Enzo duduk dengan tenang sembari memperhatikan layar monitor. Tangan kanannya yang tertekuk bermain dengan bibir bawahnya, mengelus berulang kali. Sedangkan punggungnya bersandar pada kepala sofa yang empuk.
Bola matanya melihat sebuah titik merah yang terletak di tengah-tengah garis yang memanjang. Titik itu berjalan cepat di sepanjang garis, sesekali berbelok kanan dan kiri. Sampai akhirnya titik merah itu berhenti di salah satu kotak berwarna kuning. Tempat itu bertuliskan sebuah nama 'Lucinda Chiarini'.
"Perbesar," perintah Enzo pada anak buahnya.
Sedetik kemudian kotak berwarna kuning itu membesar perlahan hingga menampakkan sebuah bangunan rumah yang luas. Enzo mengernyitkan keningnya bingung melihat layar itu.
"Cari tahu siapa Lucinda," perintahnya lagi.
Anak buah Enzo yang lain pun mulai mencari tahu wanita bernama Lucinda tersebut melalui komputer. Beberapa menit kemudian, anak buah Enzo memberitahu.
"Lucinda Chiarini, dia adalah wanita berusia empat puluh sembilan tahun. Pekerjaannya adalah menjadi rentenir. Dia—"
"Cukup," potong Enzo cepat. Tiba-tiba saja dirinya berpikir jika Nieve meminta nominal sebesar lima juta euro untuk membayar hutang. Apa dia membayar hutang ibunya? Karena terlihat sangat tidak mungkin jika hutang sebesar itu adalah milik Nieve sendiri. Kini pertanyaan baru muncul setelah mendapatkan jawaban dari pertanyaan lain.
"Nyalakan radio penyadapnya," perintah Enzo membuat anak buahnya kembali bergerak cepat.
Enzo meraih headphone lalu memakainya. Ketika radio penyadap suara dinyalakan, Enzo mulai mendengar suara Nieve yang sedang berbicara dengan seorang wanita.
Enzo memberikan ponsel untuk Nieve bukan tanpa apa-apa. Dia telah menempelkan perangkat penyadap suara dalam casing ponsel Nieve. Enzo juga sudah menyadap GPS dan perangkat ponsel itu sehingga dapat dengan mudah mengetahui keberadaan wanita itu, termasuk panggilan dan pesan-pesan di ponsel tersebut.
"Saya datang untuk memberikan ini."
"Cek? Untukku?"
"Iya. Cek itu untuk membayar semua hutang Madre padamu."
"Okay, terima kasih sudah melunasi hutang Janira."
"Apa saya boleh meminta sesuatu?"
"Apa?"
"Tolong jangan katakan pada Madre kalau aku yang membayar hutangnya. Kau cukup tidak perlu mengganggunya lagi."
"Tidak masalah."
"Kalau begitu saya pamit."
Setelah mendengar suara Nieve hendak pamit, Enzo melepaskan headphone dari kepalanya. Dirinya menjadi diam sembari memperhatikan titik merah itu.
Rasanya Enzo ingin Nieve ada di depannya sekarang. Dia ingin bertanya banyak hal pada wanita itu. Dia ingin mendapatkan penjelasan tentang rasa tahu Nieve mengenai map biru itu dan datang padanya.
Selang beberapa menit titik merah itu sudah berpindah ke tempat lain. Lagi-lagi Enzo menyuruh anak buahnya untuk memperbesar kotakan berwarna putih yang menandakan sebuah bangunan tempat tinggal umum.
Hari ini Enzo sedang tidak memiliki banyak pekerjaan sehingga dia ingin memeriksa sendiri mengenai Nieve. Dia ingin rasa penasarannya terpecahkan lebih cepat.
"Sepertinya itu adalah tempat tinggalnya," Enzo melirik ke arah Rery yang menyampaikan pendapatnya.
Enzo mengangguk, setuju dengan pendapat Rery. Seorang pria yang memiliki perbedaan usia tujuh tahun lebih tua dari dirinya. Rery Allison merupakan tangan kanannya.
Enzo meraih selembar kertas yang tertulis informasi mengenai data diri Nieve Valente. Wanita kelahiran lima januari itu kini berusia dua puluh enam tahun. Dia lebih muda lima tahun dari dirinya. Merupakan wanita yang memiliki orangtua single parent karena sebuah perceraian ketika usia Nieve menginjak lima belas tahun.
Nieve bekerja di salah satu perusahaan industri bidang elektronik. Satu hal yang membuat Enzo tertarik akan informasi tersebut adalah perusahaan tempat Nieve bekerja. Perusahaan tersebut bernama Marche Corp., sebuah perusahaan milik keluarganya—De Marche yang dikelola oleh adiknya, Carlos De Marche.
Wanita itu bekerja menjadi karyawan biasa di sana sehingga sangat tidak memungkinkan jika dirinya datang pada Enzo atas perintah Carlos. Bahkan Enzo sendiri berpikir jika keduanya tidak mungkin pernah saling berbicara dikarenakan posisi Nieve di dalam perusahaan besar tersebut.
"Apa Anda ingin saya menjemputnya untuk kembali ke mansion?" tanya Rery karena melihat Enzo diam sembari memperhatikan selembar kertas itu.
"Tidak," Enzo menggeleng menjawab pertanyaan Rery, "Biarkan saja. Kau bisa menjemputnya jika sampai malam dia belum kembali."
"Sì," ucap Rery.
***
Nieve berbaring di atas ranjang. Dia sedang tidak ingin berangkat ke kantor hari ini. Perasaannya sedang tidak karuan. Nieve ingin menghabiskan waktu sepanjang hari di dalam apartemen studio tersebut.
Dia meraih ponsel baru dari dalam tas lalu berkutik dengan benda pipih itu. Nieve menekan beberapa angka lalu menyimpan nomer tersebut dengan panggilan 'Madre'. Dia diam, menatap layar ponselnya. Nieve kembali melamun mengingat semua hal yang terjadi padanya sejak kemarin.
Terkadang hatinya ingin memberontak, seolah tidak senang dengan keputusannya menjual diri pada pria itu. Entah setan mana yang telah membuat dirinya memikirkan keputusan tersebut. Kali ini Nieve merasa menyesal. Namun, dirinya kembali sadar dan berusaha untuk tetap tenang. Karena tujuannya sudah terpenuhi. Hutang ibunya sekarang sudah lunas.
Nieve menekan tombol memanggil lalu mendekatkan ponselnya ke arah telinga. Dia menunggu ibunya mengangkat telepon darinya.
"Halo, Madre."
"Nieve, ini kamu Sayang?"
"Sì, Ma," jawab Nieve tersenyum masam. Tiba-tiba saja dia merindukan ibunya.
"Ini nomer ponsel siapa?"
"Nomer ponselku, Ma," jawab Nieve, lagi.
"Lalu, yang lama?"
"Aku sudah tidak memakai nomer yang lama. Jadi Ma bisa menghubungi nomer ini."
"Baiklah," Janira terdiam sejenak. "Sayang, tentang map itu ... Madre minta maaf karena mengira kau yang mengambilnya."
"Tidak apa-apa, Ma." Nieve ikut diam saat Janira tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia ingin mendengar suara ibunya. Dia membutuhkannya.
Nieve membutuhkan kehangatan. Dia ingin mendapatkan pelukan untuk melunturkan dinding es yang menyelimutinya hingga merasuk ke dalam tulang. Dia ingin menumpahkan kesedihan yang entah sejak kapan memenuhi hatinya.
"Nieve, kau tidak apa-apa?" tanya Janira. Dia merasa aneh dengan Nieve yang tidak mengatakan apa pun. Biasanya Nieve akan memutuskan sambungan telepon jika sudah tidak ada yang dibicarakan.
"Aku ... baik-baik saja, Ma," jawab Nieve dengan bibir bergetar.
"Oh ya, kau tidak bekerja hari ini?" tanya Janira.
"Sedang waktu istirahat, Ma. Sudah dulu ya Ma, aku akan menghubungimu nanti."
"Iya, Sayang. Jaga kesehatanmu."
"Sì," jawab Nieve singkat dan langsung mematikan sambungan teleponnya.
Nieve membaringkan tangannya di atas ranjang masih dalam keadaan menggenggam ponsel. Dia menggigit bibirnya sedang jemari tangan lainnya mengusap ujung matanya yang basah.
Nieve menarik napasnya dalam-dalam. Dia kembali mengangkat ponselnya. Jarinya mulai mengetik nomer lain lalu menyimpannya dengan nama Teresa. Nieve juga mencoba menghubungi nomer itu.
"Halo?"
Nieve tersenyum mendengar nada ragu dari sang penerima teleponnya. "Tere," Nieve memanggilnya dengan panggilan akrab wanita itu.
"Nieve?" tanya Teresa ragu.
"Sì," jawab Nieve sembari terkekeh.
"Oh mia Dio! Aku pikir siapa! Ada apa? By the way, ini nomer ponselmu yang baru?"
"Iya. Apa kau ada waktu hari ini?"
"Tentu," jawab Teresa. Dia mengernyit karena tidak mendengar suara Nieve, "Nieve, ada apa denganmu?"
"Aku ingin bertemu denganmu. Apa kau bisa datang ke apartemenku?" tanya Nieve pelan.
"Okay, aku akan datang ke sana."
"Grazie, Tere."
Nieve pun mematikan sambungan teleponnya setelah mendengar jawaban Teresa. Dia benar-benar meletakkan ponselnya di atas ranjang. Tubuhnya bergerak bangkit dari atas ranjang.
Kedua kaki Nieve berjalan menuju kamar mandi. Dia membasuh wajahnya untuk menyembunyikan matanya yang sedikit sembab. Namun sedetik kemudian tatapan Nieve terpaku pada bayangannya di dalam cermin.
Tangan Nieve bergerak mengelus kulit lehernya. Terdapat beberapa bekas kemerahan di sana. Dan Nieve sangat tahu dari mana dia mendapatkan bekas tersebut.
***
Enzo menjauhkan ponselnya dari telinga setelah selesai mendengar percakapan panggilan Nieve bersama Janira dan temannya. Otaknya semakin senang memikirkan tentang wanita aneh tersebut. Benar, bagi Enzo, Nieve sangatlah aneh. Dan ini adalah pertama kalinya dia bertemu dengan wanita seperti Nieve. Sosok wanita yang telah membuat dirinya mengingkari janji untuk tidak bercinta dengan perawan.
Masa lalu telah membuat Enzo mengucapkan janji tersebut. Bahkan menepatinya sampai akhirnya bertemu dengan Nieve. Enzo tidak ingin terlalu memikirkan masa lalu yang pernah terjadi padanya. Namun mengingkari janji itu membuatnya kembali mengingat.
Enzo bangkit berdiri. Dirinya tidak ingin semakin larut masuk ke dalam kenangan lama. Rery mengikuti langkah Enzo keluar dari ruangan yang dipenuhi layar komputer tersebut.
Keduanya masuk ke dalam lift menuju basement gedung Torre Del Dio tersebut. Sebuah gedung miliknya yang dibangun tiga tahun lalu. Gedung berlantai lima puluh itu menjadi pusat pemandangan malam yang indah. Torre Del Dio juga sudah menjadi salah satu tempat hiburan orang Itali. Tak jarang pengunjungnya berasal dari luar kota Milan.
Torre Del Dio adalah gedung yang bisa menjadi hiburan dan kebutuhan. Di sana terdapat cafe, kasino, club, supermarket, dan penginapan. Sedangkan Enzo menyediakan lantai khusus yang digunakan para hacker demi mendapatkan informasi yang diretas dan sebagainya melalui ruang pengendali informasi di lantai empat puluh delapan. Sedangkan dua lantai atas menjadi tempat tinggalnya berbentuk penthouse. Torre Del Dio adalah satu-satunya gedung yang memiliki banyak bagian bangunan sekaligus.
"Aku ingin ke kasino," ucap Enzo membuat Rery menekan lantai sepuluh.
Lift pun bergerak turun mengantar mereka menuju lantai sepuluh. Beberapa detik kemudian pintu lift terbuka. Dua pengawal yang berdiri di depan lift langsung menundukkan kepalanya melihat kedatangan Enzo. Langkah Enzo berlalu melewati mereka.
Lorong gelap yang memiliki lampu bersensor gerak pun menyala saat Enzo dan Rery berjalan. Sampai akhirnya mereka melewati pintu otomatis di ujung lorong. Pemandangan kegiatan perjudian pun menjadi santapan utama sepasang mata Enzo. Dia memasukkan salah satu tangannya saat memasuki ruangan perjudian tersebut sedangkan Rery masih setia mengikuti dari belakang.
Enzo melihat salah satu Don-nya sedang asyik bermain di meja baccarat. Sedangkan Don-nya yang lain nampak senang bermain bingo. Torre Del Dio memanglah terbuka untuk umum. Itu sebabnya tak jarang para Don-nya lebih memilih menghabiskan waktu senggangnya untuk bersenang-senang di club maupun kasino dalam gedung tersebut.
Enzo dan Rery mendekat ke arah permainan Keno atau lotere. Enzo duduk di kursi kosong dan mempersilakan Rery untuk memilih permainan lain. Karena hari ini Enzo ingin bermain judi supaya otaknya tidak terus berpikir tentang Nieve maupun masa lalu.