Di suatu pagi, di sebuah warung makan yang berjualan bubur dan aneka gorengan, Rahel sedang bersama temannya mengantri bubur di sana.
Rahel sedikit kurus dan selalu terlihat lesu. Teman-temannya berpikir Rahel mungkin masih patah hati setelah putus dari Malik. Bagaimanapun, keduanya telah menjalin hubungan cukup lama. Jadi mereka selalu ingin menghiburnya dengan mengajaknya melakukan berbagai aktivitas yang menyenangkan. Untuk mengalihkan pikirannya.
Seperti sekarang, setelah Minggu pagi yang melelahkan, berlari sekitar 500 meter, mereka memutuskan untuk beli sarapan.
"Hel, makan yang banyak!" Seru Nisa setelah mendapatkan semangkuk bubur, sedangkan dia akan menunggu mangkuk lainnya selesai di buat.
Rahel mengangguk, dia tahu temannya begitu baik. Mereka sudah berteman sejak awal masuk universitas. Jadi bisa dibilang mereka sangat akrab.
"Enak?"
Rahel mengangguk senang.
Nisa gemas melihat temannya yang cantik bersikap manis. Sebenarnya Rahel adalah gadis tercantik di angkatan mereka. Dia tidak mengerti, kenapa Malik melepaskan gadis secantik Rahel dan memilih Angel.
"Hel, Lo pasti liat kan kemaren Malik bawa Angel nongkrong bareng temen-temen. Jangan salah paham, sebenarnya temen-temen saat itu malah cuekin Angel. Kami juga gak suka cewek itu!" Nisa merasa harus menjelaskan, karena dia sudah khawatir sejak kemarin, saat Rahel melihat mereka dan Malik beserta pacar barunya itu nongkrong bareng di kantin. Padahal situasinya tidak seasik yang terlihat.
Meskipun Rahel tidak menunjukkan reaksi apapun, tapi sebagai wanita, tentu dia paham kalau akan menyedihkan melihat teman-teman kita duduk bersama pacar baru dari mantan.
Rahel hanya tersenyum. Tapi tidak memungkiri, kalau saat itu dia sedih. Malik bahkan berani mengajak Angel ke rumah sakit.
Kantin yang dimaksud adalah kantin rumah sakit. Banyak teman-temannya adalah jurusan keperawatan, sedangkan Rahel dan Nisa adalah Ilmu syaraf. Malik sendiri adalah senior mereka di universitas. Mungkin sekitar satu sampai dua tahun lagi, Malik akan menjadi seorang dokter bedah syaraf.
Mereka semua sering dibawa ke rumah sakit besar untuk mendapat pembelajaran. Apalagi Rahel dan Nisa adalah asisten dokter. Keduanya magang disana baru beberapa bulan sambil kuliah.
Jadwal mereka sangat padat, dan Rahel memiliki masalah makan semenjak kehamilannya. Badannya semakin kurus dan kulitnya juga pucat.
"Aku masih gak bisa lupain Malik. Semarah apapun, terlalu banyak kenangan bersamanya. Jadi gak bisa dipungkiri, aku kaget dia ajak angel ke sana. Malik gak magang lagi di rumah sakit kita, tapi dia dengan sengaja ajak pacar barunya ke sana. Aku gak bisa melihatnya! Sekuat apapun, aku merasa sangat terluka dan kesakitan."
Nisa memalingkan wajahnya ke arah lain, saat melihat mata berair Rahel. Dia juga sama bencinya. Sudah tahu Rahel lagi magang di sana. Tapi Malik masih dengan sengaja ajak pacar barunya ke sana.
"Lo masih sayang sama dia?" Nisa mencoba menanyakan perasan Rahel terhadap Malik.
Rahel tertawa kecil. Dia kemudian menggeleng. "Hanya saja sangat sakit, karena aku gak bisa lupain kebersamaan kami. Sehingga aku selalu merasa kesepian tanpanya. Tapi aku gak lagi cinta sama dia. Tidak mungkin bagi kita untuk kembali bersama!"
Nisa semakin sedih mendengar ucapan Rahel. Betapa rapuhnya hati seorang wanita. Bahkan setelah terluka, ingatannya juga tidak bisa dilupakan.
"Malik, laki-laki b******k. Kamu terlalu baik untuk dia!" Nisa memeluk Rahel erat.
Keduanya mengabaikan pelanggan lain yang duduk di sana dan melihat sedikit penasaran. Dua orang gadis cantik sedang makan bubur sambil menangis.
Rahel tidak pernah ingin membahas tentang Malik lagi setelah mereka putus, ini kali pertama dia mau membicarakan tentang laki-laki itu lagi.
"Kayaknya aku harus ambil cuti setelah ujian!"
"Hah? Bukannya Lo lagi susun skripsi? Kenapa tiba-tiba cuti? Hel, kita ini calon dokter, jangan main-main deh!" Nisa menepuk tangan Rahel.
Rahel terdiam, memikirkan perutnya yang akan membesar. Sekarang sudah sepuluh Minggu, perutnya belum terlihat, tapi tidak akan lama lagi sebelum orang tahu.
"Aku juga mungkin gak bisa lari bareng kamu lagi. Kesehatanku agak menurun akhir-akhir ini. Aku lagi fokus untuk memulihkan tubuhku!"
Nisa langsung mengernyit curiga mendengar ucapan Rahel. Memang, Rahel akhir-akhir ini sering izin sakit.
"Lo gak lagi sakit parah kan?" Nisa benci dengan pertanyaannya sendiri, takut jika Rahel mengiyakannya.
Rahel tersenyum menenangkan. "Aku hanya agak kurang sehat. Gak apa-apa kok!"
Nisa masih ingin bertanya, kenapa harus cuti? Kuliah mereka tidak mungkin ditunda tanpa alasan.
Rahel sendiri telah memutuskan hal-hal yang harus dilakukannya. Dia telah membaca banyak buku tentang kehamilan. Dulu dia selalu acuh tentang pengetahuan tersebut, tapi sekarang, selain buku-buku yang mempelajari tentang syaraf, dia juga banyak mempelajari tentang kelahiran bayi. Tidak seperti diawal, dia begitu bingung, sekarang dia sudah menyesuaikan diri.
Papanya kemarin juga menelpon, memberikan persetujuan untuk dirinya mengajukan cuti. Papanya masih sangat sedih dan kecewa terhadapnya, tapi juga masih sangat peduli dan menyayanginya. Berbeda dengan mamanya, mamanya sangat marah hingga tidak pernah mencoba menghubunginya.
Uang sakunya diberikan langsung oleh papanya. Karena mamanya tidak pernah datang lagi untuk membawakan bahan makanan atau hal-hal kecil lainnya, uang sakunya banyak digunakan untuk beli makan. Sangat sedikit tersisa untuk kebutuhannya yang lain. Dia menjadi mahasiswa miskin sekarang.
Nisa pulang setelah mengantarkan Rahel pulang. Dia masih tidak bisa berhenti khawatir, mengingat ucapan Rahel yang ingin mengajukan cuti.
_
Rahel mengerjakan tugas kuliahnya sampai larut malam. Dia tidak khawatir tentang pengambilan nilai beberapa bulan kedepan, tapi dia khawatir tentang pengerjaan tugasnya. Karena kondisinya sekarang, dia sangat terhambat untuk melakukan hal-hal seperti sebelumnya.
Dia sangat lapar, padahal tadi sudah makan malam. Melihat jam di ponselnya, itu sudah pukul setengah sepuluh malam. Mungkin beberapa tempat makan sudah tidak melayani pesanan delivery.
Buru-buru Rahel mencari makanan yang masih bisa dia pesan. Dan pilihannya hanya ada sate. Jadi dia buru-buru memesan satu porsi sate dan lontong.
Rasa laparnya kalah oleh rasa kantuk, dia tertidur di atas meja. Beberapa kertas berjatuhan dari meja lipatnya.
Suara ketukan pintu membangunkan Rahel. Dia kaget, karena tidak menyangka akan jatuh tertidur saat sedang mengerjakan tugas.
Berpikir sate pesanannya datang, dia buru-buru mengambil dompet dan membukakan pintu.
Rahel pikir Abang kurir yang mengetuk pintunya, tapi malah yang ada di depannya lelaki tampan. Wajah remaja laki-laki itu agak kusut.
"Kurirnya cuma antar sampai depan, kenapa gak nunggu di depan pas kurirnya telepon. Kasihan abangnya nunggu lama di gerbang!" Gibran mengomel, untungnya tadi dia akan buang sampah. Karena biasanya kurir bisa masuk gerbang setelah mendapat izin dari penghuni kos langsung.
Mengulurkan bungkusan beraroma pada Rahel, dia tidak tega untuk memarahinya lagi.
"Tunggu, ini!" Rahel buru-buru membuka dompetnya, dia tidak mungkin ingin makan sate gratis.
Gibran hanya melihat uang yang diulurkan Rahel, tapi tidak berniat mengambilnya.
"Anggap aja aku beliin untuk bayinya!" Gibran langsung berlalu kembali ke kamarnya.
Rahel masih ingin Gibran menerima uangnya, tapi mengingat kata-kata Gibran barusan, dia agak senang. Karena hanya sedikit orang yang tahu tentang kehamilannya, tidak pernah ada yang menunjukkan kepedulian pada bayinya. Bahkan papanya juga hanya selalu bertanya tentang keadaannya, tapi tidak bertanya tentang kehamilannya.
Mengusap perutnya, Rahel merasa senang. "Dia bukan ayahmu, jangan salah paham! Tapi dia baik padamu!"
Rahel tidak ingin bayinya yang belum mengetahui dunia luar salah mengerti.
_
Gibran yang telah kembali ke kamar, merasa bingung. Pikirannya terus tertuju pada Rahel. Wanita itu sedang hamil, dan hanya tinggal sendirian. Bahkan saat malam merasa lapar, hanya bisa memesan makanan. Bagaimana jika tidak ada kurir yang bisa antar makanan malam-malam. Bukankah artinya wanita itu akan lapar, dan bayinya, itu agak menyedihkan.