Part 13
"Siapa kau sebenarnya?" tanya oknum aparat bertuliskan Pandu di seragamnya, ketika ia dan Bara telah berada dalam sebuah ruang investigasi. Sorot matanya yang tajam menatap pemuda di hadapannya seperti ingin menelan mangsa hidup-hidup.
"Kenapa kau selalu menanyakan siapa aku?" Bara menjawab ketus tanpa sopan. Ia tidak lagi menganggap bahwa lelaki di hadapannya adalah orang yang lebih tua darinya dan orang yang telah menolongnya. Harapan-harapannya telah sirna, seiring gelapnya jalan hidup yang harus ia tempuh saat ini.
Kekecewaan dan kemarahan atas takdir yang tak pernah ia rasa adil, membuat Bara tak berminat lagi untuk berbicara dengan siapa pun. Termasuk Pandu, orang yang ia harapkan bisa membantunya keluar dari ruangan pengap itu, justru malah terus menerus mencurigainya.
Jawaban Bara yang terdengar kurang ajar itu lantas membuat Pandu semakin marah.
"Apa tujuanmu datang ke lingkungan kami?" selidik Pandu.
"Lingkungan siapa? Kau pikir aku sengaja datang ke tempatmu?” jawab Bara tak kalah sengit. Pandangan mereka beradu, seperti dua ekor harimau yang siap diadu.
"Kau ...!" Pandu naik pitam dan menarik kerah baju Bara. Ia nyaris meninju wajah itu untuk melampiaskan kemarahannya. Namun, akal sehat masih dapat mencegahnya melakukan perbuatan yang nantinya akan merugikan diri sendiri.
Anggota kepolisian itu pun kembali duduk tegak di kursinya. Ia mengatur napas untuk meredakan amarah dan menjaga sikapnya sebagai seorang aparat.
“Katakan, ada hubungan apa kau dengan Bandot?” tanya Pandu dengan sikap yang lebih tenang.
“Aku tak mengenal siapa orang yang kau tanyakan itu.”
Pandu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan setelah mendengar jawaban Bara, yang masih saja berkilah.
"Jika kau jujur, kami bisa mengurangi hukumanmu. Tapi jika kami menemukan bukti kau bersekongkol dengannya, bersiaplah menerima hukuman mati!" ancam anggota kepolisian tersebut.
"Bunuh saja aku saat ini. Hidupku sudah hancur sejak kecil. Terkadang aku juga ingin mati. Tapi bumi masih menginginkanku menginjaknya dan merasakan lagi kehidupan yang kejam," tutur pemuda itu. Raut wajahnya kini tampak datar tanpa ekspresi.
Pandu semakin tak mengerti jalan pikiran pemuda di hadapannya itu. Sia-sia saja ia bertanya. Sampai kapan pun, Bara--yang ia duga sebagai tangan kanan Bandot—tak akan pernah membocorkan informasi tentang keberadaan pemimpinnya.
Pandu pun memilih untuk menyelesaikan interogasinya terhadap Bara siang itu. Ia memutuskan untuk kembali ke rumah untuk beristirahat sebelum memasuki jam dinasnya.
***
Rasa khawatir Pak Amin kepada Bara semakin besar saja. Orang tua itu bahkan tidak bisa tidur siang akibat terlalu mengkhawatirkan keberadaan Bara. Salat Asar telah berlalu, tetapi pemuda itu masih juga belum terlihat batang hidungnya di masjid An Nur.
"Pak, masih memikirkan anak itu?" Pandu menghampiri Pak Amin yang duduk menyendiri di sudut serambi.
"Iya. Entah kenapa perasaan Bapak tidak enak."
"Kenapa Pak Amin sangat peduli padanya?" tanya Pandu penasaran.
"Bapak melihat kesedihan dan kesepian dari sinar matanya. Dia membutuhkan pendampingan selama proses hijrahnya. Bapak khawatir, niatnya menjemput hidayah akan menjauh ketika ia melakukan sesuatu di luar sana,” tutur Pak Amin dengan gurat sedih di wajah tuanya.
"Bagaimana jika ternyata dia bukanlah orang baik seperti yang Pak Amin pikirkan? Bagaimana jika dia hanya berpura-pura hijrah?"
"Saya tidak ingin berprasangka buruk padanya. Sekali pun masa lalunya sangat kelam, tetapi saat ini saya melihat ia bersungguh-sungguh kembali ke jalan Allah. Saya melihat kesungguhan itu dari sorot matanya.” Pak Amin menatap Pandu, berusaha meyakinkan bahwa Bara benar-benar menyesali kehidupan masa lalunya dan ingin menjemput hidayah yang sudah Allah tampakkan di depan mata.
"Bapak yakin?"
Pertanyaan Pandu membuat orang tua itu merasa sedikit heran dan menatapnya penuh tanya.
"Kamu sepertinya tahu keseharian Bara sebelum membawanya ke mari."
"Saya ingin mengatakan yang sebenarnya kepada Pak Amin.” Pandu menggeser posisi duduknya dan lebih mendekatkan wajahnya ke telinga Pak Amin. “Saya mencurigai Bara adalah salah satu pengikut Bandot yang kami cari selama ini."
"Bandot? Kepala gangster itu?" Pak Amin seolah tak percaya. Kelopak matanya terbuka lebih lebar mendengar apa yang keluar dari bibir aparat kepolisian di sampingnya. "Tidak mungkin, Pandu!”
Pandu menghela napas. Ia mengerti jika Pak Amin sangat terkejut dan sedikit tidak percaya dengan apa yang ia katakan. Sebab, orang tua itu memang tampak sangat mengkhawatirkan Bara seperti anaknya sendiri.
"Maaf jika hal tersebut mengejutkan Pak Amin. Itulah yang fakta yang saya temukan bersama rekan saya di kepolisian,” ujar Pandu.
Mendengar hal itu, tak ada gurat kekecewaan sedikit pun yang tampak di raut wajah tua Pak Amin. Orang tua itu justru terlihat sedih.
“Jika memang benar begitu, saya harap Bara bisa keluar dari kelompok itu dan benar-benar hijrah ke jalan Allah,” lirih Pak Amin dengan suara yang terdengar bergetar. Ia sama sekali tak pernah membayangkan bahwa Bara memiliki masa lalu yang seperti itu. Pak Amin pun paham. Mungkin, itu yang membuat Bara belum bisa bercerita padanya dan tampak sangat menyesali dosa-dosanya saat pemuda itu pertama kali mendengarkan suara azan di masjid ini.
“Bapak tidak apa-apa?” tanya Pandu khawatir melihat raut wajah Pak Amin yang tampak sangat sedih dan menahan air mata di kelopak matanya yang sudah keriput.
“Bapak masih berharap dia baik-baik saja ....” Pak Amin mencoba tegar meski hatinya teramat sedih memikirkan pemuda yang sudah ia anggap seperti anaknya itu.
Pandu menghela napas berat mendengar harapan-harapan Pak Amin terhadap salah satu kaki tangan Bandot itu. Ia jadi ragu-ragu untuk memberikan satu informasi lagi yang sedari tadi ingin ia sampaikan pada Pak Amin.
Hening tercipta di antara keduanya. Pak Amin dengan rasa sedih dan khawatirnya, terus memikirkan Bara. Sementara, Pandu masih menimang-nimang apakah harus memberi tahu tentang Bara yang berada di tahanan pada orang tua itu.
Beberapa menit berlalu tanpa kata di antara keduanya, Pandu akhirnya memutuskan untuk memberitahu tentang Bara pada orang tua itu.
“Pak, sebenarnya ada satu hal lagi yang harus saya sampaikan kepada Pak Amin.”
Pak Amin mengernyit. "Apa itu?"
"Bara tidak kembali ke sini karena berada di balik jeruji besi."
"Apa?!” pekik Pak Amin. Sepasang kelopak mata yang mulai sayu itu kini membulat sempurna. "Maksud kamu, Bara masuk penjara?" ulang Pak Amin untuk memastikan apa yang baru saja ditangkap oleh gendang telinganya, hingga tanpa sadar suaranya cukup keras dan bisa di dengar oleh siapa saja yang ada di sekitar masjid.
"Iya. Dia berada dalam tahanan."
Pluk!
Suara Alquran yang terjatuh dari jari lentik yang bergetar, terdengar di telinga Pandu dan Pak Amin.
Seorang gadis bercadar yang berdiri di dekat gerbang masjid segera mengambil kitab suci tersebut. Dadanya terasa sesak mendengar kabar yang baru saja ia dengar ketika sampai di masjid. Mendadak sepasang matanya mulai terasa panas. Ada luka yang tiba-tiba tercipta di dalam relung hatinya. Air matanya pun mendesak keluar dari persembunyian.
Gadis itu terluka. Mendapati kecewa. Hingga ia menyadari perihal sebuah rasa yang selama ini membuat detak jantungnya tak karuan. Rasa yang memang tak seharusnya ia biarkan tumbuh dan bersemi di hati.
Akankah rasa itu semakin nyata bernama Cinta, atau hanya singgah untuk meninggalkan luka?
***