7

1781 Kata
Sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di basement gedung Torre Del Dio. Pria kemeja hitam keluar tak sabar dari dalam mobil. Langkah lebarnya mengalun cepat menuju lift, meninggalkan sang sopir yang berusaha mengejar langkahnya. Jarinya menekan angka 48. Sebuah lantai yang menjadi jantung dalam gedung. Pintu lift menutup pelan, mengantar mereka menuju lantai tersebut. Beberapa detik kemudian lift kembali terbuka, Enzo dan Rery keluar dari lift. Mereka masuk ke ruangan yang ada di lantai itu. Ruangan sepi dengan penghuni tidak lebih dari lima orang, jumlah yang tidak sepadan dengan puluhan layar monitor yang berjejer rapi di dinding. Enzo mendekat ke arah mereka dan langsung mendapat anggukan hormat dari para anak buahnya. "Lacak keberadaan Nieve!" perintah Enzo. Suara beratnya yang tertahan menandakan jika dirinya sedang emosi. Tak menunggu lama, Enzo langsung melihat Nieve ada di dalam club bersama seorang pria. Kedua telapak tangan Enzo mengepal sedang rahangnya mengeras, hingga terdengar suara gigi gemeletuk. Enzo berjalan cepat keluar ruangan itu menuju tempat Nieve berada di susul Rery. Mereka kembali menaiki lift. Dan lift mengantar mereka menuju lantai club. "Enzo." Enzo mengabaikan panggilan Rery. Dia terus berjalan memasuki club. Pandangan Enzo mengabsen setiap wanita yang ada di sana. Dia melewati segerombolan orang yang sedang meliuk-liukkan tubuh seiring irama musik. Langkah Enzo berhenti di depan seorang wanita yang nampak menikmati kesenangannya. Wanita itu masih belum menyadari kedatangannya. Bola mata Enzo menatap tajam ke arahnya, memperhatikan bagaimana cara wanita itu menggerakkan tubuhnya di bawah sinar lampu disko. Sesekali wanita itu tersenyum seolah menikmati suasana hiruk pikuk di sana. Bahkan tubuhnya mengikuti ketika pria di hadapannya menarik dirinya mendekat. Kedua lengan pria itu memeluk pinggangnya dan menempelkan tubuhnya. "Apa aku boleh menciummu?" tanya pria itu saat mendekatkan bibirnya ke arah telinga Nieve. "Apa?" tanya Nieve karena tidak mendengar jelas pertanyaan Fabio. "Apa aku boleh menciummu?" ulang Fabio sedikit keras. Nieve berhenti menikmati alunan musik. Dia menatap Fabio, hingga tatapan mereka bertemu. Perlahan Fabio mendekatkan wajahnya sedangkan Nieve memejamkan kedua matanya. Saat jarak Fabio semakin dekat dengan Nieve, pria itu terkejut merasakan hantaman keras pada bibirnya. Tubuh Fabio terdorong ke belakang membuat Nieve membuka matanya dalam sekejap. Nieve ikut terkejut dan reflek hendak menolong Fabio. Namun niatnya tertahan saat lengannya dicengkeram kuat dari arah samping. Tubuh Nieve menegang melihat Enzo menatap tajam padanya. Merasa takut mendapatkan tatapan tajam tersebut, Nieve memalingkan wajahnya. Dia menatap Fabio yang sedang mengelap darah segar yang keluar dari salah satu ujung bibirnya. "Fabio!" panggil Nieve merasa cemas. Dalam sekejap dia meringis kesakitan saat Enzo mengeratkan cengkeraman pada lengannya. "Cazo," umpat Fabio dan bergerak ke arah Enzo. Tubuh Fabio berubah menjadi patung saat Enzo menarik senapan dari balik jas. Bahkan jarinya siap hendak melepas pelatuknya. "A-apa yang kau lakukan?!" gertak Nieve tak suka melihat Enzo mengarahkan moncong senjatanya tepat ke arah Fabio. Enzo cukup menarik perhatian para pengunjung club. Dia melirik ke arah Nieve dengan kilatan emosi yang sangat ketara. "Enzo." Pria itu melirik ke arah samping ketika mendengar Rery berteriak memanggil namanya. Memperingati tuannya supaya tidak menarik perhatian di tempat itu. "Bawa pria itu ke penthouse," perintah Enzo lalu memasukkan kembali senjatanya ke dalam balik jas. Enzo menarik Nieve keluar dari kerumunan diikuti Rery yang menyeret Fabio. Sepanjang jalan Nieve tidak berhenti meringis menahan sakit di lengan kanannya. Setiap kali Nieve berusaha melepaskan, Enzo semakin mengeratkan cengkeramannya. "Seharusnya kau mematuhi perintahku," desis Enzo saat mereka sudah berada di dalam lift. Rery dan Fabio masuk ke dalam lift lain. Nieve mematung. Kini dirinya sudah tidak lagi mencoba melepas cengkeraman pria itu. "Aku sudah membayarmu dengan harga tinggi. Apa kau lupa konsekuensi yang kau dapat jika melanggar perintahku?" Nieve masih diam. Bahkan kini wajahnya tertunduk malu. Saat bersama Fabio, Nieve melupakan hal itu. Rasa nyaman yang didapatkannya dari Fabio mampu membuat Nieve menghapus gelarnya sebagai p*****r di depan Fabio. Seolah Nieve masih menjadi dirinya yang dulu. "Setelah pintu ini terbuka, kau punya dua pilihan. Melayaniku layaknya seorang p*****r atau kematian ibumu," ucap Enzo pelan lalu melepas cengkeramannya pada lengan Nieve. Perlahan pintu lift terbuka. Enzo keluar dari lift, dia melirik ke arah belakang. Nieve masih berdiri menjadi patung di dalam sana. Hingga perlahan kaki Nieve bergerak keluar dari lift. Hampir dua menit mereka diam. Nieve menundukkan wajahnya sembari menatap ke arah lain sedangkan Enzo masih menatap tajam pada Nieve. Belum ada jawaban dari Nieve, Enzo mengambil ponselnya lalu menelepon seseorang. "Bunuh—" "Mi dispiace," potong Nieve sedikit berbisik. Tatapannya masih tertuju ke arah lain. "Saya telah lancang melanggar perintah Anda," suara Nieve semakin tak jelas terdengar karena bercampur isak tangis. Enzo menyeringai mendengar ucapan Nieve. Dia mematikan sambungan teleponnya lalu memasukkan kembali ke dalam saku celana. Enzo menarik pinggang Nieve mendekat ke arahnya. Sebelah tangannya mengusap wajah Nieve sembari mendongakkannya. "Katakan lebih jelas sekali lagi," perintah Enzo dengan nada mencemooh. "Mi—" Nieve tidak bisa menahan isak tangisnya. Bayangan buruk mengenai kematian ibunya langsung menghantamnya. Sehingga membuat airmatanya tidak bisa terbendung lagi. "Katakan lebih jelas," perintah Enzo. Suaranya kembali terdengar emosi. Nieve menarik napasnya dalam-dalam. Dia menatap Enzo saat pria itu kembali mengusap airmatanya. "Maafkan saya karena sudah lancang melanggar perintah," ucap Nieve. Enzo tersenyum penuh kemenangan. Dia mengelus permukaan bibir Nieve perlahan. Tangannya yang lain menyentuh tengkuk Nieve lalu menarik wajahnya mendekat. "Kau harus melayaniku," bisik Enzo lalu melirik ke arah bibir Nieve dan kembali pada sepasang bola mata cokelat di depannya, "Itu adalah tugasmu." *** Nieve berdiri di depan cermin besar. Kain lace yang menempel mampu mempertontonkan dengan jelas lekukan tubuhnya. Nieve menggigit bibirnya untuk menahan isak tangis. Dadanya naik turun, Nieve berusaha menetralkan perasaannya. Dengan langkah ragu, Nieve membuka pintu kamar. Kakinya terasa berat melangkah. Nieve merasa malu jika ada orang lain yang akan melihatnya memakai kain tembus pandang dalam rumah itu. Kaki Nieve tak mampu bergerak saat di depan tangga. Dia melihat ke lantai bawah. Di sana terlihat sosok pria sedang duduk dengan angkuh di sofa dengan tatapan tak teralihkan sedikit pun padanya. Sedangkan di depannya berdiri seorang pria yang sangat Nieve kenal. Pria itu pun ikut memandang terkejut ke arahnya. "Kemarilah." Suara Enzo membuat tatapan Nieve teralihkan dari Fabio. Nieve kembali melanjutkan langkahnya menuruni setiap anak tangga. Nieve mendekat ke arah Enzo tanpa menatap Fabio. Bahkan dirinya terlihat menghindar dari tatapan pria itu. Sedangkan Enzo terlihat sangat senang menyambut kedatangan Nieve. "Duduklah," perintah Enzo seraya menepuk pahanya. Mengisyaratkan pada Nieve supaya duduk di atas pangkuannya. Tubuh Nieve berjalan kaku ke arah Enzo. Tubuhnya menegang menahan malu saat duduk di atas pangkuan Enzo di depan Fabio. "Kau terlihat seksi memakai gaun ini," puji Enzo. Tangannya menyentuh wajah Nieve lalu turun ke bawah. Melewati lehernya menuju payudaranya yang terlihat begitu jelas. Jari telunjuk Enzo memutari area p****g p******a kiri Nieve lalu semakin menuju bawah perut. Enzo mengelus permukaan liang kewanitaan Nieve membuat tubuh Nieve menggelinjang merasakan geli dan malu dalam waktu bersamaan. Enzo tersenyum. Dan Nieve sangat paham senyuman pria itu. Sebuah senyuman yang membuktikan bahwa dirinya telah menang. Entah menang dalam hal apa, Nieve tidak.begitu paham. "Apa kau penasaran dengan keindahan tubuhnya?" tanya Enzo lalu menatap Fabio. Sebelah tangan Enzo memeluk pinggang Nieve sedangkan tangan kanannya bermain dengan area p******a wanita itu. Enzo menyeringai melihat wajah Fabio semakin merah padam. Terlihat jelas jika pria itu pun menginginkan Nieve dan tidak menyukai perlakuan Enzo terhadap Nieve. "Aku membayarnya seharga lima juta euro," ucap Enzo tanpa menunggu Fabio menjawab pertanyaannya. Fabio terkejut. Dia membelalakkan kedua matanya. "Lima juta?!" ulangnya seakan tak percaya. Bahkan Fabio menatap ke arah Nieve. "Nieve, apa maksudnya?" tanya Fabio bingung. Enzo justru tertawa mendengar pertanyaan Fabio. Pria itu melirik tajam sekilas pada Nieve membuat wanita itu semakin menundukkan wajahnya. "Tentu saja dia seorang p*****r," jawab Enzo. "Pe ...." Fabio menatap tak percaya pada Nieve seolah meminta penjelasan dari wanita itu. "Akan aku tunjukkan caranya melayaniku." Ucapan Enzo sontak membuat Nieve dan Fabio menatapnya tak percaya. Kedua mata Nieve meremang, tidak mampu jika harus menanggung malu seumur hidup karena bercinta dengan pria lain di depan Fabio. "Enzo ...," Nieve memanggil dengan nada memohon. Enzo justru menyeringai. Jemari Enzo menarik risleting gaun Nieve membuat Nieve menggelengkan kepalanya sembari terus menatap memohon padanya. Meminta belas kasih dari Enzo supaya tidak semakin kejam dalam mempermalukan dirinya di depan Fabio. "Nieve." Nieve mengabaikan panggilan Fabio. Dia memejamkan matanya sembari memalingkan wajahnya membelakangi Fabio. Lengan Nieve memeluk Enzo. Berharap kalau pria itu tidak jadi melucuti gaun tembus pandang itu dari tubuhnya. "Enzo ... Aku mohon ... jangan ...." Enzo telah menarik risleting sampai ujung hingga mempertontonkan pundak polos Nieve pada Fabio. Fabio menggeram pelan melihat pemandangan yang menyulut birahinya. Wajahnya semakin merah padam sedangkan pandangannya mulai kalang kabut. Kedua tangan Enzo menarik setiap sisi pundak Nieve untuk melepas gaun itu. Sampai akhirnya Enzo berhasil melepas gaun itu dari tubuh Nieve. "Aku tidak percaya ... ternyata kau ...." Fabio tidak bisa melanjutkan ucapannya. Pria itu memilih pergi dari hadapan Enzo dan Nieve. Namun langkah Fabio dicegah Rery. Enzo memberi tatapan 'biarkan' pada Rery hingga Rery menyingkir dari depan pintu. Membiarkan Fabio meninggalkan penthouse itu. "Jika aku ingin ... aku sudah menembak kepalanya," bisik Enzo di telinga Nieve seraya mendorong wanita itu dari pangkuannya. Nieve menundukkan kepalanya, kedua tangan memeluk tubuh telanjangnya. Airmatanya menetes, Nieve kembali menangis dalam diam. Sedangkan Enzo bangkit berdiri dan meninggalkan Nieve. Dia menaiki anak tangga lalu masuk ke dalam.kamar. Nieve terperosot duduk saat menyadari Enzo sudah pergi. *** Pria itu terlelap di atas sofa. Kedua kakinya lurus di atas meja. Sedangkan jari-jari tangannya saling bertaut di depan d**a. Entah sejak kapan dirinya terlelap. Setelah menghabiskan empat batang rokok, rasa kantuk mulai dirasakannya. Keningnya berkerut saat merasakan bibirnya bersentuhan dengan benda lembut dan hangat. Aroma alkohol yang kuat seketika menyeruak ke dalam indra penciumnya. Kedua matanya perlahan terbuka saat merasakan sentuhan itu berubah menjadi lumatan lembut. Sebelah tangan Enzo menarik tengkuknya untuk memperdalam ciuman. Dia membalas ciuman wanita itu dengan lumatan kasar. Seolah ingin menyalurkan emosi yang sejak beberapa jam lalu mengganggunya. Enzo bangkit berdiri membuat wanita itu mendongakkan kepalanya. Langkah kakinya mendekat ke arah ranjang tanpa ingin melepas ciuman tersebut. Enzo mengangkat tubuh wanita itu dan menjatuhkannya tiba-tiba di atas ranjang. Membuat tubuh kecilnya sedikit memantul. Jemari wanita itu dengan telaten melepas setiap deretan kancing kemeja Enzo. Setelah semua kancing terlepas, Enzo menanggalkan kemejanya dan melempar ke sembarang arah. Tubuh wanita itu terlihat kecil di bawah kungkungan tubuh kekar Enzo. Enzo menindih tubuh Nieve dan mulai menciumi leher jenjang wanita itu. Bekas kepemilikannya masih terlihat jelas, namun Enzo berniat ingin membuatnya lebih banyak. Dia pun mulai merasakan kelembutan kulit Nieve dalam mulut dan sentuhannya. Bercinta dalam keadaan mabuk bukanlah menjadi hal yang disukai Enzo. Namun dirinya kembali merasakan hal baru bersama Nieve yang entah sejak kapan dalam kendali alkohol. Namun Enzo tidak mempedulikan hal itu. Yang dirinya pedulikan saat ini hanyalah ingin menuntaskan birahi yang sejak beberapa jam lalu menyiksanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN