Kebahagiaan Sementara yang Tak Terukur

2269 Kata
*** Cambridge City Square, Medan, Indonesia., Nelayan Suki., Malam hari.,             Dia termangu melihat wanita di hadapannya makan begitu lahap. Sedangkan dirinya masih betah memotong dimsum menjadi dua bagian kecil. “Pelan-pelan kali, Dek makannya!” ujar Pai masih melihat Naswa makan tanpa melirik ke arah sedikit pun.             Sejak beberapa menit yang lalu makanan sampai di meja mereka, Naswa tidak banyak bicara kecuali jika dia tidak tahu menu baru yang disajikan di hadapan mereka.             Mendengar ucapan Pai, Naswa hanya meliriknya sekilas sembari mengunyah. “Makan, Bang. Nanti kurus!” ketusnya bernada cuek.             Pai tertawa geli mendengarnya. Melihat keringat Naswa menetes di keningnya, Pai menyapu dengan jemarinya. “Kasihan kali adek Abang satu ini. Laper apa doyan?” Pai mengejeknya, menyeringai tipis.             Naswa menatapnya sengit. “Capek! Habis energi gara-gara ngawani Abang belanja baju!” ketusnya asal.             Pai memasang ekspresi kaget. “Hah? Gak salah?” tanyanya heran. “Ya enggak lah!” sahut Naswa cepat.             Dia hanya bisa menggelengkan pelan kepalanya. “Baju Abang juga gak banyak. Cuma beberapa pasang aja,” balasnya. “Aci kayak gitu ya. Yang lebih banyak belanja siapa, yang capek siapa.” Dia melirik Naswa yang mulai melotot tajam. Naswa tidak peduli lagi, dia terus menyantap makanannya. Dimsum yang sudah dipotong oleh Pai.             Yah, Pai mengetahui segala hal yang disukai dan apa yang tidak disukai oleh Naswa. Itu sebabnya dia sudah hapal dengan kebiasaan makan Naswa. Tidak peduli baginya sedikit menahan lapar, agar wanita ini bisa menyantap semua dimsum yang tersedia diatas meja mereka.             Dia tahu jika Naswa masih memendam perasaan kecewa terhadap Ayahnya. Hanya saja, di hadapannya dia bersikap tegar dan tidak mau menunjukkan kelemahannya.             Apalagi kesedihan yang dia pendam seorang diri, mungkin saja itu membuatnya sangat lelah. Sebagai seorang lelaki yang menganggap Naswa sebagai Adik kandungnya sendiri, Pai juga menyimpan begitu banyak kekesalan dan kekecewaan terhadap Ayah Naswa.             Naswa tipikal wanita yang tidak mau merepotkan orang lain. Dia bahkan tidak mau menunjukkan kesedihannya di hadapan sembarang orang.             Tidak ada pundak sebagai tempatnya bersandar untuk mencurahkan segala isi hatinya. Meski dia tahu jika Naswa sudah memiliki kekasih bernama dr. Rangga.             Bukan dirinya tidak mempercayai pria yang berprofesi sebagai Dokter Spesialis termuda di salah satu Rumah Sakit Swasta terbaik di kota Medan ini. Hanya saja Pai juga seorang pria yang memiliki segudang pengalaman.             Apalagi dia mengakui jika dirinya benar pria b******k di luar sana. Tentu saja dia paham bagaimana karakter pria yang memang benar mencintai dengan tulus, dan mana yang tidak.             Ingin rasanya dia menyampaikan beberapa hal janggal mengenai Rangga. Tapi dia masih menjaga hati Naswa yang sedikit mempercayai pria yang selalu meninggalkannya tanpa jejak.             Semua hal mengenai Naswa tidak bisa dia abaikan. Itu sebabnya dia akan menjadi orang terdepan yang melindungi Naswa, jika dia tengah terjatuh atau bahkan menitihkan air mata.             Naswa, dia mengernyitkan kala melihat Pai terus menatapnya lekat sejak tadi. “Bang! Woii! Ngelamun aja! Ayam tetangga ntar pada mati!” ketus Naswa menyadarkan lamunannya.             Tanpa banyak bicara, Pai menarik segelas air mineral disana. “Minum, biar gak seret tenggorokannya.” Pai kembali mengingatkan Naswa dan menyodorkan segelas air mineral ke arah Naswa.             Naswa langsung menjangkaunya dan meminumnya melalui pipet. “Abang makan! Nanti kuhabiskan juga ini makanan disini!” ketus Naswa dan direspon ketawa oleh Pai.             Bagaimana mungkin dia menolak untuk selalu bisa bersama dengan Naswa. Wanita lucu yang dulu dia sukai dan mati-matian dia kejar hatinya, sekarang dia bebas mengambil waktunya dan berada lebih dekat lagi. “Iya, Abang potong ini dulu. Baru Abang makan sup Iganya,” jawab Pai terus melirik Naswa yang merespon kalimatnya dengan angguka kepala.             Pai merasa, kedekatannya sebagai Abang beradik justru jauh lebih nyaman. Mereka saling menikmatinya.             Tidak ada kata sungkan, sakit hati, atau cemburu satu sama lain. Sebab mereka memang menganggap bahwa hubungan mereka sudah seperti keluarga dekat.             Sebagai seorang pria yang merindui sikap kekanakan seorang anak perempuan, Pai memang mengharapkan kehadiran seorang Adik perempuan untuk selalu dimanja. Setelah berjumpa dengan Naswa, dia melakukan semua hal sesuai dengan harapannya.             Menganggap Naswa adalah Adiknya, dan melakukan apapun demi membuatnya bahagia dan tertawa. Dia juga tidak keberatan jika Naswa merengek meminta untuk belanja bersama saat dirinya kembali ke Sumatera Utara. … 25 menit kemudian.,             Naswa masih bermain dengan ponselnya. Dia melirik ke arah Pai yang masih terus memakan Iga bakar favoritnya. “Bang … Abang serius gak mau singgah dulu ke Nias?” tanya Naswa memastikan pria itu jika dia memang tidak ingin balik ke kampung halamannya.             Pai berdehem dan mengangguk pelan. “Kenapa rupanya?” Dia justru bertanya balik dengan nada sangat cuek.             Naswa menghela panjang nafasnya. “Kok kenapa pula?” Keningnya berkerut tiba-tiba. “Memangnya Abang gak rindu sama Mama? Singgah kek bentar gitu. Ntah 2 hari nginap, baru balik ke Jakarta lagi.” Naswa menasehatinya dengan bijak.             Pai meresponnya dengan senyuman tipis. Sembari memakan Iga dengan kedua tangannya yang sudah berlapiskan sarung tangan plastik transparan. “Abang masih banyak kerjaan lo, Dek. Gak bisa ditinggal lama. Kalau Abang pulang ke Nias. Pasti ditahan sama mereka sampai 1 minggu. Bisa kena ajab Abang nanti sama atasan,” jawabnya sembari terus menikmati makanannya.             Naswa mengangguk dengan bibir sedikit berbentuk seakan dirinya tidak percaya. “Kalau banyak kerjaan, kenapa ke Medan? Halah … banyak kali alasan!” sahut Naswa dengan ekspresi acuh.             Pai melirik Naswa. “Nanti kalau Abang gak ke Medan, kamu nangis-nangis.” Dia membalasnya dengan suara terdengar santai.             Naswa melongo sembari mengejek. “What? Dih, PD sekali anda, Pak!” balasnya angkuh, memutar malas bola matanya.             Pai terus melanjutkan makannya. Membiarkan Naswa bersantai, menunggunya sampai selesai makan. …             Setelah selesai menikmati makan malam bersama di restauran favorit Naswa, kini mereka kembali berjalan menuju basement. Naswa membawa beberapa kantung belanjaannya saja, sedangkan sisa belanjaan miliknya dibawa oleh Pai. “Abang nginap di Miyana? Atau dimana?” tanyanya mendongakkan kepala, melirik Pai yang lebih tinggi darinya. “Dimana lagi kalau gak di Miyana. Besok jadi nonton kita kan?” Dia berbalik tanya dan direspon anggukkan kepala oleh Naswa. “Jadilah, Bang. Aku dah izin untuk 2 hari sampai Abang balik ke Jakarta!” jawabnya seraya ingin memberi warning.             Pai mengangguk cepat. “Oke, mantap!”             Mereka berjalan menuju lift disana. Pai menekan angka yang akan membawa mereka menuju basement. Ting!             Pintu lift terbuka, dan mereka masuk ke dalam. Saat mereka hendak masuk ke dalam, seorang wanita dengan seragam cleaning service juga ikut masuk bersama.             Pintu lift tertutup lagi. Pai membuat jarak, agar Naswa tidak merasa terpojok di dalam lift.             Naswa melirik Pai yang sedikit berdehem pelan. Dia merasa kalau Pai akan melakukan sesuatu lagi sekarang. Wanita berseragam cleaning service itu berdiri tepat di hadapan mereka. Rambutnya terlihat rapi dibalik sarung jarring berwarna hitam. “Ehmm …” Sekali lagi Pai berdehem pelan, hingga Naswa menyikut lengan kirinya dan melotot tajam ke arahnya.             Tentu saja ekspresi Naswa tidak menyurutkan niatnya untuk melakukan apa yang ada di benaknya saat ini. Dia menjatuhkan pelan barang belanjaan mereka di lantai lift, lalu sedikit membenarkan kemeja abu-abu polos yang baru saja dia beli tadi bersama Naswa.             Naswa memejamkan kuat matanya. Kepalanya menggeleng pelan. Firasatnya benar, Pai akan menggoda wanita ini lagi.             Dia tidak habis pikir, pria yang membuatnya nyaman ini selalu saja tidak bisa dipancing. Setiap ada wanita cantik yang bisa diajak berbicara, dia pasti tidak akan melewatkan kesempatan itu. Dan kini sikap Pai membuatnya ingin mengumpat kesal. “Mbaknya sudah berapa lama kerja disini?” tanya Pai membuka pembicaraan antara dirinya dengan wanita yang dia tuju.             Wanita berseragam cleaning service itu sedikit menoleh ke arah belakang. Kakinya sedikit melangkah ke arah kiri. “Hah iya, Pak?” “Maaf, Bapak bicara sama saya?” tanyanya sesopan mungkin.             Naswa menutup mulutnya dengan tangan kanan, menahan senyuman di wajahnya.             Sedangkan Pai, dia tidak peduli jika Naswa sengaja mengejeknya. Dia terus memperlihatkan ekspresi paling bahagia ke arah wanita itu. “Iya, Mbak. Saya bicara sama Mbaknya. Kan hanya kita berdua saja disini,” balas Pai selembut mungkin.             Naswa menghela panjang nafasnya. ‘Apa-apaan dia! Hanya berdua? Dikira aku setan apa!’ bathin Naswa mengumpat kesal.             Mendengar pernyataan Pai, wanita itu melirik ke arah Naswa. Sedangkan Naswa yang memahami keadaan, dia melirik ke arah Pai dengan kening berkerut.             Kepalanya menggeleng pelan seraya mengatakan jika dia tidak mengenal Pai. Eskpresi wanita itu tampak bingung.             Jelas saja dia bingung, Pai tiba-tiba menyapanya tanpa aba-aba. “Aah … iya, Pak. Maaf, tadi Bapak tanya apa ya? Saya kurang fokus.” Dia tersenyum pada Pai dan melirik sekilas ke arah Naswa.             Pai masih tersenyum manis. “Mbak mau saya belikan aqua?” tanya Pai seraya mengajaknya bercanda.             Namun berbeda dengan wanita itu. Dia justru bingung dan tertawa malu. “Ahh … tidak usah, Pak. Saya bawa minum sendiri dari rumah.” Dia menolak halus.             Jawaban polos wanita ini membuat Pai hampir menyemburkan tawanya. Bagaimana tidak, dirinya hanya bercanda, tetapi wanita ini justru menganggap dirinya serius ingin membeli minuman. “Jangan panggil saya Bapak. Saya belum menikah. Panggil saja saya, Mas atau Abang, atau mungkin Kang Mas.” Pai memulai rayuannya dan direspon tawa geli oleh Naswa yang masih menutup mulutnya dengan jilbabnya.             Wanita itu menggaruk lengannya. Dia melirik ke arah tombol lift. Dia merasa lift ini turun begitu lambat. Dia sendiri sedikit bergidik ngeri melayani pria yang dia tahu baru saja berbelanja di Mall ini. “Ah … iya, Bang. Maaf,” jawabnya singkat dan membuang wajahnya ke arah depan.             Pai mulai geli melihat wanita itu tampak malu. Dia melirik Naswa yang sudah senyam-senyum sejak tadi. “Mbak sudah selesai bekerja ya?” tanya Pai kembali mencecarnya dengan pertanyaan berbeda.             Wanita itu tidak meliriknya dan hanya membuka suaranya saja. “Iya, Bang. Ini mau pulang. Kasihan anak-anak saya pasti sudah menunggu saya,” jawabnya seraya menunjukkan identitasnya yang sudah berkeluarga.             Pai menyeringai tipis. Dia memang sudah menduga jika wanita ini pasti sudah memiliki suami dan anak.             Sebagai pria yang sudah puas menjamah tubuh wanita, dia sudah hapal gerakan dan lekuk tubuh wanita perawan dengan yang sudah tidak perawan lagi. “Oh iya. Mereka pasti sudah merindukan ibunya,” balas Pai masih terus menatapnya dari depan lift yang memang berbahan kaca. Ting!             Wanita itu menghela panjang nafasnya. Dia segera keluar dari lift dengan membawa peralatan kerjanya, dan berjalan cepat menuju ruangan khusus cleaning service.             Sedangkan Pai, dia menjangkau kembali barang belanjaan mereka dan meletakkannya disana. Dia mengambil kartu namanya dari balik saku celana panjangnya.             Langkah kakinya tidak lebih cepat dari wanita tadi, sehingga dia bisa menyeimbangi langkahnya.  Dia menyodorkan kartu nama itu padanya, hingga membuat wanita itu berhenti melangkahkan kakinya. “Ini kartu nama saya.”             Wanita itu terdiam, dan mengambilnya dengan gerakan lambat.             Pai masih meliriknya sembari merapikan kemejanya. “Suami dan istri memang harus bergotong royong demi menyekolahkan anak-anak. Aku bisa membantu keuanganmu dalam satu malam. Itupun, jika kau mau menutup mulut rapat-rapat,” ujarnya tegas.             Wanita itu meliriknya.             Pai tersenyum dan hendak berbalik badan meninggalkannya. “Saya permisi, Mbak.” Pai menyapa wanita itu untuk terakhir kalinya.             Dia melihat Naswa tidak ada disana. Namun beberapa barang belanjaan Naswa masih tergeletak di lantai. “Kemana anak itu!” ketus Pai mulai khawatir. Dia mengambil barang belanjaan itu, dan sedikit menoleh ke belakang. Melihat wanita itu masih terpaku menatapnya dari kejauhan. Pai mengedipkan satu mata genitnya. Dia bergegas melangkahkan kakinya menuju tempat dimana mobil Naswa terparkir. … Di dalam perjalanan.,             Pai masih melirik ke arah Naswa yang masih terus tertawa mengejeknya. “Abang gak suka kamu begini ya!” Pai masih berwajah sebal. Sebab beberapa menit yang lalu saat mereka masih berada di basement, Naswa bersembunyi dibalik mobil lain. Disaat dirinya mencari titik keberadaan Naswa yang sangat dekat dengannya, namun dia tidak menemukan Naswa disana. Dia hampir berpikir jika Naswa diculik pria lain. Hampir saja dia memeriksa semua mobil disana, dan suara tawa Naswa membuat wajahnya merah padam.             Naswa mencolek lengan kiri Pai. “Ciee ngambek?? Abang kalo ngambek gini, mirip sama yang sering mangkal di Nibung Raya lo, Bang. Persis banget!” Naswa masih terus mengejeknya.             Pai merubah ekspresi wajahnya seakan tidak terima. “Dih! Amit-amit jabang bayi! Emang Abang lekong apa!” balasnya sembari merinding, mengingat kejadian yang pernah mereka alami. Dimana mobil mereka diberhentikan di salah satu jalan, di kota Medan. Tempat dimana para waria mencari pelanggann pria.             Naswa tertawa geli sampai memegang perutnya. “Kalau siang, Abang jadi Pai. Kalau malam, Abang jadi permaisuri.” Dia kembali menyahut sambil tertawa terbahak-bahak.             Pai ikut tertawa mendengar celotehan Naswa. Melihat tawa lepas wanita itu benar-benar suatu kelegaan baginya. Meski hanya sementara, setidaknya dia bisa membuat Naswa tersenyum dan menjadi dirinya sendiri saat bersama dengannya. “Ketawa aja terus! Sampai lebaran kuda!”             Naswa menaikkan satu alisnya ke atas. Dia melihat Pai sedikit dongkol terhadapnya. “Lebaran kuda? Kuda gimana ini, Bang? Oh … kuda-kudaan kalau jadi permaisuri?” balas Naswa tak henti membuat Pai semakin berwajah sebal.             Dia menghela panjang nafasnya. “Untung sayang! Kalau gak!” gumamnya pelan sembari mengeratkan giginya.             Naswa masih saja terus tertawa, hingga wajahnya memerah. “Kau ketawa terus, Dek! Biasanya mau nangis itu!” ketus Pai seraya mengingatkan agar Naswa tidak tertawa berlebihan.             Naswa menyapu air mata yang keluar dari matanya. “Apaan sih, Bang! Gak bisa kali lihat orang seneng dikit!” balas Naswa menghabiskan sisa tawanya.             Namun tiba-tiba, ponsel Naswa berdering. Naswa langsung menjangkau ponselnya yang tengah diisi baterai, disana. Keningnya berkernyit. Miswa is calling… “Siapa, Nas?” tanya Pai melihat Naswa yang tiba-tiba terdiam.             Naswa langsung menggeser warna hijau di layar ponselnya. “Hallo … Ada apa, Dek?” “…” “Hah?”             Naswa langsung terdiam, dan melirik ke arah Pai dengan kedua mata mulai berkaca-kaca. “Ada apa ?” Pai langsung merendahkan laju mobilnya, dan mencari jalanan sepi untuk berhenti sejenak. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN