Part 7 (Bertemu Bandot)
Musik berdentum keras, diiringi lampu warna-warni yang terus berputar di tengah-tengah klub malam. Lebih dari separuh pengunjung menikmati alunan musik yang dimainkan oleh seorang disc jockey muda yang terlihat tampan, dengan bergoyang seperti tak mengenal lagi siapa dirinya. Pria dan wanita berbaur tanpa ada batasan. Pakaian pengunjung wanita di klub malam itu juga sangat terbuka, memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh mereka.
Bara menghela napas berat menyaksikan pemandangan di dalam gedung itu. Hatinya terus menolak untuk bekerja di tempat seperti ini. Lubuk terdalam mengatakan bahwa itu bukan tempat yang baik untuk mencari nafkah. Namun, akalnya membantah. Ia tidak tahu lagi harus mencari kerja di mana, sedangkan semua menolaknya.
Di tempat lain, di sebuah rumah berlantai dua yang tampak teduh, Rania memanjatkan doa-doa panjangnya kepada Sang Pencipta di dalam salat Tahajudnya. Shalat Tahajud menjadi rutinitas yang hampir tak pernah ia tinggalkan, kecuali dalam keadaan darurat atau tubuhnya benar-benar lelah dan sakit.
Ada banyak doa yang selalu gadis itu panjatkan di tiap salat malamnya, juga selalu memohon ampunan dan rahmat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan beberapa hari ini, doanya bertambah dari doa-doa sebelumnya. Ada satu nama yang tak luput dalam doanya. Bara. Pemuda itu kini masuk dalam daftar orang-orang yang selalu ia sebut dalam doa.
“Berilah ia pekerjaan yang baik, dan tuntunlah ia untuk selalu berada di jalan-Mu, Wahai Rabb-ku,” ucapnya dalam sujud panjang di sepertinya malam.
Entah mengapa, Bara terasa istimewa di matanya. Padahal, ada banyak lelaki di pengajiannya yang tampak lebih baik dan tentu sudah mengenal agama dengan baik. Namun, tak ada yang bisa mengusik hatinya kecuali pemuda asing yang baru dikenalnya itu.
***
Semalaman sudah Bara bekerja di klub malam yang baru saja menerimanya sebagai pelayan. Tubuhnya serasa lunglai. Lelah dan kantuk menyerangnya sekaligus, karena tidak tidur sejak pagi hingga ke pagi lagi. Ia melangkah gontai dari tempat itu saat langit masih gelap, dan cahaya bulan masih terpancar indah di langit sana.
Bara terus berjalan menuju suatu tempat yang sudah menjadi rumahnya, rumah paling nyaman yang pernah ia tempati selama 20 tahun hidupnya bersama Bandot. Sedangkan lima tahun sebelumnya, ia nyaris lupa bagaimana kehidupannya bersama sang ibu, yang tak pernah ia ketahui keberadaannya kini.
Dari kejauhan, samar-samar terdengar azan Subuh berkumandang. Bibirnya mengulum senyum, seiring hatinya yang kembali merindu pada Sang Pencipta. Namun, ada getir dalam d**a yang membuatnya merasa semakin diselimuti dosa. Pekerjaannya. Ia semakin ragu untuk melanjutkan pekerjaannya esok malam.
‘Apa yang harus kulakukan, Wahai Allah? Apakah pekerjaanku itu tidak baik? Haruskah aku berhenti dan mencari kerja lagi?’
Batin pemuda itu saling bersahutan. Antara halal dan haram, antara baik dan buruk di mata Allah, ia masih belum bisa memastikannya.
Meski terseok-seok karena tubuh yang teramat lelah, ia mempercepat langkah menyusuri jalanan yang diterangi oleh lampu-lampu yang berjejer rapi di trotoar, menuju sebuah masjid yang lumayan jauh jaraknya dari tempatnya saat ini. Kedua lutut yang terasa seperti ingin lepas persendiannya, tak lagi ia hiraukan demi sampai di masjid itu sebelum ketinggalan salat Subuh berjamaah.
Namun, ternyata langkah-langkah lebar dan cepatnya tak membuat Bara bisa tiba di dalam masjid dan mengikuti salat Subuh berjamaah dari awal. Para jamaah sudah memulai salat, sedang dirinya masih harus memasuki kawasan masjid yang cukup luas dari gerbang ke tempat salat. Ia juga masih harus mencari tempat wudu sebelum bisa melaksanakan kewajibannya itu.
Selesai wudu, Bara memasuki masjid saat para jamaah sudah hampir selesai salat. Ia tak mengerti bagaimana tata cara salat jika menjadi makmum masbuk, yaitu makmum yang mengikuti salat jamaah ketika salat telah berlangsung. Ia lantas memilih menunggu mereka selesai salat, lalu melaksanakan salat Subuh seorang diri, meski hanya dengan niat dan lafaz Allah saja yang baru bisa ia hafalkan.
Bara merintih dalam sujudnya. Bukan sebab sakit dan lelah. Namun, sebab pekerjaan yang ia tak tahu apakah Allah menerimanya atau tidak. Pemuda itu mohon ampun serta berdoa agar Allah memberinya pekerjaan lain yang jauh dari kemaksiatan.
***
Bara terbangun kala sinar matahari mulai menusuk retina matanya. Tak terasa sudah tiga jam lebih ia tertidur di teras masjid seusai menunaikan salat Subuh seorang diri. Beruntung, masjid besar yang berada di tengah pusat keramaian itu terbuka 24 jam bagi siapa saja yang ingin menunaikan salat atau sekadar beristirahat dari safar. Lelah dan kantuk tak mampu lagi ia tahan, hingga Bara membiarkan tubuhnya terkulai di sana.
Ia beranjak ke tempat wudu untuk mencuci muka, lalu bergegas kembali ke masjid An Nur. Namun, perutnya kian memberontak setelah 24 jam lebih lambungnya tak diisi makanan apa pun untuk digiling dalam organ tersebut. Hanya sarapan dari Pak Amin pagi kemarin yang menjadi sumber tenaganya hingga pagi ini.
Bara melihat isi dompetnya yang kini telah terisi lembaran rupiah dari hasil kerjanya semalam di klub malam. Sengaja ia minta gajinya dibayar per hari agar ia bisa memiliki uang pegangan. Bara lantas melangkahkan kakinya menuju sebuah rumah makan Minang yang menyediakan berbagai menu yang tampak sangat menggiurkan, terlebih dalam kondisi lapar yang teramat sangat seperti perutnya saat ini. Ia pun melihat deretan menu dari balik seteleng kaca yang tampak bening dan bersih, sembari menelan air liur yang terus mendesak keluar melihat makanan-makanan itu.
"Pesan apa?" tanya seorang pelayan.
Bara sempat berpikir sejenak tentang apa yang akan ia makan. Namun, ia segera menjawab, “Nasi pakai telur." Hanya menu sederhana itu yang ia pesan. Ia tahu bahwa ia tak harus memilih menu ikan atau daging untuk sekadar memulihkan tenaganya. Ia harus menghemat pengeluaran sampai benar-benar mendapatkan pekerjaan tetap yang halal dan baik.
Bara pun makan dengan lahap meski hanya dengan lauk telur dadar. Namun, kuah, sambal, juga sayuran membuat makanannya terasa lebih nikmat. Tenaganya pun kembali perlahan seiring nasi yang mulai kosong di piringnya.
“Alhamdulillah,” gumam Bara, mengucap syukur atas makanan pagi ini.
Bara melanjutkan langkah setelah membayar makanan. Tiba-tiba terdengar teriakan seorang pengunjung pasar.
"Copeet ...!" Seorang ibu berpenampilan necis berteriak panik. "Tolong! Tas saya!"
Mata elang Bara langsung menangkap sosok lelaki yang berlari membawa sebuah tas. Tanpa pikir panjang, ia segera mengejar pencopet tersebut.
Bara berlari dengan sangat gesit di antara keramaian pasar. Namun, ia cukup sulit mengejar pencopet itu di tengah ramainya pengunjung yang membuat langkahnya beberapa kali terhalang. Hingga akhirnya ia mengejar pencopet itu hingga masuk ke lorong-lorong sempit perkampungan.
Dua lelaki yang saling berkejaran itu harus melompati kursi-kursi yang di susun di jalan untuk keperluan pesta salah seorang warga. Mereka juga berusaha menghindari anak-anak yang tengah berjalan dan bermain di tengah jalan.
Jalanan sempit di tengah perkampungan padat penduduk itu membuat Bara keduanya nyaris terjatuh. Mereka terus berlari hingga melewati jemuran pakaian yang rendah. Bahkan, sarung di jemuran sampai jatuh akibat ditarik oleh pencopet itu dan Bara bergantian.
Bara terus mengejar hingga lelaki pembawa tas itu terpojok di sebuah tembok tinggi yang sangat sulit untuk dilompati.
"Kau tidak akan bisa kabur!” Bara menyeringai meski dengan napas yang terengah-engah. Tak berbeda dengan lelaki yang berdiri dua meter di hadapannya. Keduanya tampak sangat lelah setelah berlari melewati berbagai rintangan di perkampungan itu.
Pencopet itu lantas bergerak ke kanan, Bara pun gesit bergerak ke kanan. Ia ke kiri, Bara juga ke kiri. Hingga si pencopet merasa benar-benar terpojok. Tiba-tiba ia menyodorkan tas itu ke hadapan Bara.
“Ambil dan biarkan aku pergi.” Lelaki itu mencoba bernegosiasi.
Bara mengernyit. Mengapa begitu mudah pencopet itu menyerah? Namun, perlahan ia mendekat dan meraih tas.
Namun, saat ia sudah memegang tasnya, si pencopet tiba-tiba menarik kembali dengan keras tas itu hingga tubuh Bara mendekat ke arahnya. Saat itulah tendangan lelaki itu mendarat kuat, tepat mengenai perut Bara yang baru saja terisi penuh oleh sarapannya tadi. Bara mendadak muntah, mengeluarkan semua makanan yang belum lama ia telan.
Pencopet itu pun mencoba kabur ketika Bara lengah. Dengan gesit Bara kembali mengejarnya.
Merasa tak mungkin terus mengejar dengan perut yang masih terasa tidak nyaman, Bara berpikir sambil terus berlari dan melihat sekelilingnya. Ada sebuah balok di depan sana. Ia lantas mengambil balok itu dan melemparkannya ke arah pencopet. Warga yang berada di sekitar tempat itu pun berteriak dan menyingkir agar tidak terkena lemparan balok Bara.
Plak!
Balok itu tepat mengenai kepala si pencopet, membuat lelaki terhuyung dan memperlambat larinya. Bara tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menjangkau lawannya. Sayang, pencopet itu menghilang di perempatan. Bara kehilangan jejak. Namun, ia masih bisa tersenyum karena tas korban tertinggal saat pencopet nyaris terjungkal terkena lemparannya.
Bara mengambil tas itu dan membawanya kembali ke pasar untuk dikembalikan kepada pemiliknya.
"Terima kasih, Nak." Si ibu pemilik tas segera memeriksa isi tasnya. Masih lengkap. Tak ada satu pun yang hilang.
"Nak, tunggu!"
Langkah Bara terhenti mendengar si ibu memanggilnya. Ia menoleh.
"Ini buat kamu." Ibu tersebut meletakkan dua lembar uang berwarna merah di tangan Bara.
"Tidak usah, Bu." Bara mengembalikan uang tersebut.
"Tidak apa, Nak. Ini tidak seberapa dibandingkan jasa kamu."
"Tidak apa, Bu. Saya ikhlas menolong." Bara tersenyum dan segera berlalu meninggalkan pasar. Ia kembali melanjutkan langkah yang tertunda menuju masjid An Nur.
‘Ikhlas? Apakah aku baru saja berkata ikhlas?’ batinnya.
‘Prok! Prok! Prok!’
Tepuk tangan seseorang terdengar beberapa meter di sampingnya, di tempat yang cukup sepi dari keramaian. Bara menoleh. Ia menatap tajam sekumpulan orang yang tengah berdiri menghadangnya.
Seorang lelaki berwajah bengis dan berhati iblis kini berada di hadapannya. Wajah yang haus akan harta, wanita, juga darah yang teramat dibenci oleh Bara. Wajah terkutuk yang tak pernah ingin ia lihat sampai kapan pun. Lelaki itu, yang membesarkannya untuk dijual kepada para penikmat sesama jenis.
Sorot mata elang Bara menatap satu per satu wajah pengikut Bandot dengan tajam. Di antara mereka, tampak wajah yang tak asing lagi. Wajah yang beberapa waktu lalu saling berkejaran dengannya untuk mengambil tas. Pencopet itu ternyata salah seorang anak buah Bandot. Bara pun menyadari bahwa, pengikut iblis itu tersebar di mana-mana untuk melakukan berbagai tindakan kriminal.
"Akhirnya kita bertemu lagi," ujar lelaki bernama Bandot itu dengan wajah merendahkannya. Seringai setan tak lepas dari bibir lelaki paruh baya itu.
Bara bergeming. Ia memasang kuda-kuda untuk menangkis serangan tiba-tiba yang mungkin akan dilancarkan oleh pengikut Bandot.
"Jangan tegang, anakku. Santai saja. Apa begitu caramu menyambut ayah yang selama ini membesarkanmu?" sindir Bandot lembut, tetapi sorot matanya penuh dengan intimidasi.
"Aku tak sudi kau sebut anak!" geram Bara. Ia berusaha tenang dalam kewaspadaan. Lelah belum juga hilang, ia kini harus dihadapkan pada situasi yang cukup sulit.
"Begitu, ya? Kalau begitu, menggonggonglah wahai anjing peliharaanku. Hahaha!" Bandot benar-benar melecehkannya. Merendahkan dirinya seperti seekor binatang.
Ucapan lelaki bengis itu membuat darah muda Bara mendidih. Bandot, adalah orang pertama yang ingin ia bunuh dengan kedua tangannya. Bara masih mengingat dengan jelas bagaimana penyiksaan yang lelaki kejam itu lakukan semenjak membawanya ke dalam lingkungan hitam menakutkan. Tamparan, pukulan, serta tendangan bertubi-tubi ia terima setiap kali melakukan kesalahan, sekecil apa pun.
"Menggonggonglah, anjingku!" teriak Bandot.
Bara tak tahan lagi mendengar hinaan dari mulut iblis itu. Ia berlari, hendak menerjang pria yang sekujur tubuhnya dipenuhi tato itu.
"Hiyaa!" Bara berlari dan menerjang Bandot. Namun, dihalau oleh para pengikut lelaki bengis itu.
"Bawa dia padaku hidup-hidup!" teriak Bandot pada anak buahnya dan bersiap untuk meninggalkan tempat itu. Menyerahkan urusan Bara kepada para pengikutnya.
Mau tak mau, Bara harus menghadapi mereka sebelum ia dapat menyentuh kulit lelaki bengis itu. Bandot tersenyum penuh kemenangan, dan berlalu meninggalkan Bara yang sedang menghadapi enam orang pengikut setianya yang terampil berkelahi.
"Hiyak!" Tendangan keras menghantam d**a salah satu pengikut Bandot hingga tersungkur.
Satu lawan enam. Meski tak seimbang, tetapi Bara tak sedikit pun gentar menghadapi mereka.
Sebuah pukulan keras dari tangan Bara menghantam wajah pengikut Bandot lainnya. Lalu, ia menangkis serangan dari dua orang sekaligus dengan kedua lengan. Sementara, satu kakinya menendang lawan. Kemudian beradu pukulan dengan satu orang yang tersisa.
"Hiyaaak!" Ia bertumpu pada lengan lawannya, lalu menerjang salah satu lawan yang hendak menyerangnya dari belakang.
‘Brak!’
Kaki kirinya menghantam tepat kepala lawannya. Membuat pengikut Bandot itu terjungkal menghantam kayu di belakangnya.
Satu pukulan lagi ia layangkan pada wajah pengikut Bandot yang masih bertahan di depannya.
Tiba-tiba, seorang lawan menerjang dari samping sebelum ia bersiap menangkis, hingga membuat Bara terjerembap di tanah. Tak ingin lengah, ia segera berdiri untuk menangkis serangan selanjutnya.
Lawan yang menendangnya tadi terus menyerang dengan membabi buta. Bara kewalahan menangkis serangannya yang begitu gesit. Ia nyaris terjungkal untuk kedua kalinya jika saja tangan dan kaki tidak sigap menahan semua serangan itu.
Kini, dua orang pengikut Bandot sudah berdiri di hadapannya. Mereka tampak bersiap untuk melumpuhkan dan membawanya ke hadapan Bandot.
Lelah yang mendera membuat Bara merasa tak sanggup melawan mereka. Ia pun berpikir untuk lari saja daripada melawan dan kalah, yang akhirnya akan membuat para preman itu membawanya kembali ke markas Bandot. Ia lantas berusaha mencari celah untuk bisa kabur dari para preman itu.
Bara melirik ke samping untuk mencari sesuatu yang bisa ia manfaatkan untuk kabur. Ia melihat persimpangan yang tak jauh dari sisinya, juga jemuran yang bisa ia gunakan untuk mengecoh lawan.
‘Kesempatan!’
Pemuda itu lantas berlari ke arah samping secepat mungkin, lalu melemparkan kain sarung yang ia tarik dari jemuran ke arah belakang agar mengganggu penglihatan para preman itu. Kain tersebut membuat langkah lawannya melambat karena penglihatannya tertutup. Dengan sisa tenaga yang ada, Bara berlari dengan sekuat tenaga, lalu berbelok ke kiri di sebuah persimpangan.
Pengikut Bandot pun kehilangan jejak. Mereka berhenti untuk menentukan ke mana akan mengejar Bara. Mereka akhirnya memutuskan untuk berlari ke arah kanan.
Bara yang mengintip dari balik tembok rumah warga bisa sedikit bernapas lega. Ia kemudian melompati tembok pembatas perkampungan tersebut dengan jalan raya. Ia berlari sekencangnya hingga memasuki wilayah rumah Rania.
Sebelum masuk ke sana, ia melihat sekitarnya untuk memastikan tak ada seorang pun pengikut Bandot yang mengikutinya. Bara khawatir para preman itu mengetahui tempat tinggalnya kini, lalu berbuat buruk di sana. Ia mengkhawatirkan keselamatan orang-orang yang telah menolongnya, terutama gadis yang mengisi hatinya, Rania.
Bara tergeletak di serambi masjid. Napasnya terengah-engah. Tubuh jangkungnya terkulai lemah tanpa tenaga. Ia pun memejamkan mata untuk merasakan kelegaan sementara. Ya, hanya sementara! Karena ia yakin, Bandot tak akan melepaskannya begitu saja.
Dengan mata yang masih terpejam, Bara berusaha menetralisir detak jantungnya yang berpacu kencang seperti mobil di sirkuit balapan. Sekaligus melepaskan lelah yang seolah-olah mengikat tubuhnya sangat erat. Tiba-tiba, terdengar suara lembut yang tak asing lagi di telinganya.
“Kak Bara?”
***