Sebagai teman yang sudah lama mengenal siapa Naswari Ayudya, mereka paham jika Naswa tidak suka menunda hal yang menurutnya penting. Itulah sebabnya mereka memutuskan untuk lebih dulu sampai di restauran ini sebelum Naswa, agar mereka bisa membuat janji dan rencana tanpa diketahui olehnya.
..**..
Sejak Naswa tiba dan bergabung dengan mereka, dia sama sekali tidak mau membuka suaranya. Bahkan Erine, Robby, dan Daniel kerap mengajaknya bicara berulang kali. Namun Naswa hanya menjawab singkat atau sekedar deheman dan senyuman tipis.
Mereka tahu kalau Naswa sedikit kesal karena mereka menunda hal yang ingin diketahui oleh Erine. Tapi mereka juga tidak bisa mengatakannya disaat mereka belum menikmati makan siang.
Naswa pernah sakit sampai berbulan-bulan akibat panas tinggi dan asam lambung yang menyerangnya. Sebagai teman yang sama-sama berjuang sejak SMA, mereka tahu betul mengenai penyakit yang hampir membuat Naswa meregang nyawa. Itu sebabnya mereka lebih mengutamakan makan siang dari pada membahas hal yang pasti akan membuat hati Naswa semakin hancur.
Perhatian yang mereka lakukan memang tulus. Apalagi mereka tahu jika Naswa hanya bercerita pada mereka mengenai masalah yang tengah dia hadapi saat ini.
…
Beberapa menit kemudian.,
Naswa terlihat santai menikmati makan siangnya. Hingga dia melupakan rasa kesalnya dan teringat akan sesuatu.
“Oh ya, Bang Pai kenapa gak ikut pulang?” tanya Naswa melirik Robby dan Daniel sekilas.
Mereka berdua saling melirik dan membalas tatapan Naswa yang begitu menuntut. Robby merasa jika Daniel mungkin akan susah menjawabnya. Sebab anak itu tidak lihai bersilat lidah di hadapan Naswa.
“Oh … Bang Pai niatnya mau pulang katanya, Nas. Tapi jadwalnya padat. Dia ada meeting mendadak katanya,” jawab Robby dengan nada biasa saja dan menikmati makanannya tanpa melihat ke arah Naswa yang saat ini masih menatapnya.
Erine melirik ke arah kanan, melihat Naswa yang sepertinya tidak mempercayai alasan Robby. Dia tahu betul siapa Naswa. Dia harus membantu mereka, pikirnya.
“Bukannya Bang Pai uda jadi Kepala Bagian yah?” Dia melirik Robby dan Daniel dengan tatapan penuh arti.
Seakan paham, mereka berdua menganggukkan kepalanya. Daniel kembali membuka suara meski mulutnya masih mengunyah.
“Iya, makanya itu dia sibuk kali. Coba Nas, Lu hubungi dia deh. Ntar dikira bohong lagi,” jawabnya melepas tuduhan dari pandangan Naswa.
Dia tampak menghela panjang nafasnya.
“Katanya dia janji mau balik. Soalnya tahun baru kemarin dia gak pulkam, kan?” Naswa mengutarakan apa yang ada di pikirannya saat ini.
Erine mengulum senyumannya sembari melirik sahabat dekatnya, Naswa.
“Kenapa sih? Kangen ya?” selidik Erine sedikit mengejek, hingga membuat Naswa memutar malas bola matanya.
“Apaan sih?” gumam Naswa menghela panjang nafasnya.
Robby dan Daniel tampak tertawa geli melihat Naswa yang mulai bisa diajak mengobrol. Bahkan ekspresi Naswa meyakinkan mereka jika wanita itu siap menerima kenyataan yang akan dia dengarkan nanti.
Tidak mengalihkan pembicaraan, Naswa justru meneruskan kalimatnya barusan.
“Dia tuh janji sama aku! Katanya mau bandarin makan. Janjinya bakal pulang eh … gak tahunya malah gak jadi,” ujarnya bernada kesal. Tak luput dari ekspresinya yang turut menunjukkan rasa kesal, Naswa melirik mereka bertiga bergantian.
Erine sedikit tertawa geli melihat ekspresi datar Naswa.
“Heran deh aku … Bang Pai tuh takut kali ya kalau kau marah, Nas. Macam Abang yang bakal digusur sama Adiknya sendiri,” ucapnya berlogat Medan, dia masih tertawa geli sembari menikmati makanannya. Melirik Naswa yang juga menatapnya sengit.
Robby dan Daniel juga ikut menyambung tawa mereka. Dan pria bernama Daniel itu kembali bersuara.
“Bukan takut, Rine! Bang Pai gak mau dicoret dari daftar Abang tergantengnya Naswa!” Daniel meledeknya dan dibalas tatapan tajam oleh Naswa yang duduk berseberangan meja dengannya.
Robby yang melihat itu, dia sedikit bergidik ngeri.
“Bah … Selow lah, Nas. Uda macam mau gorok orang Lu gue tengok,” ucapnya berlogat sama.
Erine tertawa terbahak-bahak melihat tingkah konyol kedua temannya, Robby dan Daniel demi membuat Naswa bersikap santai sebelum dia mengetahui kenyataan yang harus dia hadapi.
..**..
Sedikit berbincang ringan, Daniel sengaja mengalihkan topik pembicaraan mereka seputar pekerjaan yang sudah mereka geluti selama hampir 2 tahun lamanya. Bukan tanpa alasan mereka melakukan ini, mereka hanya mau membuat Naswa tidak tegang dan tidak terlalu memikirkan hal yang sangat ingin dia ketahui.
Setelah cukup candaan mereka, Naswa memang merasakan hal yang mengganjal di hatinya. Ketiga sahabatnya mengulur waktu seakan dirinya mampu dibodohi.
Awalnya Naswa memang terus mengikuti waktu yang mereka buat. Namun karena terlalu lama, Naswa mulai bosan dan tidak mau bertele-tele.
…
Erine melirik Robby dan Daniel yang sudah mengatur posisi laptop yang mereka bawa.
“Apapun yang terjadi, kau harus sabar ya, Nas.”
Naswa langsung melirik Erine yang duduk tepat di samping kirinya.
Dia tersenyum tipis karena merasa jika tatapan Erine begitu mencekam dan menyelidiki.
“Sumpah! Aku belum tahu apa-apa, Nas … aku cuma wanti-wanti aja loh. Biar kaunya gak syok gitu,” ucap Erine berdalih sempurna, melirik Robby dan Daniel yang sudah memasang wajah datar.
Robby mengambil alih laptop dan memberikan informasi yang diinginkan oleh Naswa.
“Nas, Lu duduk di samping gue aja.” Dia melirik Naswa.
Daniel beranjak dari duduknya, dan berjalan menuju bangku sebelah.
“Apapun itu. Lu harus inget, Nas. Kita selalu ada disaat Lu butuh kita,” gumamnya sembari melirik Naswa yang sudah melirik ke arah laptop. Dia melirik Erine dengan isyarat anggukan kepala yang juga dipahami oleh sahabat Naswa itu.
Naswa mengikuti apa yang dikatakan oleh Robby. Walau degup jantungnya serasa mau copot. Bahkan dia merasa detak jantungnya sudah tidak normal sejak dia sampai di restauran ini.
Dia menarik sehelai tissue yang tersedia diatas meja, melipatnya, dan menyapu keringat yang muncul dibawah lipatan matanya. Tidak ada suara yang muncul dari bibirnya. Karena fokus Naswa terus tertuju pada hal yang sudah dia tunggu sejak lama.
Erine yang duduk berhadapan dengannya, berseberangan meja. Dia terus saja memperhatkan ekspresi Naswa. Dia pikir, mereka harus bersiap diri seandainya Naswa meledakkan emosinya yang selama ini tertahan.
Robby mulai melirik Naswa, dan mengarahkan layar laptop ke arah Naswa. Jemari kanannya terus menyentuh layar, dan mengarahkan sesuatu yang perlu dibaca oleh Naswa.
Mereka semua memberi waktu untuk Naswa membaca apa yang ada di layar laptop. Bahkan saat Naswa berulang kali menghela panjang nafasnya, menaik turunkan dadanya. Mereka masih terus diam.
Naswa membaca isi percakapan itu perlahan. Tiada ekspresi yang tercetak di wajah cantiknya. Anggota tubuhnya juga masih saja pasif.
Disaat Naswa masih fokus melihat pesan disana satu persatu, ponsel Robby berdering.
Dddrrrttt…
Ponselnya yang terletak di sisi kanannya, Robby langsung menjangkaunya dan melihat nama sang penelepon.
Bg Pai is calling…
Glek!
Robby mulai bingung. Apakah dia harus menjawab panggilan dari pria yang dia kenal atau tidak. Pasalnya dia paham, kalau Pai yang dia sapa sebagai Abang, pasti mau tahu kondisi Naswa saat ini.
Sebab Pai yang memerintahkan mereka untuk memberitahu hal yang Naswa ingin ketahui sejak lama. Awalnya mereka menolak itu, namun karena melihat Pai masih sibuk dan mereka juga mau kembali ke Medan. Mereka pikir, tidak ada salahnya jika mereka mewakili Pai.
Lama ponsel itu berdering, Robby masih mengunci pandangannya dan mengawasi ekspresi Naswa. Namun tangan kanannya mengarahkan layar ponselnya tepat di belakang laptop. Memberi isyarat kepada Daniel dan Erine bahwa Pai menghubunginya.
Daniel dan Erine saling melirik satu sama lain. Paham keadaan, Daniel langsung mengotak-atik ponselnya dan mengetik sebuah pesan untuk dikirimkan kepada Pai.
Bg, Naswa lagi sama kami.
Dia lagi baca yang kau suruh, Bg.
Jangan dulu hubungi kami. Nanti Naswa curiga.
Daniel langsung mengirimkan pesan itu kepada Pai. Dia melirik Robby sebagai isyarat.
Robby mengerti jika Daniel melakukan apa yang tidak bisa dia lakukan sekarang. Melihat Daniel sedikit menganggukkan kepalanya, Robby langsung menolak panggilan kedua Pai.
..**..
Hampir 1 jam Naswa membaca semua yang ada disana. Bibirnya terbungkam. Ekspresinya masih biasa saja.
Sedangkan Robby, Daniel, dan Erine. Mereka bertiga masih terus diam, tidak berani membuka suara sedikit pun sampai Naswa selesai dari fokusnya saat ini.
Ketika semua sudah dikupas tuntas oleh Naswa, dia tersenyum tipis dan menghela panjang nafasnya. Dia mengalihkan kedamaian hatinya pada ponselnya, dan melihat berita-berita penting seputar Kesehatan.
Mereka bertiga tidak merasa heran, sebab mereka tahu kalau Naswa pasti tengah membuat peralihan dari gejolak hatinya. Tentu saja mereka membiarkan Naswa bernegosiasi dengan hati dan logikanya selama beberapa menit ke depan.
Apalagi saat Naswa meminta bantuan mereka untuk melacak posisi pria yang dulunya sangat dia sayangi dan hormati. Tidak ada pilihan lain bagi mereka untuk menuruti keinginan Naswa.
Mereka melacak posisi pria itu dan melihat jika posisinya sedang dalam perjalanan. Tentu saja posisinya masih di sekitar area Medan.
…
Beberapa menit kemudian.,
Dia masih meluruskan pandangannya ke depan. Tidak peduli jika ketiga orang itu terus menatapnya.
Lama dia berkedip dalam kebisuan, pandangannya kini beralih menatap Erine hingga sahabat baiknya itu tersenyum kecut.
“Nas …” Erine hendak mengucapkan sepatah kata, namun Naswa menyelanya cepat.
“Kalian dah tau ini sejak lama?” tanya Naswa menatap tajam Erine yang tampak berkeringat dingin.
Erine melirik Robby dan Daniel seakan meminta bantuan mereka untuk ikut menjawab. Sebab dirinya juga tidak terlalu detail mengetahui masalah keluarga Naswa.
“Eumhh …”
Daniel memahami kegugupan Erine, dia beralih mengambil sikap.
“Nas, gini … Bang Pai cuma bilang singkat aja. Dia gak jelasin kami secara detail. Kami pun tahunya karena baca isinya langsung tadi malam,” ucapnya menatap Naswa dan Robby bergantian.
Robby masih terlihat diam saja, mendengarkan penjelasan dari Daniel. Sesekali dia melihat Naswa tak berkedip menatap Daniel.
“Jangan salah paham dulu, Nas. Sumpah demi apapun, cuma Bang Pai yang tahu lebih dulu, Nas. Itupun dia bilang belum bisa ke Medan karena banyak kerjaan dia. Jadinya dia nyuruh kami ngasih tahu Elu, Nas. Karena kami kan juga balik kesini,” jelas Daniel lagi, berharap Naswa bisa mengerti posisi mereka dan tidak salah paham terhadap mereka.
Naswa menghela panjang nafasnya. Dia mengalihkan pandangannya menatap Erine yang memasang wajah prihatin.
Lama mereka saling berdiam diri, Naswa yang sejak tadi hanya membisu. Kini dia kembali membuka suaranya.
“Terima kasih udah bantu aku.” Dia menatap Robby, Daniel, dan Erine bergantian.
Senyuman tipis di kedua sudut bibirnya terlihat memaksa. Namun mulutnya kembali bersuara.
“Dan terima kasih … kalian dah mau luangkan waktu untuk jumpa sama aku. Aku pikir kalian lebih sibuk dari aku,” ucapnya sedikit tertawa geli sembari mengalihkan perasaan kecewa dan sedih di hatinya.
Mereka bertiga saling melirik satu sama lain melihat keanehan sikap Naswa saat ini. Robby membuka suaranya.
“Nas, kami bisa jaga rahasia. Lu tahu pekerjaan kami sebagai apa. Jadi, jangan khawatir dan takut kalau kami bongkar masalah keluarga Lu, Nas. Itu gak akan pernah terjadi.” Dia mengelus pelan punggung Naswa yang terlihat rapuh.
Sungguh, di hati kecil Robby, ingin sekali dia memeluk Naswa saat ini. Mendekapnya, melampiaskan perasaan yang sejak dulu dia pendam. Namun dia sadar, jika dirinya sudah memiliki kekasih. Dan perasaannya terhadap Naswa harus tergantikan dengan perasaan sebagai saudara semata.
Dan jika Pai tahu mengenai perasaannya yang masih ada. Pria berusia 31 tahun itu pasti akan menginjak kepalanya karena tidak menghargai kekasihnya. Atau mungkin bukan itu alasannya. Tapi karena Pai juga menaruh hati kepada Naswa sejak SMA.
Naswa mengulum senyumannya, dan melirik ke arah Robby.
“Iya, aku paham kok.” Dia menyempatkan diri menghela panjang napasnya.
“Lagian, uda jadi rahasia umum kalau Papaku memang sering jalan sama selingkuhannya. Banyak teman kita yang lain yang lihat Papaku bawa jalangg sialan itu di mobilnya.” Dia tertawa miris.
“Bahkan keluargaku juga sebagian menutupi. Aku tahu kok, kalau mereka menutupi tingkah jalangg Papaku.” Dia tersenyum tipis sembari beranjak dari duduknya dan menyambar tas miliknya. Dia menyimpan ponselnya di dalam tas dan kembali melanjutkan kalimatnya.
“Oh iya, aku duluan yah … aku mau nyiapin berkas buat lusa,” ucapnya lagi hendak berjalan meninggalkan mereka.
Daniel langsung beranjak dari duduknya, menghadang Naswa.
“Eh, Nas … biar aku antar ke lab sekarang.” Daniel menawarkan bantuannya.
Erine juga ikut bersiap diri dan beranjak dari duduknya.
“Gak usah, biar aku aja yang ikut Naswa.” Dia melirik ke arah Robby yang tampak memahami kalimatnya.
Naswa mengernyitkan keningnya melihat sikap mereka.
“Hey, aku gak apa-apa loh. Kalian pikir aku kenapa, heh?” Naswa menggeleng pelan kepalanya.
Daniel mulai bingung. Erine berjalan mendekati Naswa.
“Udahlah, Nas. Kalau sedih, jangan ditutupi! Apa gunanya aku sebagai sahabat coba?” Erine sedikit mengingatkan Naswa.
Robby mencoba untuk menenangkan sikap Naswa. Dia menyentuh lengan Naswa, hendak merangkulnya sebagai seorang teman.
“Yauda. Gini aja … Elu izin pulang duluan aja, Nas. Kita jalan-jalan sampai malam, gimana? Kebetulan kami—” Ucapan Robby terhenti saat pandangannya melihat ke arah kiri, di ujung sana.
“Kami apa, Rob?” Erine menatap bingung pria yang tampak tertegun itu.
Mereka bingung dengan apa yang ditatap Robby saat ini, hingga mereka ikut melihat ke arah yang sama.
Deg!
Dia terdiam.
*
*
Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)