Part 5 (Jatuh Cinta)

2055 Kata
Part 5 (Jatuh Cinta) "Kita berbeda. Aku dan kamu, bagai bumi dan langit. Kamu bintang yang bersinar, sedang aku hanya sebuah batu hitam. Aku sadar, dan aku mundur." ~Bara~ *** Kicau burung sore ini terdengar begitu nyaring. Beterbangan di atas masjid untuk kembali ke sarangnya setelah seharian mencari nafkah. Seperti manusia, yang bekerja mencari rezeki-Nya dan kembali ke rumah saat waktu kerjanya sudah selesai. Awan-awan di sore yang cerah menghiasi langit biru, seolah-olah turut menghiasi hari pertama Abrar mengenal Tuhannya. Namun, kecantikan langit beserta awan-awannya tak mampu membendung kekaguman seorang pemuda terhadap gadis bercadar dengan mata indah yang memesona dan mampu menghipnotis Bara untuk terus memandang Rania. Ada rasa debar-debar dalam d**a pemuda itu ketika pandangannya dengan Rania bertemu. Mata indah gadis itu mampu menghipnotisnya untuk terus menatap dan perlahan menciptakan keteduhan di hatinya. Rania segera memalingkan wajah untuk menghindari tatapan Abrar, yang juga menimbulkan sebuah getaran yang berbeda di hatinya. Ia lantas menghampiri anak-anak yang segera menyambut dan mencium punggung tangannya bergantian. Rania beserta anak-anak muridnya pun berjalan ke dalam masjid. Ia tersenyum pada Pak Amin, lalu berpura-pura tidak melihat Bara saat langkahnya berada tak jauh dari jendela, tempat di mana lelaki itu sedang membersihkan kaca. Ia takut pandangan kedua terhadap lawan jenis akan menimbulkan fitnah bagi keduanya. Anak-anak segera membentuk lingkaran bersama Rania untuk memulai mengaji sore ini. Sementara di serambi masjid, sesosok pemuda tampan yang tengah memperhatikan Rania sejak tadi, masih betah berada di sana dan memandang gadis itu dari kejauhan dengan bibir yang tersungging, menciptakan senyuman tipis di wajah tampannya. Meski ia tahu, Rania tampak menghiraukannya, tetapi itu tak menyurutkan rasa yang tiba-tiba bergelora di dadanya. "Jangan memandangnya terus, tidak baik." Ucapan Pak Amin menyadarkan Bara. Membuat pemuda itu tersipu dan kembali membersihkan kaca jendela masjid. "Saya melihat anak-anak," kilahnya. "Anak-anak atau gurunya anak-anak?" goda Pak Amin. Bara bergeming. Tak ada yang salah dengan ucapan Pak Amin. Gurunya anak-anak lah yang sejak tadi ia perhatikan. Namun, ia tak ingin mengiyakan. Ada rasa malu di hatinya jika Pak Amin tahu yang ia rasakan saat ini. Bara pun hanya tersenyum menanggapi godaan pria paruh baya itu. *** Suasana di dalam masjid mendadak terasa canggung. Jarum jam dinding yang terpajang di tengah tembok depan terdengar nyaring mengisi kecanggungan suasana belajar sore itu. Dinding-dinding masjid pun seolah-olah membisu menyaksikan suasana baru yang belum pernah terjadi. Bara, lelaki bertubuh tinggi itu duduk bersila dengan kepala menunduk di antara anak-anak yang sedang belajar mengaji dengan Rania. Kedua matanya menatap keramik putih yang tiba-tiba terasa sangat dingin di kakinya. Jiwa pemberani yang selalu ingin memberontak, tiba-tiba merasakan nyali yang menciut, bahkan untuk sekadar mendongak melihat anak-anak yang sejak tadi memperhatikannya dengan tatapan heran. Apalagi untuk menatap wajah gadis yang masih betah tertutup oleh sehelai kain berwarna biru, senada dengan hijab dan pakaiannya. Gadis yang ia perlakukan tidak baik setelah menolongnya atas kejadian malam nahas itu. Sebongkah penyesalan tiba-tiba menghantam-hantam di dalam d**a Bara setelah teringat kejadian itu. Keinginan untuk meminta maaf pada sang gadis pun menyeruak kuat saat itu juga. Namun, suasana seperti ini membuatnya mengurungkan niat dan mencari waktu yang tepat. "Kak, sana maju." Suara anak lelaki di sampingnya dan sentuhan anak itu di lengannya membuat Bara tersadar dari lamunan. Ia mendongak menatap anak itu dan tersenyum. Namun, sejatinya ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bara lantas menoleh ke arah Rania. Gadis yang ia pandang ternyata sedang memperhatikan dirinya. Rania mengangguk dan mempersilakan Bara duduk di hadapannya. Kini, sudah tiba gilirannya untuk membaca buku Iqra. Pelan pemuda itu melangkah, lalu duduk kembali di hadapan Rania. Jarak yang cukup dekat membuat Bara mampu melihat lebih detail garis mata dan kelopak gadis itu. Juga binar matanya yang begitu indah. Mendadak jantungnya berdetak tak karuan. Ia pun segera menundukkan pandangannya untuk meredam detak jantungnya yang tak mau berkompromi setiap kali memandang wajah gadis di hadapannya. Ia kembali merasakan sebuah perasaan yang terasa asing, yang hinggap ke dalam dadanya. Sebuah rasa yang membuat hatinya yang selama ini hampa mulai berwarna. “Sudah bisa baca Alquran?” tanya Rania tiba-tiba, tetapi terdengar ragu-ragu, yang membuat Bara mendongak dan kembali memandang wajahnya. Wajah tampan berkulit putih itu seketika merona menahan malu. Ia yang sudah tak kecil lagi, tak mengerti apa pun tentang membaca Alquran. Bara pun menggeleng pelan sambil menunduk kembali untuk menyembunyikan wajahnya yang semakin merah. "Kalau begitu kita mulai dari Iqra." "Iqra?" Dahinya berkerut, membuat Rania bingung apakah lelaki itu tidak tahu akan benda yang baru saja disebutkan Rania, atau sama sekali tidak bisa membacanya. Rania lantas meminjam Iqra pada salah satu muridnya dan menyodorkannya pada Bara. Dengan tahan gemetar Bara mengambil buku dengan sampul berwarna hitam itu dari tangan Rania. Ia memandang sejenak, lalu membuka halaman pertama dengan perlahan. Tampak huruf-huruf seperti tiang yang berdiri tegak, juga huruf lainnya yang berbentuk mirip mangkuk dengan sati titik di bagian bawahnya. Bara lagi-lagi mengernyitkan dahi melihat deretan huruf yang sama sekali tidak ia ingat cara membacanya. Atau bahkan tak pernah membacanya sama sekali. Selama hidup bersama Bandot, tak sekali pun ia mendapatkan pendidikan agama dari lelaki itu. Bahkan, pendidikan sekolah pun belum pernah ia dapatkan. Hanya baca tulis yang pria bengis berhati kejam itu ajarkan kepadanya. Seolah-olah mengerti akan ketidaktahuan Bara terhadap huruf-huruf awal di buku Iqra, Rania lantas menawarkannya untuk belajar dari awal. “Kita mulai saja dari sini,” ujar Rania sambil menunjuk huruf pertama di baris pertama dengan menggunakan telunjuk yang terbuat dari bambu. "Bismillahirrahmanirrahim." Rania memulakan. "Bismi--" Bara belum bisa meneruskan. Rania memahami dan mencoba mengucapkannya perlahan agar lelaki di hadapannya bisa mengikuti. "Bismillah," ucap Rania perlahan. "Bismillah." Bara mulai mengikuti. "Hirrahman." "Hirrahman." "Nirrahiim." "Nirrahiim." Dengan telunjuk bambunya, Rania menunjuk huruf dalam buku Iqra dan mulai menyebutkan namanya. "A," ucap Rania menunjuk huruf berbentuk seperti garis tegak tersebut. "A?" Bara mengulangi. Rania mengangguk. Gurat senyum terlihat dari kelopak matanya yang menyipit. Sebuah pemandangan yang membuat hati Bara kembali merasakan getaran untuk ke sekian kalinya. Tak ingin terus terlena dengan perasaan tersebut, Bara pun kembali memfokuskan dirinya pada lembaran Iqra yang sedang ia pelajari. "Ba," ucap Rania, menunjuk huruf seperti mangkuk dengan satu titik di bawah. "Ba." Bara mengulangi. Ia perhatikan huruf tersebut dengan detail agar lebih mudah mengingatnya. Dua halaman sudah Rania ajarkan membaca Iqra pada Bara sore itu. Sebenarnya ingin lebih, karena sebagai orang dewasa, pemuda itu bisa mengingat beberapa huruf sekaligus. Namun, gadis itu tak ingin anak-anak muridnya yang lain pulang terlalu lama karena menunggu Bara selesai. "Sampai di sini saja dulu. Kasihan anak-anak, nanti keburu magrib," ujar Rania. Lelaki itu mengangguk. "Terima kasih," ucapnya seraya tersenyum. Senyuman pria asing yang membuat Rania tersipu. Beruntung, sehelai cadar yang ia kenakan dapat menutupi wajahnya yang merona akibat sebuah rasa yang juga tak dimengerti oleh gadis manis berusia 22 tahun itu. Setelah mengajarkan Bara tiga huruf awal dari huruf hijaiah, Rania mengajarkan anak-anak sebuah doa dan hadis. Setiap sore, mengajarkan doa dan hadits menjadi kesehariannya dalam mengamalkan ilmu yang dimiliki setelah mengajar anak-anak membaca Iqra. Gadis yang sedang menyelesaikan skripsinya itu tak pernah meminta bayaran dari para muridnya. Ia mengajar karena sebuah panggilan hati. Namun, tak jarang murid-murid itu membawa sesuatu untuknya dari orang tua mereka. Baik itu makanan, maupun pakaian seperti gamis dan jilbab. Bara memperhatikan gadis yang menutup tubuhnya dengan sempurna itu tanpa berkedip. Wanita yang tampak sangat unik di matanya. Bagai sebuah intan berlian yang berada di sebuah ruangan tertutup, yang tak seorang pun dapat menyentuhnya, atau sekadar melihat keindahannya. Sebuah hal yang sangat kontras dengan gadis-gadis yang setiap hari ia temui bersama Bandot. *** Anak-anak berlarian keluar masjid dan berlomba memakai sandal mereka masing-masing. Tawa mereka terdengar nyaring di pekarangan masjid An Nur, yang setiap sore menghiasi pemandangan Pak Amin selama tinggal di sana. "Assalamualaikum, Pak Amin." Rania menghampiri Pak Amin yang sedang duduk di serambi masjid. "Waalaikumussalam. Sudah selesai ngajar ngajinya, Nak?" tanya Pak Amin yang baru saja selesai membersihkan pekarangan masjid. "Sudah, Pak. Ini ada titipan dari Pak RT buat Bapak." Rania menyerahkan sebuah amplop putih berisi upah dari Pak RT atas jasa Pak Amin membersihkan kebun di belakang rumahnya kemarin. "Oh, terima kasih." "Saya pulang dulu, Pak. Assalamualaikum." "Waalaikumussalam." Gadis itu memakai sandalnya dan berjalan menuju gerbang. Baru beberapa langkah, terdengar seseorang memanggil namanya. "Rania!" Gadis itu menoleh ke belakang. Pemuda yang membuatnya sangat takut pagi tadi, kini menjadi seseorang yang berkali-kali membuatnya tersipu. Rania berhenti dan menundukkan pandangan. "Ada apa, Kak?" tanya Rania. ‘Kak?’ Sebutan itu terdengar unik di telinga Bara. Ia merasa tersanjung seseorang menyebutnya "Kakak”. Terlebih, dari bibir seorang gadis yang membuat darahnya berdesir meski baru saja mengenalnya. "Saya ... ingin minta maaf. Maaf atas perbuatanku tadi pagi." Rania hanya mengangguk. Namun, kejadian semalam mendadak berputar kembali dalam ingatannya. Kejadian di mana pemuda di hadapannya itu pingsan dan menimpa tubuhnya. Rania tak mampu lagi membayangkannya.ia benar-benar merasa sangat malu mengingat kejadian itu. Wajahnya mulai terasa panas. Rona merah di kedua pipinya akan jelas terlihat andai cadar itu tak menutupi wajahnya. "Sa-saya permisi," ucapnya dan bergegas meninggalkan Bara. Rania tak berani berlama-lama berbicara dengan lelaki asing itu. Apalagi mengingat kembali kejadian-kejadian yang membuat dirinya merasa tak mampu menjaga diri. "Terima kasih, Rania!" teriak Bara sebelum gadis itu keluar dari gerbang masjid dengan langkah lebar yang tergesa-gesa. Angin membawa kalimat Bara ke telinga Rania. Gadis itu tersenyum. Bunga-bunga di hati yang selama ini kuncup, kini mulai merekah. Memberikan rasa yang tak mampu diucapkan dengan kata-kata. *** "Kak, ini dari Kak Rania." Seorang anak lelaki yang hendak salat Isya di masjid menyerahkan sebuah bungkusan kepada Bara. "Terima kasih, Dik." Bara mengambilnya dan meletakkan di meja dalam kamarnya, lalu masuk ke masjid untuk menunaikan salat Isya berjamaah. Setelah salat dan berbincang-bincang dengan Pak Amin, Bara kembali ke kamar untuk beristirahat dan merebahkan diri di kasur. Sepasang manik hitamnya menangkap sebuah bungkusan di atas meja. Ia lantas bangkit dan segera membuka isinya. Bibirnya menyunggingkan senyum yang lebih lebar dibanding siang tadi, setelah melihat hadiah yang tak pernah ia sangka-sangka dari gadis yang membuat senyumnya berkali-kali merekah. Gadis itu semakin menyirami bunga yang kian bersemi di hati. Baru sehari, tetapi perasaan aneh yang menyenangkan itu begitu jelas ia rasakan. Bara membuka buku Iqra tersebut dan mengulang kembali bacaan yang Rania ajarkan sore tadi. Setelah merasa benar-benar hafal, ia kembali merebahkan diri di kasur dengan melipat kedua tangannya di bawah kepala. Bayangan gadis bercadar yang hanya memperlihatkan kedua mata indahnya itu menari-nari dalam benak Bara. Pikirannya melayang pada pertemuan pertama mereka. Ia bangkit dan terduduk di kasur kala mengingat kejadian malam itu. Samar-samar ia mengingat wajah Rania yang ketakutan. Lalu, ia menyadari apa yang terjadi sebelum ia benar-benar tak sadarkan diri di atas tubuh Rania. Teringat akan hal itu membuat Bara merasa begitu malu. Meski ia tahu ia tidak sadar dan tidak sengaja, tetapi tetap saja ia merasa begitu jahat. Apalagi pagi tadi ia mengancam Rania untuk mendapatkan tempat tinggal. Wajah Rania sore tadi yang tampak malu dan tergesa-gesa meninggalkan masjid pun akhirnya ia sadari. Gadis itu pasti juga merasa sangat tidak nyaman dengan kejadian yang begitu memalukan. Bara tak berani untuk bertemu dengan gadis itu esok hari. Ia memilih menutup wajahnya dengan bantal. Mencoba memejamkan mata meski pikirannya dipenuhi dengan satu nama, Rania. *** Sebuah rumah berlantai dua berdiri kokoh di tengah tempat tinggal yang cukup sepi jika malam hari. Namun, sinar rembulan yang indah dan taburan bintang yang berkelap-kelip mengiasi langit malam ini, juga perumahan tempat Rania dan kakaknya—Pandu—tinggal. Rania berdiri di balkon rumahnya di lantai dua, menyaksikan pemandangan indah di langit rumahnya. Sebuah keindahan malam yang Allah ciptakan untuk hamba-hamba-Nya di bumi. Ia pun meresapi nikmat yang tiada tara dalam hidupnya itu. Pikirannya melayang pada satu sosok yang baru ia kenal satu hari. Lelaki yang tidak punya rasa malu atau gengsi untuk belajar bersama anak-anak. Tanpa sadar bibirnya mencipta senyum. Mengingat sosok Bara, membuatnya berkali-kali merasakan panas di wajah. Terlebih, saat mengingat kejadian semalam yang membuat sang kakak marah besar kepadanya. Wajahnya merona. Ia lantas beristigfar untuk menghalau ingatan itu kembali berkelebat dalam pikiran. "Semoga Allah memberimu petunjuk," gumamnya seraya memandangi keindahan rembulan. Pertama kalinya bagi Rania merasakan debaran yang aneh ketika bertemu dengan seorang pria. Debaran yang menuntutnya untuk masuk ke dalam sebuah rasa, yang ia sendiri belum yakin jika itu bernama cinta. Terlalu dini, pikir Rania. Ia tak ingin setan berhasil menjerat hatinya. Ia khawatir rasa yang ditempatkan pada lelaki yang belum menghalalkannya hanya akan menjerumuskan dalam jurang dosa. "Astaghfirullah. Ya Allah, jagalah hatiku untuk seseorang yang telah Engkau tetapkan untukku." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN