Renata menutup telepon setelah mendapat laporan dari seseorang. Dengan uang yang ia punya, ia bisa membuat siapapun berada di pihaknya, melakukan apapun yang ia minta.
“Sepertinya aku tak bisa menunggu lebih lama lagi,” ucap Renata yang membuat Saga meliriknya.
Renata menoleh pada Saga dan kembali mengatakan, “Aku ingin Teguh dipecat.”
Saga terdiam sejenak kemudian menyahut, “Kau bilang ingin mempermainkannya?”
Sebelumnya Renata berencana membuat Teguh naik jabatan kemudian di hari yang sama menjebak Teguh dengan satu kesalahan dan mempermalukannya di depan semua orang lalu membuatnya kehilangan pekerjaan saat itu juga.
Renata menghela napas. “Hah … aku berubah pikiran. Cara kemarin membutuhkan lebih banyak waktu. Aku ingin segera melihatnya frustasi hingga hampir gila. Buat dia dipecat dengan cara memalukan dan jangan biarkan satu perusahaan pun yang mau menerimanya,” ujarnya.
Saga hanya diam tapi, dalam kepala tengah memikirkan bagaimana cara membuat ucapan Renata itu terlaksana.
Tiba-tiba Renata mengalihkan topik pembicaraan saat ia teringat sesuatu.
“Oh, ya, bukankan sebentar lagi ulang tahunmu? Kau mau hadiah apa?”
Sudut bibir Saga terangkat dan mengatakan, “Aku bukan anak-anak yang mengharapkan hadiah.”
Renata mendengus. “Cih, padahal aku sudah memberikan hadiah. Baik lah, anggap saja hadiah itu bukan hadiah ulang tahun tapi hadiah karena kau sudah membantuku selama ini.”
“Jangan terlalu percaya diri. Aku membantumu semata untuk membalas budi pada kakek,” sahut Saga.
“Oh, ya, kau masih berhutang penjelasan padaku mengenai kau dan kakek.”
Saga melirik Renata sekilas di mana raut wajahnya tak menunjukkan ekspresi berarti. Sebenarnya ia tak berniat menceritakan pada Renata bagaimana bisa ia diangkat menjadi cucu angkatnya. Karena itu lah, ia selalu menghindar saat Renata membahas masalah ini.
“Lain kali saja. Kita sudah sampai,” ucap Saga saat mobilnya memasuki area perusahaan Starcam App.
Renata memutar bola mata. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi dan membuatnya semakin penasaran kenapa Saga ingin menyembunyikan apa yang ingin ia ketahui.
Di lain sisi, Teguh terlihat bicara dengan seseorang lewat sambungan telepon. Ia menyuruh orang bayaran mencari tahu semua tentang Renata, apa yang terjadi selama 3 tahun ini. Ia mencoba mencari di internet tapi, tak menemukan apapun.
“Beri aku waktu seminggu. Aku akan mendapatkan semua informasi yang kau mau.”
“Seminggu? Pekerjaan semudah itu, kau butuh waktu seminggu?” sungut Teguh kesal. Ia ingin mendapat informasi mengenai Renata secepatnya, menurutnya seminggu terlalu lama. Ia sangat penasaran.
“Bayaranmu saja terlalu sedikit, sialan. Aku bisa memberimu informasi hari ini juga tapi, kau harus bayar lima kali lipat.”
“Apa? Apa kau gila?” sentak Teguh. Tak mungkin ia mengeluarkan uang puluhan juta hanya demi informasi mengenai Renata.
“Kalau begitu sabar dan tunggu saja kabar dariku.”
Setelahnya panggilan terputus.
Teguh meremas ponsel di tangan. Kekesalan begitu tampak di wajah. Jika bukan karena mendapat rekomendasi dari salah satu teman, ia tak akan menghubungi orang itu dan meminta bantuan.
Teguh menggigit ujung kuku ibu jarinya. Tidak apa ia mengeluarkan uang, yang penting ia tahu semua tentang Renata agar menjawab rasa penasarannya sekaligus agar dirinya bisa mengambil langkah yang tepat menghadapi mantan istrinya itu.
Teguh berdecak dan mengumpat, “ck, sial.” Saat tiba-tiba terbayang wajah Renata yang begitu cantik jelita. Bayangan Renata yang menawan nan memikat terus terbayang dalam kepala.
***
Teguh baru saja pulang dan seperti biasa, Sari menyambutnya di depan pintu. Namun, sore ini Sari tampak berbeda, wajahnya sedikit pucat. Mungkin, masih terpikirkan apa yang ia alami pagi tadi.
“Ada apa denganmu?” tanya Teguh seraya memperhatikan sang istri.
Sari menangkup pipinya sendiri. “A- ada apa?”
“Wajahmu pucat,” jawab Teguh kemudian duduk di sofa untuk beristirahat sejenak sebelum mandi.
“Be- benarkah?” gumam Sari kemudian duduk di samping Teguh. Dengan sedikit ragu ia bertanya mengenai Renata. “sudah dapat informasi mengenai Renata?” tanyanya di mana di akhir kalimat saat menyebut nama Renata, suaranya sedikit bergetar.
“Aku sudah menyuruh seseorang mencari tahu,” jawab Teguh seraya menoleh pada Sari. “dan dia bilang beberapa hari lagi,” imbuhnya.
“A … begitu …” gumam Sari. Setelahnya ia hanya diam dan tampak gelisah.
Teguh melirik Sari dan melihat kegelisahan itu. Ia pun merangkul Sari dan mengatakan, “Tenang saja. Tidak usah khawatir. Apa yang kau takutkan?”
“A- apa? Ta- takut? Aku … tidak takut,” kata Sari. Meski begitu, raut wajahnya tak bisa menutupi perasaannya. Ia memang takut apalagi melihat Renata sudah berubah. Selain itu, Renata juga seperti telah menjadi konglomerat. Dan Sari sadar, siapa yang ber-uang, dia yang akan menang.
“Lalu apa yang kau pikirkan? Kau kelihatan cemas dan gelisah. Tenang saja aku akan melakukan sesuatu jika dia ingin melakukan sesuatu pada kita. Meski dia sudah berubah, tapi dia tetap lah Renata,” ujar Teguh berniat menghibur Sari. Ia kemudian menciumi istrinya itu dan merebahkannya lalu menindihnya.
“Tu- tunggu dulu,” cegah Sari yang menyadari apa yang Teguh inginkan.
Sebelah alis Teguh meninggi menatap Sari penuh tanya. Sebelumnya Sari tak pernah menyuruhnya menunggu setiap kali ia menginginkannya.
“Bisa kah lakukan dengan pelan-pelan?” ucap Sari. Sejak mereka berselingkuh hingga menikah, Teguh kerap kali terlalu bersemangat. Ia khawatir terjadi sesuatu pada calon bayinya jika Teguh melakukannya terlalu kasar.
“Apa? Kenapa?” tanya Teguh menaruh curiga.
“Ti- tidak, tidak apa-apa. Aku sedikit lelah, kau lihat sendiri wajahku pucat, kan?” jawab Sari sebagai alasan.
Teguh tampak berpikir, kemudian tanpa bicara apapun lagi menyerang Sari dengan ciuman-ciuman ganas di bibir hingga lehernya. Teguh mengabaikan permintaan Sari, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana ia mendapat kepuasan.
Beberapa hari kemudian, di waktu yang masih pagi, Teguh telah mendapat telepon dari seseorang yang tak lain, orang yang waktu itu ia suruh mencari tahu semua mengenai Renata.
“Halo, apa,” kata Teguh setelah menggeser layar. Ia baru saja bangun karena dering ponselnya dan belum mengumpulkan kesadaran sepenuhnya.
“Aku punya kabar gembira. Kabar yang ingin kau dengar.”
Mendengar balasan dari pemilik suara di seberang Sana, Teguh segera bangun dan meraih kesadaran. “Apa? Cepat katakan,” pintanya tak sabaran.
“Sebenarnya aku sudah mengumpulkan semua informasi tentangnya dan menjadikannya satu file. Tapi, aku bisa memberitahumu sekarang jika kau ingin.”
“Cepat katakan saja,” pungkas Teguh.
“Cih, dasar tak sabaran sekali. Baik lah, dia, wanita bernama Renata itu, telah mewarisi seluruh kekayaan kakeknya. Kakeknya adalah adalah konglomerat di kota sebelah.”
Wajah Teguh memucat, ia tak ingin percaya tapi, penjelasan orang itu sangat masuk akal.
“Ceritanya akan panjang. Sebaiknya kita bertemu saja di suatu tempat.”
Setelah mengatakan itu, panggilan berakhir. Orang suruhan Teguh mengakhiri panggilan.
Teguh menurunkan ponselnya perlahan dari telinga. Sekarang, rasa penasarannya terjawab sudah. Tapi, yang tidak ia mengerti, bagaimana bisa? Selama mengenal Renata bahkan menikah, yang ia tahu Renata tak punya lagi keluarga, orang tuanya sudah meninggal dan takasa saudara satu pun yang dimilikinya.
“Sayang, aku sudah buat sarapan.” Sari memasuki kamar dan terkejut melihat Teguh hanya diam setelah ia menyuruhnya sarapan.
Sari menghampiri Teguh dan melihat suaminya itu bengong dengan tatapan kosong. “Sayang, ada apa? Apa yang terjadi?” tanyanya sambil menyentuh bahu Teguh.
Teguh menoleh perlahan menatap Sari. Meraih kesadaran kembali ia mengatakan, “Renata dapat warisan dari kakeknya yang seorang konglomerat.”
Sementara itu di sisi lain, orang suruhan Teguh telah duduk berhadapan dengan Saga. Meski masih cukup pagi dan udara masih dingin, dua orang itu telah bertemu dan bicara.
“Sudah cukup?” kata Saga.
Pria itu menghitung uang dalam amplop yang Sangat berikan dan menjawab, “Ya, sangat cukup. Senang bisa bekerjasama denganmu.” Dijabatnya tangan Saga dengan wajah cerah dan senyuman merekah.
Saga menatap pria itu dengan raut wajah datar. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi.
“Kalau begitu aku pergi. Lakukan saja apa yang perlu kau lakukan dan tidak perlu kau lakukan,” ucap Saga kemudian berbalik dan melangkah pergi.
“Siap, Bos!” jawab pria itu dengan semangat menggebu. Ia tak peduli telah berkhianat pada Teguh, yang ia pedulikan, ia mendapat uang.
Pria itu menghirup aroma uang dalam amplop dalam-dalam. “Hm … aroma uang yang sangat lezat.”
Saga memasuki mobilnya dan tiba-tiba bersin. Udara pagi masih sangat dingin dan ia belum benar-benar fit setelah demam hari itu.
Baru akan menyalakan start mobil, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Dan siapa lagi kalau bukan Renata.
“Halo, ada apa?” tanya Saga yang berusaha menahan bersinnya. Ia tidak ingin Renata tahu ia belum sembuh benar.
“Sudah selesai? Jika sudah cepat pulang. Aku ada hadiah spesial.”
Saga menurunkan ponselnya dari telinga dan menatapnya dengan alis berkerut. Kiranya, hadiah spesial apa yang akan Renata berikan?