Bab.9 Terciduk

2196 Kata
Membawa pulang Freya ke apartemennya dan menginap di sana, sama sekali tidak pernah ada dalam rencana Ibra. Keributan yang tadi terjadi di Seven membuatnya tidak punya pilihan lain. Mana mungkin dia membiarkan Freya di sana seorang diri, sedangkan Reza bisa saja kembali dan membuat kekacauan lagi. "Ini kamarmu, malam ini kamu tidur di sini dulu!" Ibra membuka pintu, lalu masuk meletakkan koper kecil itu di sudut kamar. Dia kemudian berdiri menyandar pintu yang sengaja dibuka lebar. Hanya ada mereka berdua disana, Ibra tidak ingin Freya merasa tak nyaman. "Terima kasih," ucap Freya sambil melangkah masuk, masih dengan suasana yang benar benar terasa canggung. "Frey ..." "Ya," Freya yang baru saja duduk di kursi sofa samping tempat tidur menyahut panggilan Ibra. "Maaf kalau aku memaksamu ikut ke sini. Aku hanya khawatir dia akan nekad datang lagi mencarimu." "Aku yang harusnya minta maaf karena sudah membuat Bang Ibra terlibat dalam masalahku," ucap Freya dengan raut bersalahnya. "Berhentilah merasa bersalah, aku sendiri yang sudah memilih untuk melibatkan diri!" "Aku takut Reza akan mengusik kehidupan Bang Ibra. Dia sekarang benar benar sudah gila dan menakutkan," ucap Freya khawatir. Ibra hanya sedang berpikir, kalau saja Freya tahu kehidupannya yang juga tidak jauh berbeda dengan Reza, apakah dia masih mau berdekatan dengannya. "Kekhawatiranmu terlalu berlebihan, Frey. Reza tidak akan bisa semudah itu merecoki hidupku," ucap Ibra dengan santainya. "Tetap saja aku khawatir, Bang Ibra jangan terlalu meremehkan dia. Reza orangnya sangat susah ditebak," sahut Freya. Ibra mengangguk mengerti, hanya biar Freya tidak lagi resah dengan segala kekhawatirannya tentang Reza. "Kamu mandi saja dulu! Aku tadi sudah memesan makanan, paling sebentar lagi datang." Ibra segera menutup pintu kamar setelah melihat Freya mengangguk. Dia beranjak ke kamarnya dan mandi. Jujur saja, Ibra sendiri juga merasa aneh saat tiba tiba ada wanita yang tinggal bersamanya, apalagi itu adalah Freya. Bukan aneh karena merasa risih atau tidak suka, tapi rasanya menyenangkan bisa berdekatan dan tinggal satu atap dengannya. Selesai mandi dan berganti pakaian Ibra bergegas keluar. Sebentar lagi sekretarisnya akan datang mengantar pekerjaannya yang belum selesai dan juga makan malam pesanannya. Baru saja dia duduk di sofa dan meraih ponselnya, bel apartemennya sudah berbunyi. Tapi hanya satu detik setelah membuka pintu, Ibra sudah menyesal setengah mati. Bodohnya dia tidak melihat lebih dulu siapa yang datang dan justru langsung membuka pintu. Mulutnya mengumpat pelan, sepertinya hari ini nasibnya memang sedang sial. Setelah tadi bertemu dan kisruh dengan Reza, sekarang masih harus kedatangan mereka para tamu tak diundang. "Mau apa kalian kesini? Pulang sana! Aku masih banyak pekerjaan yang belum selesai," usirnya tanpa sedikitpun basa basi. Belum sempat pintu tertutup rapat, beberapa orang yang berdiri di luar itu segera menahannya. Ibra mendengus kesal, teman temannya yang tiba tiba datang itu tidak mau menyerah begitu saja. "Kamu mencurigakan Ib, tidak biasanya melarang kami masuk ke tempatmu. Apa di dalam ada orang lain? Pacarmu misalnya?" tebak Bian tepat sasaran dan itu semakin membuat Ibra ketar ketir. "Jangan mengada ada kamu! Sejak kapan aku punya pacar? Aku sibuk, tidak punya waktu meladeni kalian. Minggat sana!" elak Ibra masih dengan menahan pintu supaya mereka tidak nyelonong masuk. "Ya sudah kalau begitu berkas dan makanan pesanan kamu juga akan kami bawa pulang," ucap Raka sambil tersenyum menunjukkan map dan plastik berisi makanan di tangannya. "Sialan! Kenapa berkas dan makan malamku bisa ada pada kalian?" tanya Ibra geram. "Tadi kami ketemu sekretarismu di bawah. Jadi bagaimana? Kasih kami masuk atau katakan selamat tinggal pada berkas dan makan malammu!" desak Bian. Mau tidak mau Ibra akhirnya membuka pintu lebar lebar dan membiarkan mereka berempat masuk. Dia benar benar tidak habis pikir, bagaimana bisa begitu kebetulan Bian, Raka, Johan dan Aksa datang ke tempatnya sekarang. Ibra tidak menyangka akan terjebak dalam situasi yang begitu menyebalkan. Membayangkan bagaimana nasibnya nanti, kalau sampai mereka memergoki Freya juga ada di sana. Sekarang dia merasa seperti sedang membawa lari anak gadis orang dan takut ketahuan. Entah sudah berapa kali Ibra menghela nafas kasar. Melihat tingkah polah teman temannya membuat kepalanya berdenyut nyeri. Dari mereka berempat, hanya Aksa yang bisa duduk anteng sambil sesekali menanggapi obrolan tiga orang lainnya. Tadi begitu masuk, mereka langsung menuju ke ruangan dekat balkon yang memang biasa mereka jadikan sebagai tempat berkumpul. Ada meja billiard dan sebuah mini bar di sana. Berbagai macam wine dan minuman beralkohol tertata rapi di dalam lemari. Ibra masih saja diam mendengar obrolan unfaedah dengan bahasan yang ngelantur dan konyol mereka. Sumpah demi apa, dia sudah greget ingin melempar mereka keluar dari apartemennya. Duduknya semakin tidak tenang, sepasang matanya sesekali mengawasi pintu kamar yang ditempati Freya dengan perasaan was was. Sekarang dia hanya bisa berharap semoga saja Freya ketiduran, paling tidak sampai mereka berempat pulang. "Siapa yang sudah berani membogem wajahmu sampai bonyok begitu?" tanya Johan yang sejak tadi sudah penasaran melihat memar di ujung bibir temannya itu. "Orang gila," jawab Ibra asal. "Ck, sesama orang gila dilarang berkelahi, Bra. Aduuuhh ..." Raka mengerang kesakitan sambil mengusap kepalanya, satu bola billiard yang dilempar oleh Ibra tepat mengenai sasaran. "Sudah berapa kali aku bilang, jangan memanggilku dengan nama menjijikkan itu!" protes Ibra, tapi teman temannya malah semakin terbahak. "Salahku apa coba? Namamu kan Ibra, wajar kalau aku memanggilmu Bra." ucap Raka membela diri. "Mau kamu, aku lempar dari lantai dua puluh?!" gertak Ibra yang langsung membuat Raka kicep. "Ibib ..." Ibra menoleh dan menatap sengit ke arah Johan. Dia benar benar sudah hampir frustasi menghadapi kelakuan teman temannya. Ibib?! Panggilan apa lagi itu? Anak mama yang satu itu sepertinya memang sudah bosan hidup. "Kalau kamu tidak lapar, makananmu tadi buat aku saja ya? Sumpah! Perutku sudah keroncongan dari tadi," ucap Johan. "Tidak boleh! Kalau kamu makan, nanti aku mau makan apa?" tolak Ibra. Johan mendecak keras. Sejak kapan temannya jadi pelit begitu, padahal dia tahu tadi Ibra memesan cukup banyak makanan. "Sebanyak itu mana mungkin bisa kamu habiskan sendiri, ya?" "Kalau lapar pulang sana! Jangan berebut makanan denganku. Lagi sudah tahu waktunya makan malam, kenapa kalian ke sini tidak bawa apa apa?" sungut Ibra kesal. "Kamu lagi pms ya? Kenapa dari tadi marah marah terus?" Ibra tak menjawab pertanyaan Bian, dia justru semakin terlihat jengkel. "Besok aku harus ke Bali dan sisa pekerjaanku masih banyak, kalian mengganggu saja!" "Ya sudah masuk saja ke ruang kerjamu, kenapa malah ngomel ngomel di sini. Aneh!" sahut Raka. "Hmm, hari ini Ibra memang aneh. Kamu kan cuma ke Bali, Aksa yang besok mau ke Jepang saja tetap santai kok. Iya kan, Sa?" timpal Johan. Aksa hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Johan. Untung semua pekerjaannya sudah selesai tadi, jadi dia tidak keberatan saat mereka bertiga mendatangi kantornya dan menyeretnya datang ke sini. "Tawaranku masih berlaku Sa, gedung hotel dan kamar VIP kalau kamu menikah dengan Lena nanti." ucap Ibra serius. "Ngawur, sudah aku bilang tidak seperti yang kalian pikirkan. Aku mengajak Lena supaya ada yang menemani Cello dan juga Vian," bantah Aksa masih dengan wajah kalemnnya. "Yakin hanya karena itu?" tanya Raka. Aksa mengangguk, "sangat yakin." "Maklum! Aksa kan masih galon," ledek Bian. "Galon?!" ulang Aksa bingung. Dia benar benar tidak paham apa hubungannya galon dengan hal yang sedang mereka obrolkan sekarang. Yang lain hanya menggeleng. Selain anteng dan kalem, Aksa itu juga culun. Tapi anehnya, dia bisa sampai menghamili anak orang. "Gagal move on, Sa." Aksa terlihat kikuk begitu mendengar jawaban Bian, apalagi semua mata sekarang sedang menatapnya penasaran. "Nggak kok, aku sudah move on dari Sasha. Hanya saja aku memang belum punya rencana untuk mencoba memulai lagi," jelasnya. "Kamu bisa mencoba mengenalnya lebih dekat dulu Sa, siapa tahu saja cocok. Lena hebat kok, buktinya dia mampu mengasuh dan mendidik Vian dengan baik." Yang lain ikut mengangguk setuju dengan pendapat Johan, tapi sepertinya Aksa memang masih sulit membuka hati. Mungkin lain ceritanya kalau Lena mau sedikit berusaha mendekati laki laki gagal move on satu itu. Untuk beberapa saat suasana jadi hening. Mereka juga bingung harus bagaimana lagi menasehati Aksa yang sepertinya masih sulit melepas masa lalunya. Tiba tiba terdengar suara pintu dibuka, mereka semua menoleh dan terbengong bengong melihat sosok Freya yang muncul dari balik pintu kamar dengan rambut dibungkus handuk. "Bang Ibra, hair dryernya ditaruh mana?" "FREYA," panggil mereka hampir bersamaan. Ibra meringis, antara melihat Freya yang berdiri mematung dan juga keempat temannya yang terlihat begitu shock. Tanpa memperdulikan tatapan bingung teman temannya, Ibra langsung berdiri dan melangkah menghampiri Freya. Dia menggandeng tangan wanita itu dan membawanya masuk kembali ke kamar. "Mereka kapan datangnya? Kok Bang Ibra tidak bilang kalau mereka mau ke sini?" protes Freya panik. Ibra membuka lemari dan mengambil hair dryer dari dalam, lalu memberikannya pada Freya. "Aku juga tidak tahu kalau mereka mau kesini. Kenapa kamu harus takut kepergok mereka berada di apartemenku?" tanya Ibra. "Mereka akan berpikir yang tidak tidak tentang kita, Bang?" Tidak, Ibra sekarang sudah tidak khawatir lagi seperti tadi. Dia justru geli melihat Freya yang terlihat kelimpungan setelah tertangkap basah berada di apartemennya. Terlebih lagi ada Johan di sana, sahabat kecilnya yang sudah dianggap sebagai kakaknya sendiri. "Memang kita kenapa? Kita sama sama single, kalau mereka sampai mengadu ke mamamu, aku sama sekali tidak keberatan kalau disuruh langsung menikahimu." Goda Ibra dengan mengulum senyumnya. "Bang." Ibra tertawa terbahak melihat Freya yang melotot kesal. Dia segera melangkah keluar, sebelum menutup pintu kamar, Ibra kembali menoleh ke Freya. "Cepat keluar, kamu belum makan malam!" Begitu pintu tertutup, Johan yang sudah menunggu di depan pintu kamar langsung menyeret Ibra ke sofa. Ibra mendecak keras melihat mereka berempat menatapnya tajam dan penuh tuduhan. "Kalian habis ngapain, kok Freya bisa mandi keramas di sini?" tanya Raka tanpa basa basi lagi. "Mulutmu minta dikebiri ya Ka?! sahut Ibra dengan tatapan sengitnya. Raka menggeleng sambil membungkam mulutnya sendiri dengan tangannya. Ibra hari ini galaknya benar benar tidak ketulungan. Kalau ingin selamat, sepertinya Raka harus memilih diam. "Kenapa Freya bisa ada di sini? Jangan bilang dia cuma mau numpang keramas di apartemenmu?!" Johan tampak begitu geram. Terang saja, Freya sudah seperti adik baginya dan Ibra adalah sahabatnya. Bagaimana bisa tiba tiba mereka sedekat ini, tanpa dia tahu apa apa. "Biar besok aku tidak usah repot menjemputnya ke Seven," jawab Ibra. "Apa muka kami berempat terlihat segoblok itu?! Kalau kamu takut repot, suruh saja Freya berangkat sendiri ke bandara naik taxi. Beres kan?" ucap Johan yang terlihat sewot. "Pantas saja dari tadi kamu aneh dan marah marah terus, rupanya takut terciduk bawa wanita menginap? Atau jangan jangan memang sudah sering?" tuduh Aksa. "Ngaku nggak?! Atau kamu mau aku sekarang juga menelpon mamamu? Wah, pasti rame!" ancam Bian. "Nggak nyangka ya, Ibra ternyata sukanya main belakang?! sahut Raka. Habis sudah kesabaran Ibra. Mereka berempat terus saja bergantian mengoceh, tanpa memberinya kesempatan untuk menjelaskan. "Kalian mau diam atau pulang?! Mingkem biar aku jelaskan dulu, supaya tidak salah paham!" Mereka langsung diam begitu Ibra berteriak dengan wajah kesalnya. Bian diam diam mengulum senyum, ternyata bisa juga sahabat batunya itu jatuh cinta. Apapun alasannya Ibra tidak mungkin membawa Freya menginap, kalau dia tidak punya perasaan apa apa pada wanita itu. "Tadi Reza datang ke Seven dan membuat keributan di sana. Melihat Freya begitu ketakutan, jadi aku memutuskan untuk membawanya menginap di sini." jelas Ibra. "Reza?! Kenapa Freya tidak bilang kalau b******n itu datang lagi mengusiknya?" Johan semakin terlihat kesal sekaligus khawatir. Bersahabat dengan Freya sejak kecil, membuatnya tahu semua tentang wanita itu. "Jadi dia yang sudah bikin wajahmu bonyok begitu?" Ibra mengangguk menanggapi pertanyaan Johan. "Dia seperti orang gila yang datang memaksa dan mengancam Freya. Untung saja tadi aku ada di sana." "Reza siapa?" Aksa yang tidak tahu apa apa, terlihat bingung mendengar obrolan mereka. "Reza Aditama, mantan kakak tiri Freya yang sekarang menduduki kursi pimpinan Aditama group. Dia juga pemilik perjudian tempat mamamu dulu terjerat hutang." Mereka semua tampak kaget, sama sekali tidak menyangka Reza adalah pemilik bisnis kotor itu. "Lupakan dulu soal Reza, sekarang jawab yang jujur! Kamu suka Freya kan?" Pertanyaan sederhana dari Bian itu membuat Ibra bungkam. Bukannya tidak bisa langsung menjawab, tapi terlalu memalukan mengakui perasaannya di depan teman temannya. Apalagi mereka sekarang mengintrogasinya seperti maling yang baru tertangkap basah. "Kalau kamu tidak mau jawab, aku akan menelfon Tante Dewi sekarang juga!" Ibra langsung merebut ponsel di tangan Bian. Bisa kacau urusannya kalau sampai mamanya datang sekarang. "Jangan! Aku sendiri yang akan bicara dengan orang tuaku setelah pulang dari Bali nanti." sahut Ibra. "Jadi benar kan kamu suka Freya?" tanya Raka yang melotot tidak percaya. "Kalau tidak mana mungkin aku akan datang menemui Tante Aida hari ini," jawab Ibra jujur. Lagi lagi mereka dibuat tercengang, sama sekali tidak menyangka Ibra bisa segentle itu datang meminta langsung ke mama Freya. Padahal mereka pacaran saja juga belum. "Ibra, kamu tahu kan Freya bagiku sama berartinya dengan Lovia. Aku tidak peduli kamu sahabatku, aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kejadian dengan keluarga Mahesa terulang lagi!" ucap Johan dengan wajah seriusnya. "Sialan kamu, Jo! Kamu sendiri tahu orang tuaku tidak mungkin sejahat itu." Johan diam dan menghela nafas panjang. Meski tidak punya hubungan darah, baginya Freya dan Lovia adalah adiknya. Jadi mana mungkin dia akan membiarkan orang lain melukainya. Terlebih Freya yang sejak kecil selalu bernasib malang. "Aku orang pertama yang akan mendukungmu, kalau kamu memang bisa menerima Freya apa adanya dan membahagiakan dia. Tapi ingat! Kalau kamu sampai melukainya, aku juga orang pertama yang membalasnya!" Ibra mengangguk dan mengangkat tangannya menyambut toss dari Johan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN