Sesampainya di rumah, Rara langsung membawa masuk barang belanjaannya dan dia letakkan di ruang tamu.
"Assalamu'alaikum." salam Rara ke dalam rumah. Hening, tidak ada suara siapapun.
"Pada ke mana Ra?" tanya Chika yang ikut bingung dengan situasi rumah orang tua Rara.
Rara mengangkat kedua bahunya, "Entah. Pada ngga bilang sih kalo mau jalan ke mana gitu."
"Yaudah, barang yang lu beli sekalian aja taro di kamar Ra."
"Bantuin." padahal tanpa Rara suruhpun, Chika juga ikut membawakan barang belanjaan miliknya.
Ketika menaiki tangga, kedua mata Rara mengitari rumah. Tapi tidak ada siapapun yang dia lihat.
"Apa pada di kamar kali Chik."
"Bisa jadi Ra." keduanya melanjutkan menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar Rara.
Dari arah halaman belakang, Aryo tahu kepulangan adiknya. Tapi dia berusaha untuk mengontrol emosinya. Dia tidak mau Rara tahu mengenai rencana-rencananya. Hanya dirinya lah yang tahu apa yang akan dia rencanakan untuk Aldo Frenklin.
Melihat adiknya sudah masuk ke dalam kamar, baru lah Aryo keluar dari tempat persembunyiannya. Kini gantian, dirinya lah yang pergi dari rumah.
****
Tok... Tok...
"Rara, sayang? Kamu udah pulang?"
Ceklek,
Begitu pintu terbuka, Nalen langsung mengulurkan tangannya. Bahkan matanya sudah berkaca-kaca saking rindunya dia dengan bundanya.
"Uuhhh sayang, anak Bunda pinter yaa ngga nangis di jagain sama Eyang." Rara menepuk-nepuk punggung Nalen pelan.
"Makasih ya Mah udah mau jagain Nalen."
"Iya sayang, sama-sama. Mamah tinggal ya, mau arisan di rumah bu RT."
"Oh yaudah Mah." Inggit berlalu meninggalkan kamar putrinya dan Rara sendiri langsung masuk ke dalam kamarnya.
"Sayangnya Ontiii, sini sama Onti yuk." Chika mengulurkan tangannya, Nalen sendiri yang sudah mengenali orang terdekatnya ikut mengulurkan tangannya. Begitu keduanya sudah saling mendekat, Chika langsung mengambil alih Nalen ke dalam pelukannya.
"Dika ke mana ya Chik?"
Chika asik mengajak bercanda Nalen, dia dengar apa yang di tanyakan Rara, "Coba aja lu wa, tanya lagi di mana gitu. Bilang kita pengen jajanan."
Bukannya melakukan apa yang Chika suruh, Rara lebih memilih untuk membuka aplikasi yang sedang viral. Hitung-hitung dia menghibur dirinya.
Ada satu video yang membuatnya ingin mencoba. Kali ini dia menjatuhkan targetnya kepada Dika, sang sahabat tercinta.
Nama Dika sudah terpin di aplikasi whatsappnya, bukan hanya Dika tapi Chika dan kedua orang tuanya sudah dia pinned. Dan kalimat online terpampang begitu Rara melihat status Dika saat ini.
Dika Sayang ❤️
Me
Diiik
Pesannya tidak menunggu waktu lama untuk terbaca, dan sang empu langsung mengetik balasan untuknya.
Dika Sayang ❤️
Kenapa beb?
Me
Lu di mana?
Dika Sayang ❤️
Tadi Buna telfon, gue pulang bentar. Abis ini juga balik rumah bunda Inggit.
Me
Oh oke
Dika Sayang ❤️
Kenapa? Mau titip sesuatu?
Me
Ngga, Dik mau bilang sesuatu.
Dika Sayang ❤️
Sok bilang aja.
Me
Check out in shoppe gue, nanti kita CHECK-IN.
Bukan sebuah balasan pesan lagi yang Rara terima, melainkan panggilan langsung.
Rara sontak melempar ponselnya dan tertawa terbahak-bahak. Itu semua membuat Chika bingung. Nalen Chika letakkan di box bayi yang ada di kamar itu, untungnya Nalen langsung tertidur di pelukannya.
"Lu napa Ra?" Chika mengambil ponsel yang Rara lempar dan melihat ada panggilan dari Dika. Dia yang tidak tahu menahu mengangkat panggilan itu.
[b*****t, ngapain ngetik begitu hah?!]
Chika sampai melihat id pemanggilnya, apa benar ini sahabatnya Dika? Masa Dika berani berkata kasar kepada Rara?
"Sini-sini Chik HP nya." Rara mengambil ponselnya kembali.
"Kenapa telfon?"
[Emang anak setan lu ye, ngomong mau apa. Ngapain coba bilang begitu. Untung lu bilangnya ke gue, coba kalo ke orang lain, di wujudin mampus lu.]
Rara bisa membayangkan, betapa emosinya Dika ketika berbicara seperti itu.
"Haha sorry Dik. Gue iseng doang anjir, ya ngga mungkinlah gue kirim ke sembarang orang."
[Kirimin link shoppenya, nanti gue check-out in.]
"Iye iye bawel, udah ah gue tutup. Bye."
Tut,
"Dika ngapa sih Ra?" tanya Chika yang masih tidak tahu menahu ada apa dengan kedua sahabatnya.
Rara langsung membuka ponselnya dan menunjukkan video yang memunculkan ide pintarnya.
Video selesai di putar, otomatis tangan Chika menoyor kepala sahabatnya itu.
"Otak emang rada-rada ya orang ini. Ngaku ibu-ibu anak satu, otak kayak anak SD. Jelaslah Dika marah, gue juga."
Rara mengusap kepalanya yang tadi di toyor Chika, "Ya kan gue niatnya bercanda. Malah berujung kayak gini." gumam Rara dengan mulut yang dia majukan.
"Bercanda boleh, tapi jangan kayak gini Ra. Kita itu trauma Ra, kita ngga mau lu kembali ke lubang yang sama kayak dulu. Kita semua sayang sama lu, sayang banget malah."
Terharu dengan ucapan Chika, Rara langsung memeluk sahabatnya itu.
"Gue sayang pakek banget sama lu berdua. Entah apa jadinya gue tanpa lu sama Dika Chik." tangisnya tumpah di pundak Chika. Sang empu menepuk-nepuk pelan pundak Rara.
"Udah ya, sekarang ada Nalen. Jadi lu harus jadi wanita yang kuat. Tenang, sampe kapan pun kita berdua tuh tetep ada di pihak lu." Chika memundurkan badannya, tangannya terulur guna mengelap sisa air mata Rara yang ada di pipinya, "Jangan nangis, nanti kalo Nalen denger dia sedih loh."
"Mending kita pesen makanan yuk, gue lagi mau topokki nih." usul Chika yang diangguki oleh Rara.
"Lu pesen aja ya. Gue mau nyiapin makan siang Nalen dulu." Rara bangkit dari duduknya dan berjalan ke kamar mandi. Sebelum keluar kamar, Rara harus membasuh mukanya lebih dulu agar tidak terlihat jika dia sehabis menangis.
"Chik, gue titip Nalen ya. Mau ke dapur dulu."
"Siipp."
Senyumnya langsung mengembang ketika melihat sosok yang dia rindukan ada di dapur.
"Ayahhh.." Rara memeluk tubuh Zein dari belakang.
Zein yang sedang mengaduk kopinya kaget begitu mendapat pelukan dari belakang.
Rara berpindah menjadi disamping ayahnya, "Kenapa ngga nyuruh Rara aja buat bikinin kopi Yah?"
"Ayah udah biasa kok. Cucu Ayah mana?" Zein mencari keberadaan Nalen, tapi tidak dia dapati.
"Bobo di kamar. Bunda tadi ke rumahnya pak RT katanya."
"Iya, tadi bunda juga bilang kok ke Ayah. Udah makan siang kamu?"
"Belum laper Yah." Rara beranjak mengambil sereal yang biasanya dia bikinkan untuk putranya.
"Mau bikinin makan Nalen Ra?"
"Iya Yah. Dia kalo bangun tidur, pasti laper."
"Oh yaudah. Ayah tinggal ya ke ruang kerja? Kalo mau pesen makanan, ke ruang kerja Ayah aja. Biar nanti Ayah pesenin." sebelum meninggalkan putrinya di dapur, Zein menciumi kening Rara.
"Oke Yah."
Selesai membuat makanan untuk putranya, Rara kembali ke kamarnya. Tangannya pelan-pelan membuka pintu agar tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan putranya.
"Belom bangunkan Chik?" tanya Rara yang dijawab gelengan kepala oleh Chika.
"Nanti kalo bangun, jangan di tidurin lagi ya. Ajak bercanda aja dulu, gue mau ke ruangan ayah bentar."
"Okeyy Ra."
Rara kembali keluar kamar. Ada yang mau dia tanyakan mengenai pendapat ayahnya. Mumpung di rumah tidak ada siapa-siapa yang bisa saja jika ada orang mendengar pembicaraannya dengan sang ayah.
Tok... Tok...
Ceklek,
"Yah,"
"Iya sayang, masuk aja."
Mendengar dirinya diizinkan masuk, Rara masuk ke dalam ruangan ayahnya. Bukan pertama kali bagi Rara mengunjungi ruang kerja ayahnya. Tapi mungkin ini pertama kali semenjak dirinya menetap lama di Singapur. Dan banyak perubahan yang ada.
Rara lebih memilih duduk di sofa yang ada di sana.
"Bentar ya Ra, Ayah nyelesaiin ini dulu." ujar Zein mau menyelesaikan pekerjaannya lebih dulu, baru setelah itu dia menghampiri putrinya. Dia tahu, pasti ada yang mau dibicarakan oleh Rara sampai anaknya itu mau menghampiri dirinya di ruang kerja.
"Iya Yah, selesaiin aja dulu gak papa."
Tidak lama, pekerjaan Zein sudah selesai. Dia merenggangkan badannya lebih dulu, baru setelah itu dia bangkit dan berjalan menghampiri putrinya.
"Ada apa Nak?" tanya Zein yang sudah duduk disamping Rara.
"Ayah, Ayah sebelumnya pernah kenal sama Aldo?"
"Aldo? Ayahnya Nalen maksud kamu?"
Dengan ragu, Rara menganggukkan kepalanya.
"Jelas kenal. Dia dulu sering main ke sini. Kan kamu tahu, sahabatnya Aldo itu si Andy keponakannya bunda."
Rara ingat, sangat ingat. Tapi dia tidak menyangka jika ayahnya masih mau mengingat pria itu.
"Menurut Ayah, Aldo gimana orangnya?"
"Dia anaknya baik, sopan banget. Walaupun kita bukan orang tuanya, dia ke sini ngga pernah tangan kosong. Itu sebelum kamu ketemu sama kita ya Nak."
Rara menundukkan kepalanya, kedua tangannya tidak tinggal diam. Saling bertautan satu sama lain.
Zein mengulurkan tangannya guna mengelus puncak kepala anaknya, "Ada apa, hm?"
"Rara sayang sama Aldo Ayah." Rara langsung memeluk tubuh ayahnya. Hanya dengan Zein lah Rara bisa menumpahkan ini semua. Jika dengan bundanya atau mamahnya, dia takut mulut salah satu mulut mereka akan bocor ke telinga Aryo.
Zein membalas pelukan putrinya. Dia tahu bagaimana rasanya merindukan orang yang dia sayang. Seperti dulu, ketika dirinya merindukan sosok anak perempuannya dan Sang Pencipta mempertemukan dirinya dengan Rara. Rindunya setelah sekian tahun terobati.
Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Zein, dia membiarkan putrinya menumpahkan air matanya agar hatinya kembali lega.
Merasa sudah puas menangis di pelukan ayahnya, Rara memundurkan badannya. Dia mengelap sisa air matanya.
"Udah lega?"
Rara menganggukkan kepalanya, "Lumayan Yah."
"Kenapa tahu-tahu kangen sama dia?"
Rara menarik nafasnya lebih dulu, tapi sebelum memulai sesi ceritanya Rara bangkit dari duduknya dan mengunci pintu ruangan ayahnya. Dan untungnya ruangan ini kedap suara, jadi tidak akan ada yang bisa mendengar pembicaraannya dengan sang ayah.
Baru merasa aman, Rara menceritakan pertemuannya dengan mamah Ira tadi. Semuanya Rara ceritakan tanpa ada yang dia sembunyikan sedikit pun.
Begitu juga dengan Zein yang sangat serius mendengarkan cerita anaknya.
"Jadi kalian tukeran nomor telfon?" tanya Zein setelah Rara mengakhiri sesi ceritanya.
"Jadi Yah. Kata Chika, gak papa kasih aja."
"Bagus Chika bilang begitu. Sekarang Ayah mau tanya sama kamu." Zein menunjukkan bagian hati Rara, "Ada ngga tersisa nama Aldo?"
Rara menganggukkan kepalanya. Bukan hanya tersisa, melainkan hatinya masih penuh untuk pria itu. Pria yang nyatanya sudah menyakiti dirinya berkali-kali tapi tetap saja rasa ini tidak pernah hilang sampai 4 tahun lamanya.
"Kalau seumpama, Aldo ngajak kamu nikah lagi, memperbaiki semua yang ada, kamu mau?"
Ini pertanyaan yang Rara sendiri tidak bisa menjawabnya. Bukan sulit, dia hanya ragu. Ragu jika pria itu mau bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan.
"Kamu yakinin dulu hati kamu. Kalau Ayah pribadi, terserah kamu. Itu hak kamu kalau nanti ada niatan balik sama Aldo. Ayah sebagai orang tua hanya bisa memberi dukungan untuk anak-anaknya. Selebihnya kalian yang menjalankan, bukan Ayah, bunda ataupun mamah kamu." Zein memamg tidak ada niatan melarang putrinya jika suatu saat Aldo mengajak putrinya kembali bersama. Dia juga kasihan dengan cucunya yang membutuhkan peran ayah biologis.
"Makasih Yah, makasih." Rara berkali-kali menciumi punggung tangan Zein. Dia sangat bersyukur, ayahnya bisa seterbuka ini.
"Ayah ngga marah sama Aldo?"
"Marah? Jelas Ayah sempat marah kemarin. Tapi setelah Ayah fikir-fikir lagi, kalo Ayah nantinya ngelarang kamu nikah sama Aldo, siapa yang jadi ayah buat Nalen? Oke, taro lah banyak yang mau jadi ayah sambung. Tapi, sosok ayah kandung itu lebih diperlukan. Jadi selagi memamg sosok itu masih ada, silakan. Semua keputusan ada di kamu sayang."
Rara kembali memeluk tubuh ayahnya, "Makasih Yah, makasihh banyak udah mau kasih masukan buat aku."
Cup,
Zein menciumi sisi kepala putrinya, "Sama-sama sayang."
Puas menumpahkan kegundahannya dengan sang ayah, Rara izin keluar dari ruangan ayahnya. Dan betapa kagetnya Rara, ketika mendapati Aryo berdiri di depan ruangan ayahnya dengan tangan yang di silangkan di depan d**a.
Melihat Rara keluar dengan mata yang sembab, Aryo seketiak diserang rasa panik.
"Ra? Are you okey?" tanya Aryo dengan tangannya yang dia letakkan di sisi pundak sang adik.
"I'm okey Mas."
"Okey? Itu kenapa nangis?"
Rara mengelap sisa air matanya, "Ngga. Kelilipan tadi. Tanya aja Ayah kalo ngga percaya." Rara menurunkan kedua tangan Aryo dari pundaknya, "Aku izin ke kamar dulu ya Mas." Rara memilih untuk berlalu dari hadapan Aryo.
Aryo yang penasaran kenapa Rara bisa sampai menangis, dia masuk ke ruangan ayahnya dan mendapati ayahnya yang tengah fokus di depan komputer.
"Yah." Aryo mendudukkan dirinya di depan meja kerja ayahnya. Kini mereka duduk berhadap-hadapan yang hanya berbatasi meja kerja saja.
"Apa Yo?" tanya Zein tanpa menatap putranya.
"Rara kenapa nangis Yah?"
"Tadi ada debu yang masuk ke matanya." sahut Zein asal. Padahal dia tidak tahu jika Rara juga memakai alasan yang sama. Zein yakin, pasti Rara tidak mau sampai Aryo tahu masalah ini.
"Kenapa kamu nemuin Ayah? Ada kerjaan yang sulit?"
"Ngga. Tadi penasaran aja, kenapa pintu ruangan Ayah di kunci. Aryo tunggu di depan ruangan, eh Rara keluar-keluar matanya sembab terus ada air mata gitu di ujung matanya."
"Di bilang kelilipan."
"Yaudah, Aryo keluar dulu Yah."
Sebelum Aryo meraih gagang pintu, panggilan Zein menghentikan langkahnya.
"Yo, jangan halangin kebahagiaan adik kamu ya."
Aryo diam, dia tahu maksud ayahnya berkata seperti itu.
"Kebahagiaan Rara sangat penting bagi Aryo Yah. Tapi kalo kebahagiaan yang Ayah maksud, membiarkan Rara hidup sama orang pecundang, Aryo ngga akan ngebiarin itu terjadi." dan kembali melanjutkan langkahnya keluar dari ruangan ayahnya.
Zein mengentikan sejenak pekerjaannya. Helaan nafas keluar dari mulutnya.
"Keras kepala kamu sama kayak bunda kamu Yo." Zein menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak tahu bagaimana lagi caranya untuk meyakinkan Aryo jika kebahagiaan Rara itu dengan Aldo.
Mungkin nanti akan dia bicarakan dengan istrinya saja. Semoga istrinya satu pemikiran dengannya sehingga bisa membantu membuka jalan kebahagiaan Rara, putrinya.