“acaranya sudah di mulai, kehadiran anda sangat di tunggu.”
Aku mengabaikannya, menatap pantulan nya dari cermin di hadapanku sekilas lalu mengabaikannya lagi. Bukan hanya aku tapi wanita itu, aku harap sandiwara ini berjalan dengan baik. Wanita bodoh itu tidak benar-benar bisa di harapkan, jika ia hanya diam mengangguk dan mengiyakan apa yang ku katakan kemungkinan hal ini bisa berjalan dengan baik. Nenek bisa menerimanya kemungkinan kecil bagi kakek. Responnya tidak terlalu baik ketika mendengar kabar jika aku membawa seorang wanita. Memangnya jam berapa sekarang, seharusnya ia sudah siap dengan pakaiannya.
“sebentar lagi kami keluar.”aku dan wanita itu, memperbaiki ujung lengan jasku seraya berjalan keluar menuju kamar dimana Ana berada. Ketika aku membuka pintu, aku mendapatinya tengah terduduk di pinggir balkon dengan pakaian yang sudah ia kenakan, aku tak bisa melihatnya dengan jelas dan sedang apa ia di sana. Beberapa kali ia melihat ke arah bawah lalu ke seseliling, jika ia berniat kabur maka ia benar-benar bodoh.
Jika dia berniat untuk kabur dari sana dengan melewati jendela itu ia tidak akan bisa melakukannya. hanya untuk seperkiandetik aku menarik pikiran itu, dia bukan tipe wanita yang akan melakukan hal bodoh semacam itu, melihat ekspresi ngeri di wajahnya membuatku hampir saja terbahak. Aku suka melihat kebingungannya tapi tidak ada waktu untuk berlama-lama di sini, kami harus segera keluar.
“kau sudah siap? Sedang apa kau di sana?.”aku menghampirinya karena ia malah duduk di sana bukan berdiri dan malah membuat gaun itu tampak kusut.
"Kenapa kau rapih sekali?."dia benar-benar i***t atau bodoh, kenapa tidak memeprtanyakan dirinya sendiri yang memakai gaun, jika bukan untuk menghadiri suatu acara aku akan memberikannya karung goni.
"Kenapa kau duduk di sana? Tidak jadi loncat nona Wren! Terlalu takut untuk mati!."ucapku sarkatis, ia tampak terkejut, kedua matanya mengerjap.
"Aku hanya melihat lautan, aku tidak pernah melihat rumah tepat di atas laut. Apa.. kau tidak takut jika ada gelombang pasang! Badai atau apapun itu yang bisa menghanyutkan rumahmu dan kau!."keningku mengerut.
"Tidak perlu menghawatirkanku. Khawatirkan saja dirimu sendiri."
"Aku memang sudah melakukannya sejak kemarin-kemarin. Apa yang mau kau lakukan?."menanggapi setiap perkataannya hanya akan membuang-buang waktu. Aku tak berniat untuk meladeni setiap perkataan aneh dan pemikiran konyolnya, kami harus segera keluar dan dia harus terlihat sebagai wanita pendampingku. Aku meraih tangannya, menariknya untuk keluar dari kamar ini bersamaku menuju ke acara itu, tetapi responnya tidak mudah. Ia menahan diri, beberapa kali mencoba untuk melepaskan tangannya yang berada di dalam genggamanku. Sialan, dia membuat kami menjadi perhatian, aku menatap sinis setiap orang yang berpapasan dengan kami, dia akan membuat semua orang tampak ragu. Sepertinya dia tidak akan berhenti, apa yang dia makan, kekuatannya lumayan besar. Aku membawanya ke pojok ruang agar tidak ada yang bisa melihat kami, melihatku melemparkan ancaman agar ia bisa diam beberapa menit saja dan mengikuti permainan yang ku buat. "Jangan membuat orang lain curiga."
"APA! Memangnya apa yang sedang kita lakukan!."Ia bertanya, hampir berteriak lalu merendahkan suaranya. Berbisik. Membuatku geram.
"Kau mau hidup?."aku tahu ini ancaman yang kejam, ia membatu sangat terkejut dengan ucapanku. Jika kalimat itu bisa membungkamnya sesaat maka aku tidak keberatan.
"Tentu saja, apa kau sudah gila!."berani-beraninya dia menghinaku barusan. Ternyata ancaman itu tak benar-benar membuatnya takut padaku.
"Kalau begitu diam dan turuti perkataanku."
Setelah mengatakannya aku kembali menarik tangannya, membawanya pergi menuju pesta kebun dimana ada kakek dan nenek di sana yang jelas sangat penasaran dengan wanita yang ku bawa kemari sebagai pendamping. Aku melirik ke arahnya yang mengedarkan pandangannya ke sekeliling, aku tahu ia sangat terkejut. Perlahan-lahan ia mencoba menjauh dariku hingga membuatku harus menariknya, memaksanya untuk menempel di sisiku. Pokonya ia tak boleh kenana-mana, dan tetap di sebelahku. Aku harap dia memahami maksudku. Beberapa kali ia mencoba untuk menjauh dariku, dan bekali-kali juga aku menariknya, menahannya utnuk tetap di sebelahku. Wanita ini sangat sulit untuk di atur.
"Tristan. Kau datang."aku melepaskan Ana untuk bisa memeluk nenekku, dia berbisik di dekat telingaku.
“aku senang kau membawanya kemari.”nyaris tak terdengar, aku hanya meresponnya dengan anggukan kecil. Kembali melirik Ana yang tengah menatap nenek dengan ekspresi sendu, membuatku curiga. Ia adalah wanita yang sangat ekspresif, untuk pertama kalinya aku bertemu dengan wanita seperti ini. Tidak sulit untuk membaca apa yang ia ingin lakukan namun sangat sulit untuk mengaturnya.
"Siapa dia?."
Kakek bertanya mengenai Ana, pandanganku beralih pada wanita itu yang juga menatap ku dan untuk pertama kalinya ia menarikku untuk menempel dengannya setelah beberapa kali mencoba untuk tidak menempel padaku. Ia menatap kakek dan nenek secara bergantian lalu memaksakan bibirnya untuk tersenyum, rasa kikuk dan gelisah yang ia alami sekarang malam membuatku hampir tersenyum. Mataku beralih pada kakek yang sejak tadi menatap Ana, mencoba untuk menilainya dan aku tahu apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Ia meragukannya, dan keraguannya itu benar. Aku akan mencoba untuk menutup keraguan kakek, mereka berdua harus percaya padaku.
"Dia wanita yang ku bicarakan. Kekasihku! Ana Wren."
Aku menangkap bayangan amarah dalam tatapannya saat ini, kupikir ia sedang memakiku saat ini, memberikanku sumpah serapah yang membuat matanya mengilat di penuhi kekesalan. Aku mengabaikan rasa itu dan pada keinginanku untuk membuat kakek dan nenek percaya lalu berhenti untuk melakukan perjodohan yang sangat tak kusukai.
“Apa kau tahu siapa kami? Kau benar-benar mencintai cucu ku?.”
Ana kembali menatap kakek pegangan tangannya mengerat di lenganku, pertanyaan itu membuatnya takut, pemikiran buruknya tentang profesiku membuatnya semakin takut karena perkataan kakek seolah memperkuat pemikiran Ana tentang kami. Pandanganku mengarah pada nenek, ia terlihat senang dengan kehadiran Ana di sini walau tetap merasa curiga denganku. Mereka berdua membuat Ana takut. Kakek memang berkata ke arah sana, itulah kenapa Jessica adalah pilihan, memikirkannya membuatku muak.
“nenek jangan membuatnya takut, tentu saja dia tahu. Sangat tahu!.”
Aku harap Ana dapat sedikit membantu, setidaknya sedikit saja. Ia mencoba mengatur pernapasan mencoba untuk menenangkan kepanikan dalam dirinya, diam-diam berseru untuk tidak panik. Pandangannya akan beralih ke bawah lalu meilirk ke arah kakek dan nenekku lagi lalu ke bawah, seolah bingung harus melihat ke arah mana.
"Kau tahu wanita itu sangat mengagumimu jika kau menikah dengannya kau akan mendapatkan banyak hal."kakek mengigatkanku tentang Jessica, aku mendengus remeh, ujung bibirku tertarik membentuk seringaian lalu terhenti. Aku tidak akan pernah mau menikah dengannya, sialan. Walau menikah dengannya bisa membuatku mendapatkan banyak hal, aku lebih memilih cara lain untuk mendapatkannya, menikah dengannya, bersama dengannya melakukan sandiwara konyol yang hanya akan membuatku marah. Tiba-tiba saja Ana semakin menarikku untuk menempel ke sisi tubuhnya, pegangan tangannya di lenganku bahkan semakin mengerat. Sikapnya membuatku terkejut.
"Aku sangat mencintai Tristan."
Perkataannya membuatku terkejut, untuk sesaat dia membuatku hanya menatapnya. Wanita bodoh ini mencoba untuk membantuku membuatku tersenyum tanpa ku sadari. Aku tak berharap ia membantuku sejauh ini, kata cinta sebaiknya tak di ucapkan semudah itu pada orang asing. Jika ia merasa tersinggung karena ucapan kakek barusan, kupikir tidak perlu sejauh ini, tapi aku menghargai apa yang dia lakukan.
"Berapa Tristan membayarmu untuk mengatakan hal ini! Aku tahu kau berbohong."perkataan kakek juga menyinggungku, membuatku menatapnya kesal. Kakek tak mempercayaiku, dan dia tahu aku berbohong. Membuatnya yakin memang tidak semudah yang ku harapkan. Berpikirlah Tristan, kata apa yang bisa membuat kakek yakin dan percaya padamu jika Ana adalah kekasihmu.
"Haruskah aku melakukan s*x dengannya di hadapan kakek agar percaya dia adalah kekasihku."kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku, mempertegas jika Ana adalah wanita ku untuk saat ini, kecurigaannya membuatku sedikit frustasi. Aku merasakan Ana menendang sepatuku, wajahku menoleh padanya, ia menatapku dengan ekspresi yang seolah sedang mengomeliku, aku tahu kalimat itu bodoh tapi untuk saat ini tidak ada kalimat yang tepat yang bisa terpikirkan olehku untuk bisa meyakinkan kakek. Keningnya mengerut, alisnya bergerak dan matanya berbicara. menatapku seolah berkata. Aku memilih untuk mengabaikannya, perhatianku kembali pada kakek.
"Kau melakukannya kepada banyak wanita."tidak ada yang salah dengan itu bukan, aku melirik Ana, ia mencibir seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. Mataku menatap kakek, memberinya peringatan untuk tidak berbicara sefrontal itu dan menghargai wanita yang kini berada di sebelahku. Hal yang tidak seharusnya ia ucapkan di hadapan wanita yang menjadi pasangan cucuknya, walaupun Ana bukan wanita yang benar-benar menjadi pendampingku, alasannya berdiri di sini adalah menjadi wanita ku, jadi siapapun harus memperlakukannya dengan baik. Setidaknya ia mengharga Ana walau tidak yakin, aku tahu dia merasa tidak percaya dengan ku karena Ana adalah wanita yang jauh berbeda dengan wanita yang digosipkan denganku selama ini. Bisa di bilang, penampilannya, fisiknya sangat berbeda, Ana bukan wanita yang biasa ku ajak ke atas ranjangku untuk menghabiskan waktu penatku.
"Jangan bicarakan hal ini. Kau membuat nya tidak nyaman."perkataan nenek membuatku senang, aku melirik Ana sekilas. Ia kelihatan senang dan merespon nenek seolah berterima kasih. Dia merasa tidak nyaman dengan perkataan kakek. Aku mencoba untuk meyakinkan kakek sekali lagi, berharap ia bisa menerima hal ini dan menyudahi perjodohan konyol yang tak ingin ku lakukan dengan wanita yang tak ku sukai.
"Hanya dia yang ku inginkan! Aku tidak menyukai nya dan aku tidak berniat mennginginkan semua itu. Lagi pula aku sudah memiliki segalanya."aku meyakinkannya jika aku memilih Ana. Ini bukan seperti aku, kalimat yang ku kutip dari salah satu buku refrensi yang Phil berikan, sebuah cara meyakinkan keluarga atas wanita pilihan yang di cintainya.
"Aku akan mengawasi kalian, jika kalian membohongiku. Kau tahu apa yang akan kakek lakukan Tristan."Ancam kakek, ia masih tidak percaya dan yakin dengan yang dilihatnya. Sepertinya aku akan menahan Ana lebih lama lagi, kakek tidak main-main dengan ucapannya ia akan memantau kami berdua, tidak lebih tepatnya ia akan memantau Ana. Wanita itu harus berada di ruang lingkupku mulai sata ini. Pegangan Ana di lenganku melonggar, perhatianku kembali padanya, ia goyah dan hampir saja terjatuh dengan cepat aku menahannya dengan cara memegang pinggangnya.
"Kau baik-baik saja?."tanyaku, merasa simpatik. Apa dia sakit? Keningnya mengerut, aku tak mengerti apa dia sedang merasa kesakitan.Tadinya ia baik-baik saja.
"kau bisa berdiri?."aku bertanya. Ana terlihat sangat lemas, membuatku khawatir. Namun khawatiran itu seketika sirna, dia bersikap seolah ingin pingsan tapi ekspresinya terlalu berlebihan untuk terlihat seperti orang yang sedang sakit, ia ingin pergi dari pesta ini dengan cara mengelabui kakek dan nenek. Dia cukup pintar dalam berakting walau tidak cukup natural dan bisa membohongiku. Sikapnya ini malah membuatku ingin tertawa, aku menahan diri menyadari kekonyolannya.
"Ana."seru nenek tampak panik, nenek bisa di bohongi. Cara ini cukup efektif setidaknya untuk mengakhiri pembicaraan ini dan membuatnya pergi dari pesta yang juga tak ingin ku hadiri. Kurasa aku akan berterima kasih padanya karena melakukan akting ini.
"cepat bawa dia ke dalam."seru nenek lagi. Kau berhasil Ana.
“aku akan membawanya kembali ke dalam kamar.”kakek hanya menatapku, lalu menatap Ana sekilas. Aku menggendongnya kembali menuju ke kamar, sesekali melirik ke arahnya. Matanya mengerut mencoba untuk tetap memejamkan mata, tubuhnya kaku. Berakting pingsan tak semudah itu kelihatannya, ia berusaha keras untuk terlihat natural. Phil datang membisikan sesuatu yang hanya ku anggukan dengan gerakan kecil, ia memberitahuku mengenai laporan yang sudah ku tunggu-tunggu sejak kemarin. Ia membukakan pintu kamar untukku yang tengah menggendong Ana lalu berjaga di depan pintu agar tidak ada siapapun yang bisa mendengar pembicaraan kami, ada suatu hal yang harus ku beritahu padanya.
Sesampainya di pinggir ranjang ia tetap tak membuka matanya, aku menaruhnya di atas ranjang. Aku berjalan ke arah balkon menatap lautan, sudah lama aku tidak kemari dan melihat pemandangan ini, banyak hal yang membuatku tak ingin datang selain terlalu sibuk dengan beberapa perkerjaan yang tak bisa ku tinggal. Pekerjaan membuatku bersemangat.
"Sandiwaranya sudah selesai. Buka matamu."aku mendengar suara tempat tidur, ia terbangun menatapku, aku bisa melihatnya dari pantulan di kaca pintu balkon.
"Kakekmu mafia juga?."perkataan itu terlontar begitu saja, membuatku melupakan niat awal untuk menjelaskan sesuatu padanya, kupikir itu bisa menyusul. Ada yang harus kita atur, membuatnya barada dalam pengawasanku selama 24 jam, aku harus memikirkan sesuatu. Ana bisa saja menghindariku dan membuatku kesulitan untuk bisa bertemu dengannya. Perkataan kakek tidak bisa ku abaikan. Kepalaku berputar untuk bisa melihatnya.
"Kita pulang sekarang juga. Kau harus berkemas sesampainya di rumah."
"Maksudnya? Apa kita akan berkemah?."
Langkahku terhenti, bagaimana bisa dia berpikir kita akan berkemah, aku tak mengerti dengan jalan pikirannya. Kita terlalu dewasa untuk memainkan permainan rumah-rumahan. Terlalu banyak pertanyaan dia membuatku kehilangan kesabaran. Tubuhku berputar menghadap ke arahnya.
"Kau akan pindah ke Apartemenku!."