Part 15 (Kunjungan Rania ke Rutan)

1043 Kata
Part 15 (Kunjungan Rania ke Rutan) Bara duduk termenung di sudut ruang tahanan. Sejak tadi, pikirannya terus melayang pada sebuah bangunan yang selama beberapa hari ini selalu memberikan ketenangan di hatinya. Juga dua orang yang begitu baik dan peduli padanya. Pak Amin dan Rania. Mendadak ada rindu yang teramat besar di dalam d**a pemuda itu. Rindu akan ketenangan ketika mengingat Rabb-nya. Rindu akan ibadah yang ia lakukan dengan gerakan berdiri, rujuk, dan sujud. Rindu akan nasihat-nasihat Pak Amin yang memperlakukannya seperti anak sendiri. Juga ... rindu akan garis senyum yang terlihat di sudut pelupuk mata seorang gadis bercadar bernama Rania, yang setiap sore akan terlihat di masjid An Nur untuk menyalurkan ilmunya kepada anak-anak, juga kepada dirinya yang tidak tahu apa pun tentang agamanya sendiri. Tanpa ia sadari, kedua bibirnya membentuk sebuah lengkung ke atas. Senyum yang tak pernah lagi terukir di bibirnya sejak menjadi tahanan di tempat ini. Namun kini, hanya dengan mengingat semua hal itu saja sudah mampu membuat wajah tampan yang selalu murung itu kembali terlihat hidup. Semangat hidup Bara yang sempat hilang pun kini mulai kembali perlahan. Ada secercah cahaya yang saat ini mulai kembali menyinari lorong-lorong gelap di hatinya. Azan Magrib belum lama terdengar dari masjid yang ada di lingkungan rumah tahanan ini. Bara mencoba untuk kembali bangkit menjemput hidayah. Ia tak ingin kembali terpuruk dan terperosok ke jurang yang sama, sebagaimana ia hidup bersama Bandot dan para anak buahnya. Bara beranjak dari tempat ia duduk dan memanggil sipir dari balik jeruji besi yang berjejer sebagai pagar setiap sel ruang tahanan. Ia meminta petugas untuk mengizinkannya ke kamar mandi. Pemuda itu begitu rindu akan kesejukan air wudu yang membasahi wajah dan beberapa anggota tubuh lainnya. Pemuda itu mulai kembali menyingkirkan kebenciannya terhadap takdir. Ia ingin kembali, merasakan kasih sayang Ilahi. *** "Allahu akbar." Bara memulai salatnya. Takbiratul ihram sudah ia lakukan. Hatinya bergetar kala bertakbir mengagungkan Tuhannya. Ini adalah salat pertama baginya di dalam penjara, setelah beberapa waktu salat ia abaikan, meninggalkan kewajibannya sebagai seorang hamba Allah. Kedamaian mulai menjalar ke seluruh nadinya. Wajah Bara terasa hangat. Perih di kedua mata. Air matanya lantas mengalir deras ketika keningnya menyentuh lantai. Bara menangis, mengharap ampunan Ilahi atas segala perbuatannya. Ia mengemis kasih pada Sang Pencipta agar tidak meninggalkannya. Ia rindu … rindu akan kedamaian agama yang selama ini ia tinggalkan. “Ampuni aku ... maafkan aku. Jangan tinggalkan aku, jangan abaikan aku, Tuhanku,” lirihnya dalam sujud yang panjang. Selesai salat, Bara duduk di sudut ruangan pengap sel tahanan. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah, seraya memohon kepada Allah agar bisa segera keluar dari tempat itu. Ia ingin kembali belajar agama dan menjadi seorang Muslim yang seutuhnya. Bara ingin memperbaiki salatnya yang masih jauh dari kata sempurna. Ia rindu melafalkan bacaan yang ada di dalam buku Iqra bersama Pak Amin. Juga keinginan yang besar untuk melihat sang gadis--yang mencuri separuh hatinya--menceritakan sebuah kisah. Tidak! Apakah ia pantas mencintai gadis alim seperti Rania? Sedangkan dirinya hanya seorang yang hina, yang keluar masuk tempat maksiat, bahkan menjadi seorang narapidana. Bara coba membuang rasa di hatinya. Rasa yang ia anggap tak pantas untuk dirinya yang begitu kerdil di mata Tuhan. Namun, semakin ia mencoba, semakin dalam sosok gadis itu merasuki hatinya. Rania. Nama itu terukir indah dalam relung hati Bara. Seketika, rindu yang besar pun menyeruak memanggil sang dambaan hati. Meski ia sadari, mereka bagaikan langit dan bumi yang tak pantas dan tak akan mungkin pernah bersanding. "Bara, ada kunjungan untukmu." Seorang sipir membuka gembok pintu sel tahanan, lalu membawa pemuda itu ke sebuah ruangan yang digunakan untuk kunjungan seseorang kepada salah satu narapidana. ‘Kunjungan? Malam ini? Siapa?’ Bara bermonolog. Tak mungkin ada yang mengunjunginya di tempat seperti ini. Tak ada seorang pun yang akan peduli padanya. Apakah Pandu? Petugas yang terus-menerus bertanya tentang identitasnya. Bara terus menebak-nebak siapa yang datang untuk menemuinya malam ini. Pandu, atau mungkin ... Bandot, yang sudah mengetahui keberadaannya? Sayang, semua dugaan di kepalanya salah besar. Sepasang mata elangnya yang tajam itu membulat kala melihat sosok dua orang yang sedang duduk menunggunya di sebuah ruangan. Dadanya berdegup kencang. Detak jantungnya saling berpacu tanpa aturan. Ia tak menyangka, dua orang yang sangat ia rindukan, yang baru saja ia pikirkan kini ada di depan mata. Seketika, sepasang bibirnya langsung menyunggingkan senyum tipis di wajah tampannya yang tampak kusut. "Pak Amin, Rania?" Sepasang mata yang sering menampakkan sorot tajamnya itu mendadak terasa hangat. Ada butiran-butiran yang pemuda itu tahan sekuat tenaga agar tidak mengalir di depan Pak Amin dan Rania. Ia tak ingin dianggap lemah. Ia tak ingin membuat dua orang di hadapannya itu melihat sosok rapuh dalam dirinya. Meski begitu, taman gersang di hati Bara lantas bersemi detik itu juga. Kekeringan yang melandanya selama berada di balik jeruji besi, mendadak diterpa hujan deras yang menyuburkan hati. Bahagia tak dapat ia mungkiri. Ia merasa tak lagi sendiri. Ia merasa Tuhan masih peduli padanya, dengan mengirimkan dua orang yang selama ini mengajarkan nilai-nilai agama padanya. "Bara …," lirih Pak Amin dengan suara bergetar dan menatap pemuda yang selama ini ditunggu kepulangannya dengan tatapan penuh iba. Sepasang mata tua lelaki itu berkaca-kaca. Tampak jelas gurat kesedihan di wajah Pak Amin yang tak mampu lagi ditutupi oleh pria paruh baya itu. Tak tahan melihat Pak Amin dengan wajah sedihnya, juga rindu yang menguar dalam d**a Bara, ia segera menghambur, memeluk erat orang tua yang selalu perhatian padanya itu. Dalam peluknya, terasa isak tangis Pak Amin yang tak dapat lagi ditahan oleh orang tua yang sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. "Pak Amin ...,” lirih Bara tanpa melepas pelukannya. Ia nyaris menumpahkan air mata jika tidak langsung mendongak agar bulir bening itu tidak tumpah. Bara merasa harus tetap terlihat tegar di hadapan Pak Amin dan Rania agar tidak menimbulkan kesedihan yang semakin dalam di hati keduanya. Setelah beberapa saat, dua orang yang tampak seperti ayah dan anak itu pun melepas pelukannya. Tak jauh di hadapan Bara, Rania berdiri melihat dua lelaki yang saling melepas rindu itu. Ada getir dalam hati Rania yang membuatnya ingin menangis menyaksikan kerinduan dua lelaki beda usia itu. Kedua matanya pun menghangat dan tampak merah menahan perih, seperti perih di hatinya melihat kondisi Bara saat ini. Bara menoleh ke arah gadis itu dan menatapnya lembut. "Rania …," lirih Bara lembut seraya mendekat ke arahnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN