Bab 1. Calon Pendonor
“Maaf, Dokter Thorn, kami tidak bisa mengembalikan donor yang sudah Anda berikan. Bukankah Anda sudah menandatangani dokumennya?” ujar perawat yang bertugas di resepsionis.
“Iya, tapi aku berubah pikiran dan harus menarik donorku kembali,” sahut Jason dengan raut gelisah luar biasa. Ia sudah melakukan kesalahan besar dengan mendonorkan sperm*nya ke bank donor beberapa hari yang lalu.
“Tidak bisa, Dokter Thorn. Dokter Anderson sudah mengatakannya padamu, bukan? Kami rasa Anda mengetahui peraturannya.” Perawat itu mulai kesal menghadapi Jason yang terus memaksa menarik donornya kembali.
“Ahk, apa kalian tidak bisa mengerti kondisiku? Aku tidak siap punya anak!” sahut Jason mulai meninggikan suaranya. Wajahnya tampak makin tegang. Perawat itu tetap menggelengkan kepalanya. Ia pun bersikeras tidak akan memberikan ijin pada Jason untuk menarik donor yang sekarang tidak lagi jadi miliknya.
“Kami tidak bisa. Donor itu sudah menjadi milik bank donor dan akan diberikan pada pasien yang akan menjalani program inseminasi ....”
“Siapa pasiennya?”
“Kami tidak boleh memberitahukannya karena itu melanggar kerahasiaan. Silakan keluar!” ujar perawat itu dengan tegas mengusir Jason keluar. Jason mendengkus kesal bukan main. Kali ini perawat itu bahkan akan memanggil petugas keamanan untuk mengusir Jason. Jika sudah seperti ini, Jason bisa diskors di rumah sakit tempatnya bekerja.
Dengan sikap uring-uringan campur dongkol, Jason keluar dari klinik bank sperm* yang masih satu lingkungan tempatnya bekerja. Jason bahkan belum mengganti seragam scrubs-nya dan hanya menutupi dengan jaket. Ia berjalan ke parkiran, mondar-mandir kebingungan.
“Mati aku. Bagaimana jika nanti pasien penerima donor benar-benar hamil? Ahk, aku tidak mau jadi Ayah. Tidak, aku tidak siap jadi Ayah!” Jason merutuk sambil mengomel seperti orang aneh. Ia berkacak pinggang kehilangan akal. Matanya membesar tak lama kemudian ketika melihat salah satu jendela di lantai dua terbuka.
“Oh, terima kasih, Tuhan. Aku janji akan ikut misa minggu ini!” Jason menyematkan tanda salib dan berlari ke arah samping bangunan bank donor tersebut. Ia mendongak ke atas dan mencari cara untuk memanjat. Ini adalah satu-satunya kesempatan Jason untuk bisa masuk serta mengambil kembali spesimen yang sudah didonorkannya.
Tidak sia-sia Jason belajar Taekwondo. Buktinya kakinya bisa kuat memanjat dinding lalu menyeberang melewati pohon Ek yang sedang gugur daunnya sebelum menyeberang ke dinding dan menempel seperti laba-laba. Jason berjalan sedikit demi sedikit pada sedikit ornamen dinding tanpa rasa takut sampai ia berhasil masuk melalui jendela tersebut.
Begitu mendarat di lantai, Jason langsung memasang hoodie jaketnya dan bersembunyi di balik lemari. Ia mencari kesempatan menyusup untuk bisa mencari data tentang spesimen miliknya. Jason berhasil keluar dari ruangan tersebut dan mulai mencari. Ia menemukan ruang data dan arsip tak lama kemudian. Jason segera masuk dan menghidupkan salah satu komputer.
“Ayolah tunjukkan padaku,” gumamnya pelan sedang membobol kotak terenkripsi untuk membuka seluruh file. Setelah berhasil, Jason memasukkan namanya dan seluruh datanya terpampang.
“Ruang A.3R,” sebutnya pelan. Keningnya makin mengernyit saat kursor diarahkan pada penerima donor. Sedetik kemudian, Jason langsung melotot.
“Apa!” serunya tak sadar. Jason langsung menutup mulutnya. Buru-buru ia mematikan komputer dan dengan jantung yang rasanya mau copot. Jason pun melesat keluar. Untung saja tidak ada yang memergokinya karena hari sudah hampir tengah malam.
Jason masuk ke salah satu ruang pembersih untuk menenangkan dirinya. Rasanya kepalanya berat bukan kepalang, seperti baru saja dihantam batu besar. Napasnya bahkan masih tersengal meski ia tidak berlari.
“Ini tidak mungkin. Aku ... oh Tuhan, apa yang sudah aku lakukan? Matilah aku!” rutuk Jason mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia menarik napas panjang yang sulit lalu menengadah menatap lampu yang menyala.
“Aku harus tenang. Aku harus tenang. Huff ... bernapas!” Jason menarik napas dalam dengan kedua tangan seperti menekan ke bawah lalu naik ke atas. Ia sedang melakukan teknik pernapasan agar tubuh serta pikirannya tenang.
“Aku harus melakukan sesuatu. Oke, aku tidak akan biarkan penyihir itu mendapatkan benihku, calon bayiku ... tidak akan!” ujar Jason membuat tekad dalam dirinya. Ia pun celingukan setelah membuka pintu. Setelah aman, Jason langsung keluar.
Jason berlari ke bangunan rumah sakit yang terletak 400 meter dari bangunan bank donor. Ia terus berlari sampai masuk ke lift di lobi. Dalam keadaan terengah, Jason menekan tombol lantai paling atas tempat direktur rumah sakit alias Chief of Medicine berkantor.
“Aku harus bicara denganmu!” pungkas Jason separuh menghardik Grace Reitberg, calon Chief of Medicine yang sedang berada di kantornya. Grace langsung mendelik tak suka. Ia sedang berdiskusi dengan seorang pengacara saat Jason menyerobot masuk.
“Apa Anda tidak tahu sopan santun, Dokter Thorn? Mengapa tidak mengetuk pintu terlebih dahulu?” hardik Grace membalas.
“Aku benar-benar harus bicara denganmu!” Jason memperjelas dengan mengacungkan jari telunjuknya dengan nada marah. Ingin rasanya Grace memukul kepala Jason karena sikapnya yang tidak sopan, tapi ia harus menjaga perilakunya. Pengacara itu pun akhirnya mengalah. Ia berdiri dan pamit pada Grace.
“Kita akan bicara lagi nanti. Jangan lupa acara makan malamnya,” ujar si pengacara dengan sikap datar. Grace hanya bisa menarik napas panjang lalu mengangguk. Jason mendelik pada pengacara yang melewatinya dan menarik pintu lebih lebar. Pintu lalu tertutup tak lama kemudian.
“Kamu benar-benar sudah kurang ajar, Dokter Thorn!” hardik Grace dengan nada tertahan. Ia keluar dari posisinya di balik meja pimpinan menghadapi salah satu dokter muda spesialis bedah yang memang suka membuat masalah, Jason Micheal Thorn.
“Apa benar kamu yang akan menjalani program inseminasi lusa nanti?” Jason membalas tak kalah emosi. Kening Grace langsung mengernyit.
“Dari mana kamu tahu aku akan melakukan inseminasi?” tanya Grace perlahan menunjuk Jason yang masih melotot dongkol padanya. Jason langsung berkacak pinggang. Jangan berharap ia akan menghormati calon pimpinan di rumah sakit Celestial Royal Park tersebut.
“Karena aku adalah pendonor sperm*nya!” tukas Jason menyahut tegas.
Grace membulatkan mata indahnya sekaligus membuka mulut tak percaya dengan apa yang ia dengar. Dirinya memang tidak pernah menanyakan identitas pendonor. Semua pilihan berdasarkan kualitas spesimen dan ternyata milik Jason adalah yang terbaik.
“Tidak mungkin! Untuk apa kamu mendonor di bank sperm*? Apa kamu sudah gila?” seru Grace malah balik meninggikan suaranya. Jason mengeretakan rahangnya karena kesal bercampur gemas.
“Ugh, itu urusanku! Untuk apa kamu malah mengambil milikku?!” suara Jason makin sengit.
“Mana aku tahu jika itu milikmu! Dokter Anderson bilang jika itu adalah spesimen grade A terbaik yang mereka punya,” sahut Grace tak mau kalah berdebat.
“Kalau begitu, batalkan program itu!”
“Tidak bisa. Aku membutuhkan donor sperm* secepatnya!” Grace ikut melotot. Jason mengepalkan tangannya menahan rasa marah yang sudah mencapai ubun-ubun.
“Aku tidak akan memberikan ijin bagimu untuk mengandung calon bayiku. Itu benihku!”
“Aku tidak peduli. Aku butuh donor itu sekarang!” wajah Grace makin dekat berteriak menghardik Jason di depannya.
“Kamu gila ya?!” seru Jason nyaris hilang kendali. Tiba-tiba ponsel Grace berdering keras dan keduanya sama-sama berpaling ke arah meja. Grace menyambar ponsel tersebut dan mengangkat panggilan tersebut. Jason terperangah tak percaya.
“Kita belum selesai!” Tangan Grace langsung membekap mulut Jason.
“Grandma?” ucap Grace masih dengan sebelah tangannya menutup mulut Jason.
“Bawa Ayah dari calon bayimu besok malam!”
Grace melotot sempurna mendengar perintah tersebut lalu menatap Jason yang juga menatapnya.