Part 25 (Rumah Sakit)

1059 Kata
Part 25 (Rumah Sakit) “Bismillah!” ucap Rania sebelum memulai aktivitas barunya di sebuah rumah sakit swasta. Jubah putih sudah melekat cantik di tubuhnya. Ia siap memulai hari sebagai dokter baru yang akan memeriksa dan meresepkan obat kepada para pasiennya. Rania berkumpul di sebuah ruangan dengan beberapa dokter lainnya untuk menerima penataran sebelum bekerja. Ternyata, tak hanya Rania yang baru bertugas di rumah sakit ini, ada tiga orang dokter lainnya yang juga baru pertama kali bekerja sebagai dokter di sini. Dua orang dokter masuk ke ruangan itu dan tersenyum menyapa mereka yang sudah lebih dulu ada di ruangan itu. “Satu, dua, tiga, empat, sudah lengkap semua, ya,” ucap salah seorang dokter yang baru datang tadi. “Baik, perkenalkan, saya Dokter Hamid, ahli bedah syaraf. Saya yang akan membimbing kalian selama masa training ini,” ujar dokter berkacamata itu. Usianya sudah lebih dari setengah abad. Rania dan tiga orang dokter baru lainnya tersenyum dan menyapa dokter tersebut. “Saya akan dibantu oleh rekan saya yang ganteng ini. Silakan, Dokter Irham,” lanjut Dokter Hamid sambil menoleh kepada dokter yang masuk ke ruangan itu bersamaan dengannya. “Saya Dokter Irham, yang akan membantu Dokter Hamid selama masa training. Jika ingin bertanya sesuatu, jangan sungkan-sungkan untuk menanyakannya kepada saya,” terang dokter yang tampak jauh lebih muda dari Dokter Hamid itu kepada para dokter baru. Dokter tersebut sempat melihat ke arah Rania sejenak, lalu mengalihkan pandangan ketika Rania juga menoleh padanya. ‘Apakah ini Dokter Irham yang diceritakan Kak Pandu?’ tanya Rania dalam hati. Setelah perkenalan dan penjelasan singkat dari Dokter Hamid dan Dokter Irham untuk para dokter baru itu selesai, mereka pun dipersilakan keluar ruangan dan memulai aktivitasnya sebagai dokter baru di rumah sakit itu. “Rania!” Gadis yang sedang berjalan di lorong rumah sakit itu menoleh ke belakang. Dokter Irham, pria berusia sama dengan Pandu itu berlari kecil untuk menghampiri Rania. “Assalamualaikum,” sapa dokter muda berperawakan tinggi itu. Kulit putihnya yang bersih sangat menunjang penampilannya sebagai seorang dokter. Ditambah hidung yang mancung dan jenggot tipis di bagian dagunya, membuat penampilan Dokter Irham tak hanya menarik, tetapi juga bersahaja. “Waalaikumussalam,” jawab Rania. “Pandu sudah memberitahu saya kalau adik satu-satunya akan mulai bekerja di sini,” ujar Dokter Irham. Rania hanya mengangguk. “Jika ada kesulitan atau hal apa pun, kamu bisa menghubungi saya. Saya siap membantu,” jelasnya lagi. “Terima kasih, Dokter. Tadi Dokter juga sudah menjelaskan itu di ruangan bersama yang lainnya,” jawab Rania datar. Ia tak senang berbasa-basi. Sudah jelas bahwa dokter di hadapannya itu sudah memberitahukan hal tersebut saat briefing bersama dokter baru lainnya. Ia tak ingin Dokter Irham terlalu memperhatikannya hanya karena ia adik dari Pandu, teman dokter tersebut. “Ah, iya,” ucap Dokter Irham yang tampak salah tingkah. Ia tak mengira Rania bisa sedatar itu. Namun, hal itu justru semakin membuat Dokter Irham tertarik padanya. Sejak awal, Dokter Irham sudah mengetahui seluk beluk tentang Rania dari Pandu. Dan ia juga sudah memiliki niat untuk taaruf dengan gadis itu. Namun, ia tak ingin terburu-buru dan ingin mengenal sosok Rania lebih jauh. Pekerjaan mereka membuat kesempatan itu terbuka lebar di hadapan Dokter Irham. “Jika tidak ada hal lain lagi, saya permisi dulu,” ucap Rania. Dokter Irham mengangguk dan tersenyum. Rania segera berbalik dan meneruskan langkahnya yang terhenti menuju ruang IGD. “Niatku semakin mantap untuk meminang wanita sepertinya, Rania Munawwar,” gumam Dokter Irham sebelum kembali ke ruangannya. *** Ruang IGD terdengar ramai dengan suara tangis pasien yang kesakitan dengan lukanya. Seseorang tiba-tiba masuk sambil menggendong seorang pria paruh baya di punggungnya. Ada luka di bagian kepala pria yang tampak lemah dan meringis kesakitan itu. “Dokter! Tolong cepat!” pekik pemuda yang menggendong pria itu, lalu membaringkannya di brankar sesuai arahan salah seorang perawat. Bara, ia berdiri dengan wajah panik di samping dokter yang baru saja berlari menghampiri teman kerjanya yang mengalami kecelakaan saat bekerja. Lelaki itu terjatuh dan kepalanya membentur batu saat akan naik tangga untuk memasang batu bata di tempat yang lebih tinggi. Dengan sigap seorang dokter menangani pasien tersebut. Pertama sekali menahan agar darah tidak terus mengalir. Bara memperhatikan dengan saksama sembari berdoa agar kondisi teman kerjanya itu tak seburuk apa yang ia pikirkan. Sesekali ia memperhatikan sekelilingnya. Ada seorang pasien dengan luka luar yang tak kalah serius dari temannya, sedang merintih kesakitan, bahkan sesekali berteriak saat dokter mengobati lukanya. Tangan, kaki, dan keningnya penuh luka akibat kecelakaan lalu lintas. Saat akan menoleh kembali pada brankar tempat teman kerjanya ditangani, Bara terkesiap dengan satu pemandangan yang tak pernah ia sangka. Ia mengedipkan matanya beberapa kali untuk memastikan bahwa apa yang ia lihat bukan sekadar halusinasinya saja. Rania ... gadis itu tampak sibuk membantu seorang dokter yang tampak lebih tua dari mereka menangani salah seorang pasien yang berusia remaja. Ia memakai jubah putih seperti dokter lainnya, dengan cadar hitam yang menutupi wajah. ‘Apakah itu Rania?’ Bara terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Saat gadis itu mengalihkan pandangan hingga tatapan mereka bertemu, Bara semakin yakin bahwa ia benar-benar Rania. Sorot mata indah gadis itu tak bisa membohongi dugaannya. Sejenak keduanya bertatapan, kemudian Rania kembali fokus pada pekerjaannya. Sedangkan Bara, masih terus memandanginya dengan detak jantung yang berdebar kencang. Rindu yang selama ini masih terus membayangi hatinya, meski ia coba untuk menghilangkan sosok gadis itu dalam benaknya, kini menguar begitu besar dan nyaris membuatnya sesak. Ingin sekali ia menghampiri gadis itu. Menyapanya, menanyakan kabarnya, juga meminta maaf atas perbuatannya yang sungguh bukan ia sengaja. Namun, apa daya. Bara hanya bisa berdiri menatap Rania dari jarak beberapa meter saja. Tak lama, mandor di tempat Bara bekerja datang dan memintanya untuk keluar. Ia yang akan menggantikan Bara menemani pekerja malang itu dan mengurus semua administrasinya. Bara melangkah keluar dari ruang IGD. Sebelum menutup kembali pintu kaca ruangan tersebut, Bara menoleh ke arah Rania. Di saat yang sama, Rania juga sedang melihatnya. Pandangan mereka pun bertemu untuk kedua kalinya di rumah sakit ini. Rania segera memalingkan wajah dan mengambil gunting yang dibutuhkan oleh dokter seniornya. Sementara, Bara dengan lesu dan hati yang gundah, berjalan keluar ruang IGD dan menutup pintu. Ia berdiri mematung di sana dengan kondisi hati yang seharusnya segera mendapatkan perawatan intensif. ‘Rania ... dia sudah menjadi dokter. Aku turut senang. Selamat, Rania,’ ucap Bara dari lubuk hatinya yang terdalam. Lalu, melangkah pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan hati gembira bercampur sedih. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN