera dan berlalu keluar untuk menelpon Adnan. Wajah Risa seperti udang rebus. Kepalanya tertunduk malu meninggalkan ruangan itu. “Siapa yang mau makan cokelat?! Tenang saja! Aku yang tanggung! Anggap saja ini traktiran dari Risa yang sudah punya calon pasangan seumur hidup!” seru Vera mengangkat cokelat hadiah Risa di udara dengan wajah gembira. “Aku!” “Aku!” “Aku!” Semua orang hampir serempak menyahut menginginkan cokelat mahal itu. Risa hanya bisa mengeluh memunggungi sekumpulan orang-orang yang semena-mena memakan cokelat miliknya, tangannya sibuk memegang telepon menunggu sambungan di seberang sana terjawab. Di sebuah penthouse mewah. “Adnan... ponselmu bunyi, tuh...” ucap seorang wanita dengan suara serak, tidur di sebelah seorang pria yang sama-sama hanya tertutupi selimut. Adnan yang dalam keadaan telungkup, meraih ponselnya dengan cara serampangan. “Halo?” nada suaranya tidak enak didengar. “A-Adnan? Ini aku Risa?” Awalnya, Risa ingin mengucapkan salam, tapi sepertinya suasana hati pria itu tidak begitu bagus. “Apa aku terlalu pagi meneleponmu?” tanyanya sungkan, melirik jam dinding di dapur tempat istirahat para karyawan. Di sana, jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 lewat. Wanita ini kebingungan. Bukankah dia harusnya sudah berada di kantor? “Risa?”suara pria itu langsung berubah lembut. “Em... kalau aku mengganggu, nanti saja kalau begitu.” “Tidak. Tidak apa-apa.” Sang pria buru-buru bangun untuk duduk bersandar di kepala tempat tidur, wanita asing di sebelahnya juga terbangun dan menatapnya dengan nakal. Tangannya memeluk tubuh sang pria yang tertutupi oleh selimut. Tidak ada tanda-tanda perlawanan menolak pelukan itu, membuat sang wanita ini merasa nyaman dan kembali memejamkan mata. Tangan Adnan satunya tidak diam begitu saja, sibuk mengelus kepala sang wanita, membuatnya lebih lelap dalam tidurnya. “Maaf, semalam sepulangnya dari mall, aku ada kerjaan dadakan. Jadi bangunnya kesiangan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN