Pukul setengah dua siang pesawat yang mereka tumpangi mendarat di bandara Ngurah Rai, Bali. Freya berjalan di samping Ibra, koper kecil bawaannya juga sudah berpindah di tangan laki laki itu.
"Kamu tunggu di sini dulu, aku ke toilet sebentar!"
Freya hanya mengangguk dan duduk di bangku tunggu tak jauh dari pintu keluar bandara. Kepalanya pusing sekarang, semalam dia tidak bisa tidur setelah mendengar penuturan Ibra tentang Reza.
Aditama Group adalah perusahaan properti besar. Apa masih kurang harta berlimpah yang mereka punya, sampai harus membuka tempat perjudian gelap.
Menatap lalu lalang orang semakin membuat pusingnya menjadi. Baru saja dia membuka ponsel hendak menghubungi mamanya, seseorang tiba tiba duduk bangku sebelahnya dan merebut benda pipih itu. Freya tersentak kaget, apalagi setelah melihat dengan jelas siapa pria muda yang kini ada di sampingnya itu.
"Jangan coba coba memblokirku ataupun mengganti nomor ponselmu lagi!"
Pria itu menyerahkan kembali ponsel Freya setelah mendapatkan apa yang dia inginkan. Sepasang matanya menatap Freya lekat, gurat kecewa terlihat jelas di wajah tampannya.
"Kenapa kamu bisa di sini? Bukankah seharusnya kamu masih kuliah di Aussie?" tanya Freya setelah beberapa saat mereka hanya diam saling melempar pandang.
"Jangan sok peduli padaku!" sahutnya ketus.
"Enda ..."
Freya bahkan lupa sudah berapa tahun mereka tidak pernah lagi bertemu. Meski merasa sangat bersalah, tapi menghindar dan memutuskan kontak adalah keputusan yang paling tepat menurutnya. Lalu bagaimana dia bisa tahu tentang Enda? Salah seorang teman akrab Enda dulu adalah model yang sudah beberapa kali menjalani pemotretan dengannya.
"Sampai kapan Kak Frey di Bali?" tanya pria yang Freya panggil Enda itu.
"Aku hanya seminggu di sini."
"Kakak tidak bertanya kabarku?" Ada rasa sakit yang merambati hati Freya saat mendapati tatapan terlukanya.
"Kalau kamu tidak baik baik saja, mana mungkin bisa keluyuran di sini!"
Dari balik kaca mata hitamnya, diam diam Freya mengamati pria yang sedang menatapnya kesal itu. Dia semakin tampan, tinggi dan tetap saja cuek seperti dulu.
"Bukankah sangat tidak adil, aku bahkan tidak tahu salahku apa sampai ikut ikutan Kak Frey benci dan jauhi?"
"Enda, aku tidak ingin membahas itu lagi."
Sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin Enda bicarakan dengan Freya, tapi dia melihat sosok Ibra yang melangkah mendekat dan menatapnya awas.
"Aku akan menghubungi Kak Frey lagi nanti," ucapnya sebelum kemudian pergi begitu saja.
Freya menghela nafas lelah, kepalanya semakin berdenyut sakit. Satu persatu orang orang yang selama ini dia coba hindari justru mulai bermunculan lagi.
"Siapa dia?"
Freya menoleh, Ibra sudah berdiri di sampingnya dan terus mengawasi sosok Enda yang mulai menjauh.
"Adiknya temanku," jawab Freya sekenanya.
Ibra jelas tahu wanita ini sedang berbohong, tadi dia sempat melihat keduanya tampak berbincang dengan wajah tegang. Tapi karena Freya tampaknya sedang tidak ingin diganggu, jadi Ibra pun lebih memilih untuk diam.
"Ayo, jemputannya sudah menunggu di luar!"
Mereka bergegas melangkah keluar bandara. Masih dengan menarik koper bawaan Freya, Ibra membawa wanita itu menuju mobil warna hitam yang sudah terparkir menunggu mereka.
"Masih jauh ya Bang?"
"Satu jam perjalanan. Kamu tidur saja dulu, nanti aku bangunkan kalau sudah sampai." jawab Ibra. Dia sudah beberapa kali melihat Freya menguap, wajahnya tampak lelah dengan mata sayu dan sedikit memerah.
"Aku tidak mengantuk," ucap Freya.
"Tidak ngantuk, cuma menguap terus." Ledek Ibra dengan senyum lebar karena melihat Freya menguap lagi.
"Tidur Frey! Aku jamin setelah sampai sana kamu pasti tidak ingin tidur lagi."
"Kenapa?" tanya Freya.
"Nanti juga kamu akan tahu sendiri."
Freya menyerah, kantuknya sudah tidak tertahan lagi sekarang. Setelah merendahkan sandaran kursinya, dia tampak mulai memejamkan matanya.
Lagi lagi Ibra tersenyum. Yang baru saja bilang katanya tidak mengantuk, sekarang begitu berbaring langsung tertidur pulas. Diraihnya selimut kecil di belakang jok, lalu memakainya untuk menyelimuti tubuh Freya.
Untuk beberapa lama tatapannya seperti tidak bisa beralih dari wajah cantik di hadapannya itu. Betapa hebatnya seorang Freya yang tanpa melakukan apapun mampu menjungkir balikkan dunianya, dunia seorang Ibra.
"Pacarnya Bapak Boss cantik."
Tanpa sadar Ibra mengangguk dan mengulum senyum mendengar celetukkan Pak Din, sopir resort yang biasa mengantar jemputnya setiap kali datang ke Bali.
"Dia calon istri saya, Pak." ucapnya dengan wajah berbinar.
"Pantas saja Pak Boss melihatnya sambil senyum terus," kata pria setengah baya itu.
Masih dengan senyum di bibirnya, tangan lbra terulur merapikan rambut Freya yang sebagian jatuh menutupi wajahnya. Sampai kemudian ponselnya berdering pelan, dia buru buru mengangkatnya.
"Hallo ..."
"Kamu sudah sampai di Bali?"
"Sudah, kenapa?" tanya Ibra.
"Bisakah kamu langsung ke Mirror? Ada sedikit masalah lagi semalam."
"Ck masalah apa lagi? Yang kemarin itu saja belum selesai, sekarang sudah ada lagi." gerutu Ibra kesal.
"Kita bicara setelah ketemu nanti."
Ibra menghela nafas kasar, sepasang matanya masih terus menatap Freya yang tertidur lelap. Sesekali dia menyelipkan rambut Freya yang jatuh ke belakang telinganya.
"Kamu saja yang datang ke tempatku, aku tidak bisa keluar malam ini."
"Ok."
Kalau Mirror Jakarta dipegang oleh Naresh, untuk yang di Bali dipercayakan pada Wira. Sama seperti Naresh, Wira juga merupakan salah satu orang kepercayaan Ibra. Kalau dia sudah mencarinya berarti memang bukan masalah kecil, karena selama ini bahkan dia tidak perlu repot repot ikut campur urusan Mirror.
Ibra mendengus kesal, urusan resort saja sudah membuatnya pusing, sekarang masih harus ditambah dengan yang lainnya.
***
"Freya …"
"Hm," gumamnya serak.
"Ayo turun! Kita sudah sampai," ucap Ibra.
Freya membuka matanya, perlahan dia duduk dan menoleh ke arah luar jendela mobil. Seperti dugaan Ibra, hamparan samudra biru yang terpampang indah di depan mereka itu berhasil membuat sepasang matanya langsung berbinar terpesona. Freya turun dari mobil dengan senyum yang merekah sempurna. Pemandangan dari atas tebing itu benar benar luar biasa menakjubkan.
"Bagaimana? Kantukmu langsung hilang kan?" tanya Ibra yang berdiri di samping Freya.
"Iya, tapi kalau tahu resortnya sebesar ini aku pasti tidak akan menerima permintaan Bang Ibra." Ucap Freya yang mulai was was setelah melihat betapa besar dan megahnya Abraham Resort ini.
"Kenapa?"
Freya tampak menghela nafas, lalu menoleh dan menatap Ibra gamang.
"Masih tanya kenapa?! Aku bahkan bukan fotografer profesional untuk ini, kenapa Bang Ibra malah mempercayakan pemotretannya padaku?"
"Karena aku mau dan percaya kamu bisa," jawab Ibra.
Freya hanya menggeleng pasrah. Ibra tahu kenapa Freya mati matian menolak permintaannya untuk pemotretan ini, karena dia adalah tipe orang yang selalu menargetkan hasil terbaik di setiap kerjanya. Sedangkan kali ini jelas bukanlah keahliannya, Freya dibayangi kekhawatiran hasilnya nanti akan mengecewakan.
"Ayo kita masuk!"
Freya berjalan mengikuti langkah Ibra masuk ke dalam villa. Letak bangunan ini memang masih menjadi satu dengan resort, tapi sengaja dibangun terpisah dan agak jauh dari hotel.
"Ini juga bagian hotel ya Bang?" tanya Freya yang masih dibuat terkagum kagum.
"Bukan, ini villa keluarga."
Ibra punya alasan tersendiri mengapa villa bertingkat dua ini harus dibangun sebagus dan senyaman mungkin. Karena kalau semua berjalan sesuai rencana, nantinya dia berencana untuk pindah ke Bali.
"Ini kamarmu, kalau butuh apa apa kamu bilang saja padaku."
"Terima kasih."
Ibra membuka pintu kamar yang akan ditempati Freya dan meletakkan kopernya di dalam. Freya melangkah masuk, pandangan matanya menjelajah setiap sudut kamar.
"Kamu bebas di sini Frey. Lakukan apapun yang kamu mau, kecuali kalau ingin keluar dari area resort harus bilang dulu padaku. Selama di sini, kamu adalah tanggung jawabku."
"Aku bukan anak kecil!" Freya langsung protes.
"Jangan membantah! Aku yang membawamu ke sini, kalau sampai kamu kenapa napa, aku harus bilang apa ke mamamu?"
Ibra tentu saja tahu Freya bukan anak kecil dan paling tidak suka diatur. Tapi sesuai janjinya pada mama Freya, dia akan memastikan anaknya baik baik saja selama seminggu di Bali.
"Peralatan kerja yang kamu butuhkan sudah ditaruh di atas meja, nanti kamu bisa memeriksanya dulu. Bilang saja kalau memang masih ada yang kurang, aku akan menyuruh orang menyiapkan untukmu!"
"Ok, terima kasih."
Freya melangkah dan membuka pintu kaca yang menghubungkan kamarnya dengan halaman samping villa ini. Lagi lagi dia dibuat terkagum dengan kolam renang dan taman cantik yang menghadap langsung ke arah laut lepas di bawah sana itu.